Opini oleh : Musri Nauli |
Ketika saya menerima undangan sebagai pemateri Forum Group Discussion (FGD) Melayu Institute, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sultan Thaha Saifuddin, sama sekali tidak terbayang “acara” yang dipersiapkan untuk Dosen-dosen melakukan penelitian.
Saya hanya berfikir diskusi dengan mahasiswa “terbatas”, santai, cair, informal. Apalagi tema yang ditawarkan membicarakan Jambi dari berbagai perspektif. Atau berbagai lintas disiplin ilmu. Baik dari sejarah, Bahasa, Budaya dana agama masyarakat Melayu Jambi.
Namun alangkah kagetnya saya ketika memasuki ruangan. Melihat dosen-dosen dari kampus terkemuka di Jambi. Apalagi pembukaan acara dan kata sambutan Ibu Dekan. Yang berharap dari FGD akan dihasilkan rumusan dan bahan penelitian tentang masyarakat Melayu Jambi. Ditambah lagi dengan harapan agar dapat diketahui tempat penelitian (site penelitian).
Seketika “terbayang” harapan begitu besar dari Ibu Dekan terhadap kegiatan ini. Ditambah melihat dosen-dosen yang rata-rata berlatar belakang Magister yang akan “menguliti” paparan dari saya.
Namun untuk menambah keyakinan, saya kemudian mulai memotret Jambi dari berbagai lintasan disiplin ilmu. Baik dari sejarah, antropologi dan linguistic. Kadangkala disisipkan “nilai-nilai agung” (Seloko) yang tidak dapat dilepaskan dari Filsafat. Bahkan kadangkala harus membicara “norma” yang tidak bisa dipisahkan dari pendekatan hukum. Bidang yang menjadi konsentrasi penulis selama ini.
Dalam berbagai pendekatan disiplin ilmu, berbagai tema sudah sering disampaikan. Baik dalam kegiatan diskusi terbatas, diskusi informal, berbagai opini yang berserakan di berbagai media massa.
Terus terang, berbagai opini masih memerlukan “kajian” lebih serius. Entah “memperdalam” menggunakan berbagai disiplin ilmu (lintas ilmu), menajamkan metodologi, menggunakan teori-teori yang relevan. Bahkan harus mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang sudah melewati proses yang sahih.
Sehingga berbagai “cerita” dari lapangan, tutur yang “Cuma dituliskan”, mempunyai kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Namun karena “background’ ilmu penulis yang terbatas ilmu hukum, praktis “pendalaman” berbagai lintas disiplin ilmu memerlukan waktu yang panjang. Belum lagi “pisau bedah analisis” yang dapat menggambarkan fakta-fakta ataupun temuan dari lapangan.
Tidak salah kemudian paparan yang disampaikan “jauh dari kata sempurna”.
Namun sebagai “kata kunci” pembuka dari berbagai misteri tentang masyarakat Melayu Jambi, paparan yang dihadirkan terlalu sayang cuma diceritakan didalam ruangan. Alangkah eloknya, cerita dari ruangan dapat disampaikan kepada masyarakat luas. Sehingga “kata kunci” memerlukan penajaman dari publik. Selain untuk memperkaya bacaan juga sekaligus control dari paparan dari penulis.
Dari pemaparan yang telah saya sampaikan, saya memulai dari 3 tema besar. Yakni sejarah, Bahasa dan Budaya. Khusus agama hanya memberikan catatan singkat saja.
Sebelum memasuki tiga tema besar, saya mengklasifikasikan pendekatan berdasarkan tipologi alam. Maka kemudian dikenal daerah uluan, daerah tengah dan daerah ilir Jambi.
Tipologi kemudian meninggalkan jejak dalam kurun waktu tertentu.
Dari pendekatan sejarah, saya teringat seorang teman seorang arkeologi. Dia telah berjalan hampir seluruh penjuru dunia. Meneliti berbagai peradaban dari pengamatan terhadap barang (arkeologi).
Namun yang paling saya ingat adalah ketika dia menyampaikan. Seluruh peradaban dunia, sejarah bahkan pra sejarah dunia terdapat di Jambi. Sehingga tidak salah kemudian dia memberikan “Negeri Jambi adalah tempat yang paling lengkap didunia”.
Yang membuat saya semakin kagum. Ketika dia meninggalkan kampus tempat dia mengajar di Sulawesi. Kemudian pindah ke Universitas Jambi. Merintis Fakultas Arkeologi. Dari awal.
Dengan memulai dari awal, maka dia mempunyai konsekwensi meninggalkan seluruh fasilitas yang telah ada di kampusnya terdahulu. Merintis dari nol dengan segala keterbatasan.
Cara pandang “Negeri Paling Lengkap” adalah adrenalis yang bisa ditangkap sebagai “kehausan intelektual”. Sebuah dahaga yang tidak bisa digantikan dengan apapun.
Tidak salah kemudian. Jambi mempunyai peradaban dari mulai pra sejarah. Peninggalan zaman megalitikum (batu bersusun) terdapat di Kerinci, Sungai Penuh, Merangin. Peninggalan zaman megalitikum hanya terdapat dibeberapa tempat di Indonesia.
Tempat symbol yang melambangkan leluhur bangsa Jambi jauh sebelum ada kerajaan di Indonesia.
Daerah ini kemudian dikenal sebagai dataran tinggi. Berbagai riset klasik membuktikannya.
Paska zaman Megalitikum kemudian dikenal masa pra Budha. Zaman menjelang kedatangan Agama Budha.
Terlepas di Indonesia yang masuk agama budha terlebih dahulu dibandingkan dengan Hindu, jejak zaman pra budha dikenal sebagai zaman leluhur nenek moyang. Dalam dialog sehari-hari dikenal sebagai istilah “Puyang”.
Maka dikenal “puyang” seperti “Nenek semula Jadi” di Marga Batin Pengambang (Sarolangun). Atau “Datuk Perpatih Penyiang Rantau” di Marga Sumay (Tebo)
Istilah “datuk Perpatih penyiang” mengingatkan nenek moyang masyarakat Minangkabau yang sering menyebutkan “Datuk Perpatih Nan sebatang”.
Pengaruh Minangkabau di Tebo, Bungo bahkan di Sarolangun begitu kuat. Berbagai seloko seperti “Mengilir berajo Jambi. Lipat pandan balek ke Minangkabau” adalah tutur yang membuktikan daerah “uluan” Sungai Batanghari menganut dua Rajo.
Tema ini sudah sering saya tuliskan sebagai “keunikan” sekaligus menepiskan “kekuasaan Kerajaan Jambi Darussalam” seluas wilayah Provinsi Jambi. Hanya daerah “ilir” yang didalam kekuasaan wilayah Kerajaan Jambi Darusallam.
Sedangkan daerah Uluan kemudian sering disebutkan sebagai “Merajo”. “Merajo” juga sering disebutkan sebagai “ikrar” kepada Rajo Jambi.
Sehingga Seloko “Mengilir Berajo Jambi” kemudian diartikan, ketika menempuh Sungai Batanghari kemudian melewati wilayah “hilir Jambi” kemudian berikrar kepada “Rajo Jambi”.
Namun ketika kembali ke daerah “uluan” kembali “berikrar” kepada Minangkabau.
Wilayah Tebo, Bangko, juga disebutkan didalam Tambo Minangkabau sebagai “rantau Ikua”. Rantau Ikua diartikan sebagai daerah “rantau” yang memanjang.
Banyak sekali nama-nama leluhur (Puyang) sebelum masuknya masa Budha.
Pada Masa budha di Jambi dikenal didaerah Muara Jambi. Dikenal sebagai Candi Muara Jambi yang terdapat 88 candi seluas 2405 ha. Sebagai pusat Pendidikan (cerita terakhir). Salah satu pusat Pendidikan terbesar agama Budha.
Catatan I’tsing yang menyebutkan hingga mencapai 6000 biksu kemudian dikenal sebagai “jalur awal” Pendidikan Universitas Nalanda (India). Semacam pondok pesantren di Jawa.
Candi Muara Jambi kemudian dikenal dunia. Bahkan kalender rutin Hari Raya Waisak kemudian dirayakan setiap tahun. Berbagai biksu sedunia datang untuk menghormati tempat Candi Muara Jambi.
Paska Agama Budha kemudian ditemukan catatan “Kitab Tanjung Tanah”. Sebuah kitab pengaturan hukum (semacam KUHP).
Menurut Ulu Kozok, usianya diperkirakan 800 tahun yang lalu. Atau sekitar abad 12-an.
Berbagai “mantra” kemudian dikenal sebagai “ajaran” Agama Hindu. Periode yang sama juga diberbagai tempat di Indonesia.
Paska dari Hindu, 200 tahun kemudian dikenal sejarah Datuk Paduko Berhalo. Sebuah zaman kemudian dikenal Islam di Jambi. Datuk Paduko Berhalo sebagai raja Jambi kemudian dilanjutkan Rang Kayo Hitam hingga ke Sultan Thaha Saifuddin. Raja terakhir yang kemudian gugur tahun 1904.
Berbagai periode zaman sejarah membuktikan “negeri Jambi” adalah “petilasan” paling lengkap didunia. Sekali lagi meminjam teman saya arkeolog, “tidak ada negeri selengkap Jambi”.
Dari pendekatan Bahasa, keunikan di Jambi juga dapat ditemukan.
Istilah “guguk”, “suku”, “kalbu” adalah “kekerabatan yang lahir dari pendekatan geneologis. Lahir dari satu “nenek”. Pendekatan matrilineal yang dapat ditemukan di Minangkabau.
“Rumpun keluarga” dengan istilah “guguk”, “kalbu” ataupun suku adalah factor penting didalam melihat relasi sosial. Dalam relasi sosial inilah kemudian harus dibaca sebagai factor didalam melihat cara “cosmopolitan” masyarakat Melayu Jambi didalam melihat kepemimpinan.
Selain itu berbagai istilah juga ditemukan didalam masyarakat “orang rimba”. Walaupun maknanya sama, namun “penggunaan berbagai diksi kata” membuktikan masyarakat “Orang rimba” mempunyai linguistic sendiri.
Selain itu juga ada penggunaan Bahasa yang dikenal masyarakat Batin. Istilah-istilah yang sering dituturkan didalam Seloko juga membedakan dengan masyarakat daerah “ilir” Jambi.
Tentu saja, sebagai tutur, masih banyak sekali “kosa-kata” dari berbagai kelompok masyarakat. Seperti di Simarantihan (Marga Sumay) yang berbeda dengan kelompok lain.
Misalnya istilah “sialang pendulangan” yang hanya dikenal di Talang Mamak. Walaupun istilah “sialang” banyak dikenal diberbagai tempat, namun “sialang pendulangan” hanya dikenal di Simarantihan.
Tentu saja memerlukan waktu yang panjang, penelitian yang tekun untuk menyusuri setiap kata-kata yang digunakan didalam berbagai percakapan sehari-hari.
Namun sebagai “pembuka kunci”, paparan dari saya hanya sekedar mengajak untuk melihat masyarakat Melayu Jambi lebih jauh.
Ternyata berbagai disiplin ilmu dapat memotret secara utuh berbagai pengetahuan yang ada di masyarakat.
Tinggal tugas akademisi dan kampus kemudian dapat menjawab. Agar masyarakat Melayu Jambi tidak dapat disamakan dengan kelompok masyarakat ditempat lain.
Sudah saatnya, penggalian lebih tekun dapat menjawab. Bagaimana masyarakat Melayu Jambi dapat bertahan, mewariskan pengetahuan turun temurun. Tanpa harus tergerus oleh putaran zaman.
Baca juga : Puyang Orang Jambi dan Jambi dan Antropologi