Ditengah issu pandemik corona yang belum berkesudahan, ancaman kebakaran Jambi 2020 semakin mengintai. Mengingat traumatik, mengutip data Sipongi kebakaran tahun 2015 mencapai 2.611.411,44 ha dengan 115 ribu ha di Jambi.
Belum usai menyelesaikan “biang kerok” kebakaran 2015, kebakaran 2019 kembali terjadi. Dengan terjadinya kebakaran seluas 1.649.258,00. Dengan kebakaran di Jambi mencapai 56.593,00 ha.
Jauh yang dipaparkan oleh Walhi Jambi seluas 165.186,58 ha. Dan sebagian besar justru Di Gambut mencapai 114.900,2 ha (Walhi 2019). Angka yang tidak jauh berbeda dengan data Warsi yang menyebutkan 157 ribu ha. Dan di gambut 101 ribu ha.
Lalu dimana persoalan yang masih terjadinya kebakaran ?
Menilik “upaya serius” berbagai pihak di Provinsi Jambi yang mempersiapkan sarana dan prasarana pemadaman dengan cara “Gelar Apel Siaga Api” (6 Juli 2020) atau melakukan pemantauan memasang CCTV yang kemudian dikenal “asap digital (17 Juli 2020)
Sebagai bentuk antisipasi seperti kegiatan “gelar apel siaga api” atau “asap digital” harus didukung. Dukungan publik terhadap “upaya serius” berbagai pihak untuk mengantisipasi kebakaran yang akan datang.
Namun apabila ditelik lebih jauh, berbagai kegiatan yang dilakukan berbagai pihak yang kemudian harus didukung oleh publik harus ditempatkan sebagai “upaya pencegahan” dan “upaya penanggulangan”. Kegiatan yang dilakukan adalah “muara” dari berbagai persoalan kebakaran yang terjadi di Jambi.
Padahal persoalan pokok kebakaran bukanlah “dimuara”. Tapi di ulu.
Dalam narasi yang lain, masih ingat program Pemerintah ketika konversi minyak tanah ke Liquefied Petroleum Gas (LPG) melalui Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram (Perpres No 104/2007).
Tidak lama kemudian kita mendengar berbagai “dentuman” gas 3 kg yang meledak disana-sini (kompor meleduk). Badan Perlindungan Konsumen Nasional mencatat semester pertama tahun 2010 sudah mencapai 33 kasus. Tahun 2009, 30 kasus. Tahun 2008 terdapat 28 kasus. Dan tahun 2007 terdapat 5 kasus. (Tempo, 5 Juli 2010).
Yang dilakukan bukan hanya “upaya pemadaman”, tapi mencari pangkal dari persoalan. Sehingga diketahui problema utama dari “kompor meleduk” adalah kualitas tabung gas yang buruk, kualitas selang dan regulator gas yang tidak sesuai standar (Detikcom, 2 Mei 2014).
Cara membaca penyebab “kompor meleduk” kemudian dikenal sebagai “persoalan di ulu”.
Cara membaca persoalan yang kemudian dikenal “ulu” atau “ilir” dikenal didalam berbagai seloko Jambi.
Seloko seperti “Pangkal dengan bungkul. Mencari asal dari usul. Keruh aek di mudik, tengok aek di ulu”, adalah ajaran leluhur dari Moyang orang Jambi.
Dengan demikian apabila membaca kebakaran Jambi tahun 2015 mencapai 115 ribu ha dan kemudian berulang 165 ribu ha, maka persoalan pokoknya bukan “upaya pemadaman”. Tapi persoalan “ulu” yang harus “diberesin”.
Meminjam Seloko “Pangkal dengan bungkul. Mencari asal dari usul. Keruh aek di mudik, tengok aek di ulu”, maka persoalan “ulu” nya adalah “tidak maksimal upaya pemulihan gambut”.
Lihatlah kebakaran di lahan gambut tahun 2015 mencapai 56 ribu ha namun terus bertambah 114 ribu ha.
Mengutip data BRG yang berkonsentrasi “pemulihan gambut” di Jambi diluar konsesi mencapai 86 ribu ha, maka “pemulihan gambut’ yang terjadi justru di luar lahan konsesi.
Atau dengan kata lain, justru kebakaran massif tahun 2015 dan kemudian berulang tahun 2019 justru di lahan konsesi.
BRG tidak memungkinkan mengambilalih wewenang yang telah diberikan oleh kepada Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati. Belum lagi regulasi Perpres No 1/2016 disandingkan dengan PP No. 71/2014 junto PP No. 57/2016.
Bahkan Negara tidak dibenarkan untuk melakukan pemulihan dilahan konsesi. Tanggungjawab terhadap pemulihan gambut akibat kebakaran menjadi tanggungjawab mutlak dari pemegang izin.
Tugas untuk melakukan pemulihan gambut oleh pemegang konsesi dapat dilihat Pasal 30 ayat 1, Pasal 31 A, Pasal 44 PP No. 57 Tahun 2016.
Pemulihan gambut yang tidak dilakukan dan kemudian terbakar tahun 2019 adalah persoalan “ulu” yang harus dibaca dan menjadi penyebab utama kebakaran.
Selama persoalan “ulu” tidak diselesaikan maka “muara” dari kebakaran adalah keniscayaan yang terus berulang. Dan negara harus mengeluarkan “dana” yang besar dari rakyat untuk melakukan “upaya pemadaman”.
Atau dengan kata lain “tidak mungkin air di mudik akan jernih”, apabila “aek di ulunya” tidak dibersihkan.
Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi dan Hukum Kebakaran Hutan dan Lahan
Pencarian terkait : Opini musri nauli, musri nauli, jambi, sejarah jambi, politik jambi, hukum adat jambi,
opini lain dapat dilihat di www.musri-nauli.blogspot.com