Sebagai
masyarakat Hukum adat, persoalan tanah kemudian menarik untuk dilihat dari
berbagai putusan Pengadilan. Berbagai asas, sifat, prinsip dan norma-norma yang
dikenal di masyarakat kemudian menjadi pengetahuan dan digunakan didalam
berbagai putusan.
Surat Pegangan Andil
SURAT PEGANGAN ANDIL, tertanggal 20 (dua puluh)
bulan Rajab tahun 1345 (seribu tiga ratus empat puluh lima) hijriah berbetulan
pada tanggal 23 (dua puluh tiga) Januari 1927 (seribu sembilan ratus dua puluh
tujuh) dalam bahasa arab yang telah diterjemahkan oleh Tuan Doktorandus THOHRI
YASIN, Sekretaris/Panitera Pengadilan Agama Sengeti tertanggal dua puluh tiga
Juni dua ribu tiga (23-06-2003).
Surat
ini menyatakan Menyatakan sebidang tanah seluas 56.000 m2 yang berasal dan warisan yang
menunjukkan terletak dan luasnya[1].
Surat
Kupon Merek TE No. 44
Di Sarolangun dikenal Surat Tua Tahun 10
Sakwal (syawal) 1341 Hijriah[2].
Dalam perkembangannya
kemudian dikenal Surat keterangah Tanah (SKT)[3].
Tanaman Tumbuh
Di Desa Sinar Wajo,
Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Juraid dan Deni Ruli Pane pada tanggal 12
Februari 2012 dilaporkan PT. WKS ke pihak Polres Muara Sabak dengan tuduhan
membuka kawasan hutan yang termasuk kedalam konsensi PT. WKS. Lahan yang
digarap merupakan kawasan hutan produksi di Jalan 220 Dusun Kalimantan.
Tuduhannya melanggar pasal 50 ayat (3) huruf a UU Kehutanan.
Juraid dan Deni Ruli
Pane kemudian disidangkan di Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur. Jaksa
kemudian menuntut 10 bulan penjara.
Di Pengadilan Negeri
Tanjung Timur, Deni Ruli Pane membuktikan menduduki areal seluas 4 hektar
setelah pemberian orang tuanya sejak 1982. Tanah yang dikuasai kemudian
ditanami pohon rambutan dan jengkol. Selain itu juga adanya surat keterangan
serta sporadic.
Didalam
pertimbangannya, Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur menyatakan hak kepemilikan
terhadap Deni Ruli Pane dapat dibuktikan. Sehingga berdasarkan
SK Menteri Kehutanan izin PT. WKS di dalam butir keempat ayat (1) ditegaskan, apabila di dalam areal HPHTI
terdapat lahan yang menjadi hak milik, perkampungan, tegalan, persawahan, yang
telah diduduki pihak ketiga, maka lahan tersebut tidak termasuk dan dikeluarkan
dari areal kerja. Selain itu, penyelesaiannya dengan pihak-pihak yang
bersangkutan harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bukti tanaman “pohon
rambutan dan jengkol” adalah pengetahuan masyarakat yang dikenal sebagai
“tanaman tumbuh’. Tanaman tumbuh membuktikan terhadap kepemilikan yang melekat
kepada pemilik tanah. Tanaman seperti rambutan dan jengkol dikenal sebagai
tanaman tua (tanaman tuo). Dengan bukti ini maka kepemilikan tidak menjadi
hilang.
Dengan demikian, maka Deni Ruli Pane dan Juraid dilepaskan
dari segala tuntutan hukum (onslaag van
recht van velvoging) . Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur
diperkuat di Mahkamah Agung berdasarkan putusannya Nomor 1779 K/PID.SUS/2013.
Putusan
ini mengukuhkan dan memberikan pelajaran penting terhadap hukum di Indonesia.
Izin tidak boleh mengalahkan hak. Sebab, merupakan azas yang berlaku di
Indonesia, juga merupakan hak milik telah diatur di dalam konstitusi[4].
Asas Tunai,
riil dan Terang
Sifat tunai artinya dalam jual beli hak atas tanah,
harga yang disetujui bersama harus dianggap dibayar penuh pada saat dilakukan
jual beli yang bersangkutan. Jadi apabila pembayarannya belum lunas, maka
sisanya dianggap utang. Akibatnya jika sisa tersebut tidak dibayar, maka
tanahnya tidak bisa dikembalikan pada yang punya tanah dan sisa tersebut
menjadi utang- piutang;
sifat riil, dalam jual beli hak atas tanah artinya
dengan adanya perbuatan hukum pembayaran harga tersebut, sejak saat itu hak
atas tanah langsung beralih;
Sifat terang, artinya tidak sembunyi sembunyi yaitu
pemindahan hak itu harus dilakukan dihadapan Kepala Desa atau Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT). Meskipun demikian sifat terang tersebut bukanlah bersifat
mutlak, tetapi merupakan sesuatu yang memudahkan pembuktian tentang jual beli
yang bersangkutan adalah sah. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 4/Sip/1958, tanggal 13 Desember 1958, yang pada
pokoknya menyatakan bahwa ikut sertanya kepala desa dalam jual beli tanah bukanlah
syarat mutlak dalam hukum adat, tetapi hanya suatu faktor yang meyakinkan bahwa
jual beli yang bersangkutan adalah sah[5].
Di Bangko diketahui oleh Rip Pemuncak/Kepala Desa
Muara Jernih Marga Batin V dulu Marga Tabir[6].
Ukuran tanah biasa
dikenal Depa[7]. Di Sungai Penuh dikenal tanah kering (plak) dengan penghitungan tanah
dengna ukuran Depo atau Depa[8]. Di Muara Bungo dikenal
Bidang[9]. Di Muara Tebo dikenal
Batas sepadan[10].
Di Muara Bungo dikenal
mendapatkan tanah dengan cara “Membuka hutan[11] Yang kering ditanami karet dan
yang lembab dijadikan sawah[12].
Demikian juga di Tebo[13].
Di Bangko dikenal cara mendapatkan tanah dengan
“tebang tebas”[14].
Di Kerinci dikenal istilah
tanah kering (plak)[15]. Di Sungai Tenang (Bangko)
dikenal tanah ladang dan tanah Renah Sawah ( Payo Buku )[16]. Di Muara Bungo dikenal tanah rawa atau payau[17].
Di Jambi dikenal istilah Kebun Parah[18]
Di Desa
Sepunggur, Kecamatan II Babeko, Bungo
dikenal Tanah Kas Desa (TKD)[19].
Istilah Pancung alas dapat ditemukan Di Jambi[20],
Tanjung Jabung Timur[21]
dan Tanjung Jabung Barat[22].
Istilah “pancung alas” mengandung arti. Di Jambi[23]
Pancung alas kemudian memperoleh persetujuan/izin dari Demang[24].
Atau membuka hutan[25].
Di Pesisir Riau, pancung alas adalah sewa tanah[26].
Seperti di Bangkinang[27].
Sedangkan di Sumatera Selatan dikenal sebagai
penebasan dan pembersihan hutan Ilir[28]
seperti di Ogan Ilir[29],
Sekayu[30],
Kayu
Agung[31]
Terhadap tanah yang tidak dkuasai maka tanah dapat
diambil alih oleh Pesirah/Kepala Marga dan didata ulang dan dibuatkan surat
pancung alas bagi masyarakat yang membutuhkannya[32].
Selain
itu terhadap hak warisan, dan mengenai hak menggugat harta warisan menurut hukum
adat, tidak mengenal batas jangka waktu serta tidak mengenal daluarsa[33].
Selain itu juga dikenal Seloko “SEPUCUK ADAT SERUMPUN PUSEKO, ADAT BERSANDI SYARA' SYARA'
BERSANDI KIBULLAH. Dimana apabila
seorang perempuan ( istri ) yang keluar dari rumah tanpa diusir maka berlaku
pepatah" AYAM BENCI DENGAN SANGKARNYA, KERBAU BENCI DENGAN KANDANNGNYA[34].
Berbagai forum dan
mekanisme penyelesaian juga ditempuh sebelum digunakan jalur litigasi. Di Marga
Sungai Tenang dikenal Lembaga Lit
Lembagai
Lit adalah lembaga adat menyelesaikan kasus tanah. Dimulai berjenjang dari
Dusun, Desa dan Kecamatan. Lembaga Lit adalah Lembaga Adat yang dikenal di Dusun
Kampung Tengah[35], Desa Rantau Suli[36]
dan Kecamatan Sungai Tenang[37].
Di Sarolangun dikenal mekanisme penyelesaian
bernama Keputusan
Rapat Adat Melayu Jambi Kecamatan tentang Penyelesaian Silang Sangkito[38].
[4] Rakyat vs Perusahaan,
MA Menangkan Warga Dusun, Tribun Jambi, 25 Mei 2016
[15]
Pengadilan Negeri Sungai Penuh Nomor: 3/Pdt.G/2015/PN.SPn tertanggal 7
Juli 2015. Para “Penggugat memiliki harta warisan peninggalan
Moyang Para Penggugat, yaitu MAT KAYO, bahwa tanah tersebut berupa sebagian
tanah sawah dan sebagian tanah kering (Plak) yang terletak di Desa Koto Tuo,
Kecamatan Tanah Kampung, Kota Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Dengan Ukuran
Panjang ± 120 Depo dan Lebar ± 8 Depa”.