11 Juni 2019

opini musri nauli : Wisata




Membicarakan Sumatera Barat (Minangkabau) tidak henti-hentinya sebagai pusat pariwisata. Dimulai dari tepian laut Pesisir Pantai Barat Sumatera, Danau (Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diateh), Gunung (Gunung Singgalang, Gunung Merapi dan Gunung Tandikat) maupun berbagai tempat wisata lain.

Lihatlah panorama wisata di Minangkabau. Selalu dituturkan dengna Seloko, Tambo, lagu maupun syair yang lekat diingatan. Tambo (batas) Minangkabau selalu disebutkan “Sampai ka ombak nan badabua”.

Dimulai dari tempat ombak badabur” atau  ka ombak nan badabua diartikan sebagai “Ombak berdebur’. Ombak laut ditepian Laut Pantai Barat Sumatera. Dikenal sebagai Samudra Indonesia. “ka ombak nan badabua” adalah batas wilayah administrasi Sumatera Barat.

Sedangkan Gunung Singgalang dan Gunung Merapi dalam syair lagu “Marapi jo Singgalang”.

Begitu juga tentang Danau Maninjau yang dilekatkan didalam syair Lagu “Kelok 44” (dialek Kelok Ampek puluh ampek). Kelokan yang berjumlah 44, kelokan menuju Danau Maninjau. Lagu yang kemudian terkenal dan dinyanyikan oleh penyanyi legendaris Elly Kasim bersyair “Di kelok ampek puluah ampek. denai bamulo barangkek. Tinggalah kampuang sanak sudaro.  denai barangkek ka tanah jao.  Tinggalah kelok ampek puluah ampek… Tinggalah kelok ampek puluah ampek…

Keduanya dapat dinikmati sembari ditemani “Saluang’ dalam bis ke Padang. Biasanya diputar menjelang memasuki Sungai Rumbai. 46 km setelah melewati Bungo memasuki batas Sumbar.

Suara saluang yang melengking, menyayat hati seakan “menarik rindu” panggilan dari Minangkabau untuk “mengimbau” agar perantau mau pulang mudik dan melihat kampong halaman.

Ornamen wisata di Sumbar dilengkapi berbagai tradisi seperti “tabuik” di pesisir pantai Barat sumatera (Painan, Pasaman) juga dilengkapi makanan khas. Rendang dan nasi kapau yang legendaris.

Belum lagi khas lain seperti “sanjai” (kerupuk ubi yang dibasahi cabe), Katupek Pitalah (Ketupat khas dari Pitalah. Pitalah salah satu tempat menjelang Padang Panjang), pinyaram (yang dijual berjejer menjelang masuk ke Sicincin), Sala Lauak dan Bika (yang terdapat sepanjang jalan dari Padang Panjang ke Bukittinggi).

Namun kekayaan wisata dan berbagai ornament termasuk jajanan, makanan khas dari Sumbar tidak dapat dilepaskan dari urat nadi utama. Transportasi, distribusi dan infrastrutkur. Terutama jalan. Jalan sebagai urat nadi ekonomi.

Lihatlah jalan-jalan utama dari Solok ke Padang-Painan. Atau dari Solok ke Bukittingi. Mulus. Tanpa halangan jalan. Begitu juga dari Padang ke Padangpanjang. Atau dari Pasaman ke Bukittinggi. Nyaris sempurna.

Kalaupun macet, ya, pasti pada moment-moment tertentu. Biasanya Lebaran dan akhir tahun.

Ataupun kadang longsor pada musim penghujan. Namun tidak perlu khawatir. Berbagai alat berat sering disiapkan.

Sehingga dapat dipastikan, kendaraan dapat dipacu dan tidak khawatir adanya lubang yang mengancam perjalanan.

Masih ingat kisah “horror” pendakian maut Sitinjau Laut ? Nyaris, bukit-bukit dikupas. Jalan ditembus sehingga tidak terdapat lagi pendakian maut seperti kisah-kisah sebelumnya.

Atau melewati Lembah anai menjelang Padang Panjang. Pusat obyek wisata air terjun. Sekarang nyaris jalurnya sudah relative aman.

Sehingga tidak salah, kemajuan tempat-tempat obyek wisata didukung utama dari infrastruktur jalan yang relative baik.

Dengan baiknya infrastruktur terutama jalan menyebabkan berbagai obyek wisata kemudian bermunculan.

Painan yang semula “sempat diabaikan” dari perhatian obyek wisata kemudian “tumbuh” dan menjadi ‘pusat wisata” yang baru. Hampir 10 tahun terakhir, Painan kemudian menjelma menjadi tempat favorit utama di Pantai. Nyaris meninggalkan obyek-obyek sejenis di Sumbar.

Entah “pantai Carocok”, “kawasan wisata Pulau Mandeh”, menjadi pusat yang nyaris menjadi kalender utama di Painan.

Industry pariwisat kemudian bermunculan. Homestay, tempat berbagai penyewaan dilaut, rumah makan dan pusat jajanan bermunculan. Konon tahun 2018, jumlah wisatawan berkunjung ke Painan mencapai 2,3 juta orang. 1/3 dari 8 juta wisatawan ke Sumbar.

Sehingga tidak salah kemudian Pemerintah Pesisir Selatan serius menggarap sector pariwisata setelah setiap tahun, pendapatan dari sector wisata melebihi target penerimaan pajak.

Begitu juga bermunculan pusat-pusat wisata di Payakumbuh dan Batusangkar.  Batusangkar sebagai “episentrum’ Kerajaan Pagaruyung yang mempengaruhi Sumatera Tengah (Riau, Jambi dan Bengkulu) tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang peradaban. Mampu menarik jumlah “pelancong” hingga hampir satu juta orang.

Belum lagi berbagai pusat wisata baru yang terus bermunculan. Entah “kebun kelinci”, “pantai Carolina”, pantai padang, jembatan Siti Nurbaya, Pantai Pasir Jambak, Pantai Nirwana, Sitinjau Laut.

Nyaris tumbuh dan menarik perhatian wisata tidak dapat dilepaskan “urat nadi ekonomi”. Infrastruktur jalan yang relative baik.

Belum lagi kreasi yang terus bermunculan dari masyarakat setempat yang jalurnya dilewati pemudik ataupun pelancong.

Alangkah baiknya untuk memutari Sumbar, jalur-jalur yang biasa ditempuh untuk sementara mencari jalur alternative. Selain menemukan “spot wisata’ yang baru terus bermunculan, menghilangkan jenuh menikmati perjalanan, daya kreasi dari masyarakat Minang terus bermunculan, sekaligus menemukan suasana yang terus baru.

Bukankah petuah yang sering disampaikan oleh orang tua kampong. “banyak negeri yang dijalani. Banyak cerita nak disampaikan”.