Ketika saya membaca opini yang dimuat media online yang berjudul “TINGGALKAN RATU, PAN KEHILANGAN ARAH” yang dituliskan Dr. Dedek Kusnadi (Dosen Paskasarjana UIN STS Jambi), saya kemudian terperanjat.
Apakah memang benar PAN kehilangan arah dengan tidak memilih Ratu Munawarah (dibaca Ratu) dalam Pemilihan Gubernur Jambi 2020 (Pilgub Jambi) ?
Pelan-pelan saya baca apakah ada data-data untuk mendukung argumentasi sehingga kemudian mengambil kesimpulannya ?
Data pertama adalah sumbangsih peran signifikan Zulkifli Nurdin (ZN) dalam membesarkan PAN di Jambi. Mengutip pemilihan Gubernur 2 periode, sumbangsih suara yang diraih oleh PAN begitu digdayana.
Bahkan tahun 2009 mampu menyumbangkan dua kursi untuk DPR-RI dengan kemenangan mutlak PAN Jambi untuk Ratu.
Data kedua adalah “semua kepala daerah berduyun-duyun merapat ke PAN (meminjam istilah dari penulis). Fakta yang tidak terbantahkan hingga sekarang.
Data yang ketiga adalah narasi tentang H. Bakri. Uraiannya cukup Panjang. Lihatlah narasi seperti “Nama Ratu telah mengantar PAN sukses memboyong dua kursi senayan.. Bakri diuntungkan dengna limpahan suara dari ratu”, “Lain dulu lain sekarang. Bakri dulu tidak seperti Bakri sekarang”, “ZN boleh jadi sedang menangis di alam barzah sana”, “Ratu yang berniat tulus hendak membersihkan nama baik keluarga dari sergapan kasus putra ZN (Zumi Zola)… harus tetap sabar mengelus dada.. dan terpaksa kembali menelan pil pahit justru dari PAN Jambi”.
Apabila kita tarik data pertama, data kedua maka narasi ini lebih tepat menggambarkan kondisi sebelum Zumi Zola dalam kasus OTT KPK terhadap anggota DPRD Provinsi Jambi tanggal 27 November 2017. Jambi memang dalam berbagai kemenangan PAN diberbagai tempat.
Namun narasi ini menjadi berbeda setelah OTT KPK. PAN justru mengalami masalah yang berat. Terlepas dari kasus yang mendera Zumi Zola (Ketua PAN Jambi), namun PAN justru menerima getahnya.
Hanya hitungan bulanan menjelang Pemilu 2019, saya membayangkan betapa berat sebagai Partai yang diperhitungkan di Jambi.
Berita-berita OTT KPK selalu menyebutkan “peran Zumi Zola” sebagai Gubernur, rangkaian pemeriksaan di KPK, ditangkapnya kemudian berbagai pihak yang laih, persidangan yang Panjang hingga kemudian ditetapkannya Zumi Zola sebagai tersangka. Kemudian menjalani persidangan di Jakarta hingga putusan.
Apabila peristiwa ini menjadi bahan opini yang dipaparkan, maka gaya melodrama dalam data pertama, data kedua menjadi relevan dan enak dibaca.
Namun mengabaikan peristiwa paska OTT dan nasib PAN menjelang Pemilu, cara PAN sebagai partai melewati proses ini tidak menjadi bahan untuk memperkaya opini, maka data pertama dan data kedua menjadi “kurang relevan”.
Politik kok melodrama. Mendayu-dayu. Mungkin itu istilah yang tepat menggambarkan makna narasi data pertama dan data kedua.
Dalam suasana krisis ini, justru H Bakri masih mampu membawa biduk PAN melewatinya. PAN masih bisa menyumbang suara di DPR-RI, masih bersebaran anggota DPRD diberbagai Kota/Kabupaten dari PAN. Kursi di Provinsi Jambi juga tidak berkurang. Bahkan PAN Tanjabtim berhasil menang telak dari 15 kursi menjadi 17 kursi. Mayoritas mutlak dari 30 kursi DPRD Tanjabtim.
Sebuah kemenangan yang tidak mungkin diraih oleh pemimpin partai politik di Jambi.
Tetap berkibarnya PAN di Jambi justru setelah kasus OTT KPK. Dimana Ratu tidak di Jambi dan mundurnya Zumi Laza (adik Zumi Zola, PAN Kota). Sehingga peran H Bakri membawa PAN Jambi tidak menjadi perhatian dari penulis justru mengabaikan fakta politik kontemporer di Jambi.
Setelah melewati proses politik yang berat, H. Bakri berhasil menjadi incumbent di DPR, kemenangan telak di Tanjabtim dan tetap kursi di DPRD Provinsi Jambi menjadi tidak relevan untuk dikenang sebagai “Bakri dulu tidak seperti Bakri sekarang”. Justru H. Bakri adalah “penyelamat” PAN di Jambi. Dan tidak tenggelam dari kasus yang mendera Zumi Zola.
Justru ZN “tersenyum” di alam barzah. Melihat PAN di Jambi masih tetap berkibar.
Tentu saja H Bakri membawa biduk PAN tidak melodrama mendayu-dayu. Dibutuhkan kerja sama kader dan simpatisan yang tetap mendukung PAN di Jambi.
Dari data pertama, data kedua dan data ketiga apabila kita “benturkan” dengan kondisi politik paska OTT KPK di Jambi menjadi rancu “kemudian” hanya menentukan “peran H Bakri” dalam bersikap PAN di Pilgub Jambi.
Sebagai “pemain nasional”, H. Bakri mempunyai hitung-hitungan dalam kalkulasi politik. Menempatkan Ratu sejajar dengan “siapapun” yang mengikuti konvensi Pilgub di Jambi adalah “buah kecerdasan”.
Terlepas dari Ratu yang pernah menjadi anggota DPR-RI 2009 yang kemudian “mengundurkan diri’ menjadi pertimbangan penting dalam sikap PAN, Justru tidak menempatkan “siapapun” yang mempunyai privilege khusus adalah “kajian” yang menjadi wacana segar. Sehingga PAN dapat memilih orang yang tepat dalam Pilgub Jambi.
Tentu saja H Bakri setelah “piawai” melewati Pemilu 2019 mempunyai hitung-hitungan politik yang tidak mudah diintervensi. Tentu saja keberhasilan melewati pemilu 2019 tidak dilakukan mendayu-dayu. Persis kayak telenovela yang lebih menampakkan emosional.
Apabila “cara PAN melewati pemilu 2019” paska OTT KPK, “hitungan PAN” dalam pilgub” menjadi sumber tulisan yang dipaparkan penulis maka justru saya malah menawarkan wacana menarik.
Cara PAN menentukan Pilgub Jambi dengan tidak memberikan privilege khusus kepada Ratu menampakkan cara berpolitik PAN dengan gaya “ARAH BARU PAN JAMBI
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,
Opini Musri Nauli dapat dilihat www.musri-nauli.blogspot.com