Membicarakan
Sumatera Barat (Minangkabau) tidak henti-hentinya sebagai pusat pariwisata.
Dimulai dari tepian laut Pesisir Pantai Barat Sumatera, Danau (Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau
Diateh), Gunung (Gunung Singgalang,
Gunung Merapi dan Gunung Tandikat) maupun berbagai tempat wisata lain.
Lihatlah
panorama wisata di Minangkabau. Selalu dituturkan dengna Seloko, Tambo, lagu
maupun syair yang lekat diingatan. Tambo (batas) Minangkabau selalu disebutkan “Sampai ka ombak nan badabua”.
“Dimulai dari tempat ombak badabur” atau “ka ombak nan badabua” diartikan sebagai “Ombak
berdebur’. Ombak laut ditepian Laut Pantai Barat Sumatera. Dikenal sebagai
Samudra Indonesia. “ka ombak nan badabua” adalah batas wilayah administrasi Sumatera
Barat.
Sedangkan
Gunung Singgalang dan Gunung Merapi dalam syair lagu “Marapi jo Singgalang”.
Begitu
juga tentang Danau Maninjau yang dilekatkan didalam syair Lagu “Kelok 44”
(dialek Kelok Ampek puluh ampek). Kelokan yang berjumlah 44, kelokan menuju
Danau Maninjau. Lagu yang kemudian terkenal dan dinyanyikan oleh penyanyi
legendaris Elly Kasim bersyair “Di kelok ampek puluah ampek. denai bamulo barangkek. Tinggalah kampuang sanak sudaro. denai
barangkek ka tanah jao. Tinggalah kelok ampek puluah ampek… Tinggalah kelok ampek puluah ampek…
Keduanya
dapat dinikmati sembari ditemani “Saluang’ dalam bis ke Padang. Biasanya
diputar menjelang memasuki Sungai Rumbai. 46 km setelah melewati Bungo memasuki
batas Sumbar.
Suara
saluang yang melengking, menyayat hati seakan “menarik rindu” panggilan dari
Minangkabau untuk “mengimbau” agar perantau mau pulang mudik dan melihat kampong
halaman.
Ornamen
wisata di Sumbar dilengkapi berbagai tradisi seperti “tabuik” di pesisir pantai
Barat sumatera (Painan, Pasaman) juga dilengkapi makanan khas. Rendang dan nasi
kapau yang legendaris.
Belum
lagi khas lain seperti “sanjai” (kerupuk ubi yang dibasahi cabe), Katupek
Pitalah (Ketupat khas dari Pitalah. Pitalah salah satu tempat menjelang Padang
Panjang), pinyaram (yang dijual berjejer menjelang masuk ke Sicincin), Sala
Lauak dan Bika (yang terdapat sepanjang jalan dari Padang Panjang ke
Bukittinggi).
Namun
kekayaan wisata dan berbagai ornament termasuk jajanan, makanan khas dari
Sumbar tidak dapat dilepaskan dari urat nadi utama. Transportasi, distribusi
dan infrastrutkur. Terutama jalan. Jalan sebagai urat nadi ekonomi.
Lihatlah
jalan-jalan utama dari Solok ke Padang-Painan. Atau dari Solok ke Bukittingi.
Mulus. Tanpa halangan jalan. Begitu juga dari Padang ke Padangpanjang. Atau
dari Pasaman ke Bukittinggi. Nyaris sempurna.
Kalaupun
macet, ya, pasti pada moment-moment tertentu. Biasanya Lebaran dan akhir tahun.
Ataupun
kadang longsor pada musim penghujan. Namun tidak perlu khawatir. Berbagai alat
berat sering disiapkan.
Sehingga
dapat dipastikan, kendaraan dapat dipacu dan tidak khawatir adanya lubang yang
mengancam perjalanan.
Masih
ingat kisah “horror” pendakian maut Sitinjau Laut ? Nyaris, bukit-bukit
dikupas. Jalan ditembus sehingga tidak terdapat lagi pendakian maut seperti
kisah-kisah sebelumnya.
Atau
melewati Lembah anai menjelang Padang Panjang. Pusat obyek wisata air terjun.
Sekarang nyaris jalurnya sudah relative aman.
Sehingga
tidak salah, kemajuan tempat-tempat obyek wisata didukung utama dari
infrastruktur jalan yang relative baik.
Dengan
baiknya infrastruktur terutama jalan menyebabkan berbagai obyek wisata kemudian
bermunculan.
Painan
yang semula “sempat diabaikan” dari perhatian obyek wisata kemudian “tumbuh”
dan menjadi ‘pusat wisata” yang baru. Hampir 10 tahun terakhir, Painan kemudian
menjelma menjadi tempat favorit utama di Pantai. Nyaris meninggalkan
obyek-obyek sejenis di Sumbar.
Entah
“pantai Carocok”, “kawasan wisata Pulau Mandeh”, menjadi pusat yang nyaris
menjadi kalender utama di Painan.
Industry
pariwisat kemudian bermunculan. Homestay, tempat berbagai penyewaan dilaut,
rumah makan dan pusat jajanan bermunculan. Konon tahun 2018, jumlah wisatawan
berkunjung ke Painan mencapai 2,3 juta orang. 1/3 dari 8 juta wisatawan ke
Sumbar.
Sehingga
tidak salah kemudian Pemerintah Pesisir Selatan serius menggarap sector pariwisata
setelah setiap tahun, pendapatan dari sector wisata melebihi target penerimaan
pajak.
Begitu
juga bermunculan pusat-pusat wisata di Payakumbuh dan Batusangkar. Batusangkar sebagai “episentrum’ Kerajaan
Pagaruyung yang mempengaruhi Sumatera Tengah (Riau, Jambi dan Bengkulu) tidak
dapat dilepaskan dari sejarah panjang peradaban. Mampu menarik jumlah “pelancong”
hingga hampir satu juta orang.
Belum
lagi berbagai pusat wisata baru yang terus bermunculan. Entah “kebun kelinci”, “pantai
Carolina”, pantai padang, jembatan Siti Nurbaya, Pantai Pasir Jambak, Pantai
Nirwana, Sitinjau Laut.
Nyaris
tumbuh dan menarik perhatian wisata tidak dapat dilepaskan “urat nadi ekonomi”.
Infrastruktur jalan yang relative baik.
Belum
lagi kreasi yang terus bermunculan dari masyarakat setempat yang jalurnya
dilewati pemudik ataupun pelancong.
Alangkah
baiknya untuk memutari Sumbar, jalur-jalur yang biasa ditempuh untuk sementara
mencari jalur alternative. Selain menemukan “spot wisata’ yang baru terus
bermunculan, menghilangkan jenuh menikmati perjalanan, daya kreasi dari
masyarakat Minang terus bermunculan, sekaligus menemukan suasana yang terus
baru.
Bukankah
petuah yang sering disampaikan oleh orang tua kampong. “banyak negeri yang dijalani. Banyak cerita nak disampaikan”.
Baca : OLEH-OLEH ARUS MUDIK