07 Juli 2020

opini musri nauli : Senin Ceria




“Bang, bangun.. Katanya mau urusan.. Cepat !!!”, kata istriku menggerakkan badan. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00 wib.

Dengan malas saya bangun. Urusan kerjaan memang tidak boleh diabaikan. Walaupun telat, karena matahari sudah menampakkan cahaya panas, sayapun bergegas.

Setelah mandi dan kemudian pergi menyelesaikan pekerjaan, saya kemudian mampir ke kantor. Janjian pertemuan dengan jaringan nasional. Menggunakan fasilitas webinar (zooming).

Urusan mampir ke kantor Cuma urusan sepele. Selain fasilitas wifi, sembari santai juga menggunakan kesempatan untuk sekedar baca-baca buku.

Kulihat masih jam 10.30 wib. Masih ada sekitar 2 jam lebih dari janjian di zooming.
Sayapun membuka situs-situs internet, mengecek email, membaca berita didunia maya.

Tidak sengaja saya  tertuju membaca tentang issu politik. Disampaikan oleh penulis dari kampus.

Pelan-pelan kebaca. Tidak ada yang mesti dikomentari. Namun ketika saya membaca, saya menjadi penasaran. Mengapa tulisan yang kemudian membombastis tidak menggunakan data terbaru ? Mengapa kemudian tulisan yang menarik tidak menyertakan kondisi politik terkini dan kontemporer ?

Sekali lagi kuscrool keatas. Sayapun kaget. Ternyata sama sekali tidak memaparkan data-data yang terbaru.

Sembari dua jam menunggu jadwal pertemuan, Sayapun menulis. Tentu saja melampirkan data-data pembanding untuk menjawab tulisan serupa.

Sama sekali tidak terpikirkan tulisan itu kemudian menjadi “rame” senin seharian.

Setelah dirasa cukup, kukirimi media online. Klir. Kemudian dimuat.

Sembari mempublish di FB, sayapun kemudian terlibat percakapan serius dalam rapat webinar.

Mengingat materinya cukup padat, membaca detail satu persatu, merencanakan kegiatan hingga 2 tahun kedepan, tulisan yang kupublish sama sekali tidak terpikirkan lagi.

Setelah rapat di webinar, kembali membaca buku yang sempat masih tertinggal. Buku klasik tentang sejarah peradaban Islam di nusantara. Termasuk jaringan ulama abad XVII-XVIII.

Menjelang sore hari, badan serasa letih. Menjulurkan badan, rebahan sembari mendengarkan music. Lagi-lagi opini yang kukirimi sama sekali tidak menjadi perhatian.

Menjelang magrib, kudengar suara HP. Akupun terbangun. Kulihat entah berapa banyak miscall, sms yang masuk, chat WA.

Sambil “mengambil nyawa (istilah anakku yang bungsu ketika baru bangun), akupun membaca pelan-pelan sms dan chat WA.

Akupun kaget. Serasa terbang dari tempat tidur. Begitu banyak perhatian terhadap opini.

Serasa melayang, aku cuci muka, buka laptop dan membaca informasi yang bersilewaran didunia maya.

Tidak lama kemudian kubaca tulisankupun dibalas dari penulis sebelumnya. Akupun kaget.

Dengan pelan-pelan kubaca, sang penulis menyelesaikan tulisan ketika disaat aku hendak tidur. Dan tulisan itupun dimuat ketika aku hendak bangun. Luar biasa. Begitu besar perhatian dengan tulisanku.

Akupun tertawa. Mengapa begitu besar perhatian tulisanku sehingga harus disegerakan menulis tanggapannya. Apakah aku menulis serius sehingga harus dibalas secepat itu ?

Sebagai “pejalan” yang terus memutar daerah provinsi Jambi, aku merasakan betul suasana dramatis ketika paska OTT KPK. Entah pertanyaan “nyeleneh”, mengejek ataupun Cuma sekedar pembuka cerita.

Dengan sering berjalan keluar kota, aku merasa “aku bukanlah siapa-siapa’. Tidak dekat dengan kekuasaan. Dan tetap berjarak.

Dengan dijalanan aku merasakan bagaimana merasakan jalan Muara Tembesi – Sarolangun hanya serratus km pernah harus menginap ditengah jalan. Ataupun paling cepat 8 jam.

Aku juga merasakan bagaimana masih buruknya jalannya ke Bukit Bulan yang “aspalnya nauzubillah” tidak pernah diperbaiki. Kulihat mungkin puluhan tahun.

Aku juga merasakan bagaimana buruknya jalan ke Sabak yang hanya 64 km dari jembatan aur duri II.

Dan aku tahu persis siapa Gubernurnya. Aku tau siapa Bupati yang berkuasa waktu itu.

Cerita itu kemudian berbeda sekarang. Muara Tembesi – Sarolangun dapat ditempuh kurang 2 jam.

Cerita dari lapangan itu membekas. Yang paling dirasakan adalah selama merasakan jalan buruk, maka selama itu “sumpah serapah” terus keluar dari mulutku.

Begitu sebaliknya. Apabila jalanan kemudian membaik, maka selama menikmati “laju mulus” aspal aku selalu berdoa. Agar pemimpin yang telah memperbaiki jalanan yang telah kunikmati dapat diberi kesehatan dan kebaikan untuk mengurusi negeri Jambi.

Dengan berjarak, maka pengalaman dilapangan memudahkan untuk melihat segala sesuatu dari jauh. Merasakan “apa yang diomongkan” dengan kenyataan dilapangan. Sehingga dapat mengukur “siapa pemimpin yang sibuk menjaga pencitraan” hingga “siapa pemimpin yang mengurusi rakyat Jambi”.

Dengan pengalaman dilapangan saya dapat membaca dengan mudah pikiran yang bersilewaran dalam diskusi warung kopi, berkomentar didunia maya ataupun tulisan-tulisan. Baik yang memuji Kepala Daerah maupun yang mengkritik kepala daerah.

Kekagetankupun bertambah. Ternyata disaat aku tidur, tulisankupun banyak menjadi perhatian orang. Entah dikalangan partai, para pendukung candidate, tim sukses hingga pengamat. Entah yang mengkritik maupun yang mendukung.

Tapi ketika ditanyakan kepadaku, mengapa aku begitu perhatian dengan Partai, (terlepas dari berbagai issu aku juga tidak sependapat) ?

Dalam dunia modern, suka atau tidak suka, partai adalah institusi politik dalam demokrasi. Negara bertanggungjawab untuk menjaga kelangsungan partai. Selain adanya dukungan pendanaan (yang sudah dianggarkan), partai harus tetap dijaga keberlangsungannya. Tentu saja partai yang harus dirawat adalah partai yang mengusung Pancasila sebagai asas, tidak terlibat korupsi yang dapat dibubarkan oleh MK, juga tetap mengusung agenda-agenda kepentingan rakyat.

Terhadap kelakuan “para pengurus” yang terlibat kasus korupsi maka harus tetap diproses. Selain untuk menjaga agar partai tetap mandiri dan bersih, partai juga bertanggungjawab kepada public terhadap agenda-agenda rakyat. Sekaligus juga bentuk laporan penggunaan dana dari public yang telah diterima.

Dari pemikiran sederhana dan sama sekali jauh dari pikiran untuk membuat heboh di Jambi, tulisan itu kukirimi ke media online. Dan sama sekali tidak terpikirkan kemudian menarik begitu banyak orang di Jambi.

Semakin malam justru semakin heboh. Berbagai share tulisan, dukungan dari berbagai pihak terhadap tulisan hingga terus mengabarkan suasana heboh terus mengabarkan melalui WA, melalui message FB ataupun komentar diberbagai media. Belum lagi meladeni telephone yang memberikan dukungan.

Saya kemudian justru menjadi heran. Mengapa tulisan itu kemudian menarik begitu banyak orang. Apakah tulisan itu menggambarkan kondisi batin masyarakat Jambi. Atau tulisan itu hanya sekedar konfirmasi dari kegelisahan masyarakat Jambi. Atau tulisan itu sedikit berbeda dengan pandangan sebagian masyarakat Jambi ?

Jawaban yang sampai sekarang belum kutemukan.

Namun sebagai “orang yang suka menulis”, banyak kritikan terhadap tulisanku. Entahlah aku cuma sekedar asumsi, tidak menggunakan metodologi penelitian-lah, hanya sekedar mencatat tuturlah. Pokoknya aku tetap harus dianggap bukan sebagai “akademisi”…

Hello.. Mulai kapan saya mengikrarkan sebagai akademisi. Dari segi apapun, aku tidak tepat dimasukkan sebagai akademisi. Selain sebagai praktisi hukum yang bergelut dalam praktek, aku juga bukan pengajar dari kampus manapun. Akupun juga tidak mempunyai gelar yang berderet untuk membuktikan akademisiku.

Jadi jangan khawatir aku kemudian masuk kedalam akademisi dan mengganggu kemapanan.

Kalaupun aku menulis. Ya. Menulis saja. Mengalir tanpa harus melihat apakah tulisan itu mempunyai nilai akademis atau Cuma sekedar curhat.

Namun yang membuatku tetap senang adalah ketika narasi yang kutawarkan ternyata memantik diskusi. Baik yang setuju maupun yang tidak setuju.

Baik kulihat dikomentar ataupun adanya tulisan yang khusus melihat kiprah dan pandanganku.

Untuk semua itu kuucapkan terima kasih banyak atas semuanya.

Silahkan kritik tulisanku dengan lantang ataupun dengan keras. Bagiku tidak masalah.

Sebagaimana yang disampaikan Leonardo da vinci ketika ditanyakan “lukisan” Monalisa, hingga akhir hayatpun tidak pernah dia berkomentar tentang lukisan.

Baginya, ketika lukisan telah selesai, selesai juga tugasnya.

Tidak salah kemudian aku menganggap, hari senin adalah hari yang kemudian menjadi narasi untuk diskusi Panjang. Menjadi pergumulan berbagai pihak untuk mendiskusikannya.

Hari senin adalah Senin ceria.

Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,