Tidak dapat dipungkiri, manusia sebagai makhluk social selalu berkomunikasi. Baik untuk menyampaikan gagasan, menuangkan pikiran, mempertahankan argumentasi, menguji gagasan bahkan memperjuangkan gagasan.
Dalam interaksi social, komunikasi yang digunakan tidak terlepas dari “sanggahan”, “bantahan” dari pihak lawan. Sehingga perbedaan pandangan kemudian dikenal sebagai debat.
Didalam mengelola pemikiran, seni untuk mengelola perbedaan pandangan kemudian dikenal sebagai “seni berdebat”. Seni ini mengajarkan bagaimana ide dapat ditangkap dan dipahami sebagai kerangka berfikir untuk melihat sesuatu perbedaan.
Secara lahiriah, perbedaan adalah kodrati. Jangankan dalam satu komunitas yang sama. Dalam satu keluarga, perbedaan pandangan sering mendominasi pembicaraan.
Didalam keluarga, putra-putra saya mempunyai perbedaan dukungan tim sepakbola. Yang Pertama dikenal sebagai pendukung Barcelona yang fanatic dengan Messi. Adiknya dikenal pendukung Real Madrid yang mengagumi Christian Ronaldo (sebelum menyeberang ke Juventus). Si Bungsu dikenal pendukung Arsenal.
Ketika pendukung Real Madrid menghajar “messi” sebagai tukang sulap namun tidka bisa main bola dengan menanduk bola, tidak pernah sleeding, tidak mau duel diudara, si Abang kemudian mencak-mencak. Dengan melihat berbagai prestasi Barcelona dibandingkan Madrid, dia kemudian mengatakan Real Madrid cuma banyak gaya.
Begitu juga sebaliknya, ketika si bungsu menimpali mendukung Arsenal sebagai olahraga “keren” dengan sprint khas pemain sepakbola Inggeris, dia kemudian dihajar dengan minimnya prestasi Arsenal.
Namun ketiganya hendak menunjukkan. Pilihan mendukung ataupun menolak berdasarkan kepada prestasi, kekuatan tim bahkan hingga pilihan-pilihan pemain.
Betap gaduhnya ketika ketiganya bermain PS. Suasana dirumah dipastikan “kapal pecah” dan kayak suasana perang. Belum lagi yang kalah kemudian diejek hingga ada yang ngambek. Entah kemudian stik PS kemudian dibanting, atau stik PS kemudian disembunyikan.
Yang menarik adalah ketiganya mendukung tim dengan alasannnya masing-masing. Saya tidak peduli prestasi tim mereka. Tapi ketiganya selalu mengikuti perkembangan tim sepakbola dari pemberitaan. Dan sesekali mereka masing-masing menceritakan perkembangan klub sepakbolanya masing-masing.
Secara sederhana, dalam dialog keluarga, tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan didalam sepakbola. Saudara “sekandung-sedarah”pun ada perbedaan. Dan itu kodrati. Lumrah. Sebagai manusia biasa.
Didalam mengelola perbedaan, seni berdebat memang dibutuhkan. Saya akan menghindarkan cerita kekalahan Madrid didepan pendukung Madrid. Ataupun kekalahan Barca didepan pendukungnya. Begitu juga sebaliknya. Sekali saja diceritakan, bisa heboh satu keluarga.
Namun didalam melihat alasan memilih dan kesukaan kepada tim sepakbola selalu ditampilkan prestasi sepakbolanya. Termasuk juga pilihan pemain-pemain barunya.
Tema pertama kemudian dikenal sebagai “debat”. Tema kedua saya sebutkan sebagai “argumentasi”.
Dalam perkembangannya, perbedaan pandangan itu biarlah menjadi wacana yang menyegarkan ditengah kemarutnya politik Indonesia. Namun nuansa “debat” dan “argumentasi” tidak boleh ditinggalkan.
Didalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, sedari sekolah memang diajarkan tentang “berdebat”. Materi ini diajarkan sejak dari bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Setahu saya, organisasi juga mengajarkan tentang materi ini. Baik dalam simulasi seperti “pidato” dan “debat”.
Sehingga tidak salah kemudian saya selalu mengukur kader kepemimpinan dilihat dari masa mudanya berorganisasi. Entah organisasi kampung seperti “Panitia 17-an agustusan”, “panitia panjat pinang”, “Panitia Maulidan”, “karang taruna”. Ataupun kemudian melebar organisasi resmi seperti “pramuka”, atau “organisasi kepemudaan”.
Menjalani proses melalui keorganisasian juga membentuk kader kepemimpinan. Selain juga mengasah gagasan, menguji gagasan hingga menjadi agenda kerja dalam organisasi.
Didalam berdebat tidak dapat dipungkiri adanya kesalahan. Kesalahan yang tidak mesti terjadi dan justru kontraproduktif terhadap materi debat.
Pertama. Argumentum ad Loculun. Argumentasi ini sering dipakai untuk menggertak lawan namun sama sekali tidak membicarakan apa yang dibicarakan.
Dalam beberapa kali diskusi, saya sering menemukan cara seperti ini. Dulu waktu masih dalam tekanan Soeharto, tuduhan komunis paling laris digunakan.
Pemerintah tidak mendengarkan apa yang menjadi tuntutan buruh. Namun kemudian menuduh organisasi yang bicara tentang upah buruh, nasib petani “distigmasasi” sebagai penyebar komuni.
Issu ini paling laku. Berbagai kejadian kemudian menyebabkan berbagai aktivis menjadi langganan ditangkap, disidangkan.
Dalam dialog sehari-hari cara ini masih sering ditemukan. Ketika ada tulisan kemudian menjadi pembicaraan, maka dengan enteng saja, sang penulis menuduh yang komentar sebagai pendukung kandidat tertentu.
Sang penulis yang memposting tulisannya sama sekali tidak menjelaskan alasan atau argumentasi tulisan yang dipaparkan. Namun malah mengelak.
Ya. Menuduh sang komentator sebagai pendukung candidate tertentu.
Susah memahaminya ?
Gampang. Lihatlah Syair Lagu “Catatan Seorang Penyair” (Ebiet G Ade). “Jangan lihat siapa yang bicara. Tapi dengar apa katanya”.
Dari segi “berdebat’ cara ini paling ditabukan.
Kedua. Argumentum ad ignorantica
Argumentasi ini digunakan oleh sang penutur “untuk melindungi karena ketidaktahuan”.
Kejadian paling heboh ketika seorang penyanyi Indonesia dengan gagah berani menggunakan atribut berbau NAZI dalam tayangan videoklipnya.
Ketika netizen mulai mempersoalkannya, dengan enteng dia mengucapkan kalimat memalukan. “Ini khan seni”.
Namun ketika dipaparkan pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang dikenakan para jenderal NAZI, diapun berkutik tidak berdaya.
Ketiga. Mistake
Argumentasi ini dibangun berdasarkan kesesatan.
Yang paling gampang adalah membangun konstruksi “komplotan” atau “jaringan”. Ketika si A menulis maka bukan argumentasinya yang dilihat. Tapi sudah langsung menuduh si A menulis karena mendukung si B.
Dalam tulisan, menggunakan cara-cara ini justru paling memalukan. Selain meruntuhkan makna tulisan itu sendiri, cara ini sebenarnya justru merendahkan dari sang penulis itu sendiri.
Mungkin masih banyak kesalahan yang sering terjadi didalam debat. Terhadap debat-debat yang kemudian hanya menghasilkan debat tidak bermutu maka saya hanya mengutip “Tinggalkan perdebatan yang tidak ada faedahnya. Sekalipun kita dipihak yang benar”.
Dimuat di www.metrojambi.com, 7 Juli 2020
Pencarian terkait : Opini Musri Nauli, Musri Nauli, jambi dalam hukum, Hukum adat jambi, jambi, sejarah Hukum adat jambi, politik jambi,