Sebenarnya saya sudah malas membahas tentang Lembaga survey dan Pernik-perniknya. Selain sempat heboh tahun 2014 dan tahun 2019, seruan untuk mempercayai Lembaga survey begitu kuat. Padahal kekuatan suara justru dari lapangan.
Kemalasan itu semakin menjadi-jadi. Bukankah masih ingat menjelang pencoblosan, berbagai Lembaga survey menempatkan kandidat nomor 3 selalu nomor buncit.
Berbagai Lembaga survey menempatkan Al Haris cuma 23 % atau 26 %. Bahkan berbagai Lembaga suvey justru mengungguli paslon nomor 1 dan paslon nomor 2. Tidak ada satupun mengungguli Al haris-Sani.
Ketika itu sempat terjadi kepanikan. Bahkan berbagai desakan kemudian menghendaki agar Tim Al Haris-Sani juga memaparkan hasil survey internal.
Saya tetap tersenyum. Menahan diri untuk terlibat komentar terhadap hasil survey. Selain Cuma berkata “nanti kita lihat di TPS”.
Teringat ketika awal-awal cuma diajak diskusi terbatas. Dengan sebuah Lembaga survey. Waktu itu belum ada satupun kandidat yang mendapatkan partai.
Teringat dengan “angkuh” sebuah Lembaga survey menyebutkan Al Haris-Sani cuma mendapatkan tingkat popularitas sekitar 12 %. Dengan tingkat keterpilhan sekitar 8 %.
Apakah Al Haris-Sani kemudian panik dan kemudian berhenti untuk menyampaikan gagasannya ?
Sama sekali tidak. Al Haris-Sani tetap membangun silaturahmi dengan berbagai kalangan. Sekalian juga menghitung kekuatan.
Termasuk juga “gonjang-ganjing” partai pendukung. Tidak ada satupun yang memperkirakan Al-Haris-Sani mendapatkan dukungan partai yang mencukupi untuk pencalonan sebagai Gubernur/Wakil Gubernur Jambi 2020.
Namun cerita kemudian berbeda. Berbagai cemoohan bahkan ditengah keraguan, Al Haris-Sani malah jauh-jauh hari sudah mencukupi partai. Sehingga dengan tenang sejak maret 2020, Al Haris-Sani tinggal sosialisasi dan berkeliling ke wilayah Jambi.
Termasuk juga ketika berbagai kandidat lain bongkar pasang pasangan. Al Haris-Sani terus berkeliling dan mengunjungi masyarakat.
Bahkan ketika issu makin kencang, dukungan partai yang terus berubah, Al Haris-Sani masih juga berkeliling.
Sehingga ketika Al Haris-Sani kemudian mendaftarkan ke KPU, langkah mantap, senyum ceria terpancar kedua kandidat.
Dengan santai, Al Haris menyetir mobil sendiri dengan Yai Sani kemudian duduk di sebelah driver.
Namun berbagai kejadian demi kejadian belum juga diterima oleh berbagai kalangan.
Majunya dan mendapatkan dukungan partai untuk mendaftarkan ke KPU belum juga memperhitungkan suara yang akan diraup oleh Al Haris-Sani.
Menjelang pemilihan, berbagai Lembaga survey dengan lantang menempatkan Al Haris-Sani tetap bertengger di posisi buncit. Dan sekaligus tidak memperhitungkan suara Al Haris-Sani.
Namun ketika suara yang diraup Al Haris-Sani kemudian “meledak” di TPS, belum juga berbagai kalangan menerima kenyataan itu.
Dengan berbagai simulasi, membangun opini bahkan mulai menggiring pandangan public terhadap hasil yang diraih membuat sebagian masyarakat kemudian mulai meragukan terhadap capaian suara di Pilkada Gub 2020.
Tapi sudahlah. Meminjam istilah temanku “biarlah, bang. Yang penting kawan senang. Bukankah kalau kawan senang, kita juga mendapatkan pahala”.
Kejadian terhadap Lembaga survey juga sering “meremehkan” Al Haris-Sani. Ketika maju untuk Pilbup Merangin 2013, nama Al haris sama sekali tidak diperhitungkan.
Namun Al Haris berhasil menjadi Bupati Merangin. Sekaligus mementahkan ramalan berbagai kalangan.
Begitu juga ketika maju untuk periode kedua. Al Haris bahkan nyaris tidak mencukupi untuk mendapatkan partai mendaftarkan ke KPU.
Namun lagi-lagi Al Haris memenangkan Bupati Merangin.
Berbeda dengan angka-angka matematis dalam hitungan Lembaga survey, Al Haris sudah “kebal” dari orang yang tidak diperhitungkan. Termasuk ketidakpercayaan sebagian kalangan terhadap kerja keras tim.
Yang menarik adalah, apa penjelasan dari Lembaga survey yang Cuma hitungan hari menempatkan Al Haris-Sani sebagai nomor buncit namun kemudian meraih suara yang signifikan.
Mengapa tidak ada penjelasan ilmiah yang bisa dipaparkan.
Ditengah masyarakat, ada pandangan yang selalu melihat “keberuntungan”. Dalam pembicaraan sehari-hari dikenal dengan garis tangan.
Bukankah ketika Jokowi maju pertama kali sebagai Presiden sebagian kalangan juga belum bisa menerima kenyataan.
Bukan ketua Partai. Bukan anak penggede. Bukan juga dari keluarga yang berpengaruh.
Lalu apa penjelasan yang bisa diterangkan ketika Jokowi kemudian menjadi Presiden periode pertama.
Ya. Keberuntungan. “Garis tangan”, kata orang tua di kampung.
Dan itu termasuk “rahasia” Tuhan. Meminjam istilah temanku, “Tuhan sedang bekerja dengan caranya”.
Sebagai “rahasia” dan keberuntungan, tidak ada sama sekali intervensi manusia.
Berbagai logika, asumsi, hitung matematis hingga berbagai prediksi akan buyar dengan istilah kata. “Keberuntungan”.
Lalu mengapa kita tidak siap menerima orang yang selalu beruntung ?