Pagi-pagi mendapatkan ucapan Selamat Hari Ibu dari putra-putriku kepada ibunya membuat aku teringat masa-masa kelam dan sulit sebagai guru.
Sebagai guru yang ditempatkan didesa terpencil di Muara Jambi, teringat bagaimana ibu anak-anaku tetap bertahan.
“Mungkin sebagai guru di desa lebih dibutuhkan daripada di kota”, kata istriku sembari bertahan memilih di desa.
“Tidak. Biarlah aku masih disana”, katanya kukuh. Sama sekali tidak tergerak untuk pindah ke kota.
Padahal banyak sekali tawaran agar pindah ke kota. Entah karena masa kerja yang diatas puluhan tahun di desa membuat untuk mendapatkan “privile” pindah ke kota.
“Disana, guru terasa dihargai. Murid-murid memang menghargai guru”, kata istriku sembari memperkuat alasannya.
Jangan tanya jam berapa harus bangun dan bersiap ke sekolah. Dibutuhkan 2 jam ke sekolah. Harus menempuh perjalanan jauh.
Teringat awal-awal penugasan. Jam 4.30 harus diantar. Naik mobil angkutan umum yang mangkal didepan WTC. Tidak boleh telat. Lewat jam 5 saja, sudah pasti tertinggal dari angkutan umum.
Belum lagi murid-murid yang sering telat bayar SPP. Secara spontan mesti ditanggung oleh para guru. Selain mengakibatkan murid tidak menerima Lapor juga menerima sanksi dari sekolah.
Dan para guru mesti “iuran” menombok untuk mengatasinya. Dan tidak pernah berfikir untuk harus mengembalikan.
Masih teringat harus temani urusan ke Dinas Pendidikan yang harus diatur rapi. Selain tidak bisa ke sekolah dan meminta teman-teman untuk menggantikannya, kadang pejabat yang ditemui tidak mesti kelar sehari.
Atau uang lauk pauk yang sering telat. Ataupun berbagai fasilitas yang sering diterima tidak sesuai dengna kenyataan.
Lalu apakah istriku kemudian protes dan kemudian melakukan mogok belajar ?
Tidak. Dia terus melaksanakan tugasnya. Ditengah berbagai persoalan yang terus terjadi di lapangan, dia sama sekali tidak mengeluh.
Murid yang diajarkan menjadi tanggungjawabnya. Dia tidak peduli berbagai fasilitas. Murid adalah segala-galanya.
Kadang aku mulai jenuh. Melihat setiap hari mesti ke sekolah. Mengajar tepat waktu.
Tapi pilihannya menjadi guru harus kuhormati. Dan itu mesti kujaga. Itu pilihannya. Sejak masa kuliah. Sejak memilih menetapkan sebagai guru.
Sikap dan keteladanan sebagai guru membuat aku bangga. Begitulah guru. Ditengah berbagai persoalan yang terjadi, mengajar adalah tugas utama.
Dan mereka masih banyak menjalankan tugasnya. Sepi dari pemberitaaan. Sepi dari perhatian kita semua.
Berdosalah para pengambil kebijakan ketika nasib mereka tidak berubah.
Bak pepatah kata orang tua. “Kualat kepada guru”.
Selamat hari Guru, Ibu anak-anakku.
Inspirasimu mampu menggerakkan anakku. Setia kepada profesi.
Pencarian terkait : opini musri nauli, musri nauli, jambi,