Ketika orang kaya yang kemudian maju ke dunia politik, teriakkan koor seketika menggema. Menebalkan keyakinan rakyat dia tidak akan korupsi.
“Kami tidak perlu korupsi. Karena kami sudah kaya”, teriakkan ditengah alun-alun. Persis mantra yang kemudian menghipnotis rakyatnya.
“Untuk apa kami korupsi. Semuanya sudah tersedia”, teriakkan yang lain.
Rakyatpun mengangguk-angguk percaya. Mantra yang dikeluarkan kemudian dipercaya sebagai kebenaran. Persis jimat yang sering diberikan dukun kampung untuk menghipnotis orang.
Menikmati sebagai pejabat, hampir seluruh kebutuhan ditanggung oleh negara. Entah pakaian seragam kerja, makan-minum dirumah, tugas keluar kota. Bahkan hampir seluruh kebutuhan pribadi ditanggung negara.
Sehingga dipastikan gaji ataupun tunjangan yang diterima cukup untuk kebutuhannya. Bahkan praktis sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang apapun.
Hipotesis ini kemudian mulai dipercaya. Berbagai jurangan kaya kemudian terjun ke dunia politik. Meraih suara dengan modal yang telah disiapkan selama ini. Menyingkirkan para pejuang yang terseok-seok meraih dukungan.
Namun kenyataan berbicara lain. Pelan-pelan “kedok” sebagai orang kaya mulai menampakkan watak aslinya.
Ditangkapnya Menteri KKP membelalakkan mata publik. Lihatlah bagaimana barang yang dibeli dari hasil “suap”.
Seperti barang mewah tersebut meliputi tas merek Louis Vuitton, tas merek Hermes, jam merek Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumi, dan tas koper LV. Ada pula sebuah sepeda yang ikut disita tetapi tidak disebutkan mereknya. Sementara, baju Old Navy dikenal sebagai label street wear.
Dua fashion item keluaran Louis Vuitton cukup menarik perhatian karena dipamerkan tanpa kemasan. Barang pertama merupakan sebuah crossbody bag yang dinamakan The Soft Trunk. Tas berbahan kanvas dengan motif monogram LV terbilang masuk koleksi anyar. Berdasarkan keterangan situs Louis Vuitton AS, tas tersebut berharga 3.650 dolar AS atau sekitar Rp51,5 juta.
Barang keluaran Louis Vuitton adalah sepasang sepatu buatan Italia berbahan kulit sapi. Sepatu bersol tebal dengan tiga monogram bunga keemasan itu diketahui berharga 1.050 dolar AS atau hampir Rp15 juta.
Di luar itu, ada pula tas Chanel berwarna putih yang pernah dikenakan Iis Rosyati Dewi saat berkunjung ke Melbourne, Australia, pada awal Maret 2020 lalu.
Atau keterlibatan Menteri Sosial yang menerima tampungan dana dari bansos senilai Rp 14,5 milyar.
Padahal sebelum masuk ke dunia politisi, Menteri Sosial dikenal mempunyai perusahaan energi yang bonafid dan terpandang.
Lalu apa pesan dari kedua peristiwa diatas ? Apakah kekayaan yang dapat dinikmati dengan tenang tidak cukup lagi sehingga melakukan korupsi ?
Tidak. Kekayaan tidak membuat manusia kemudian menyatakan cukup. Kekayaan tidak membuat orang kemudian berbakti untuk negeri dengan tulus.
Dengan mengelola dana trilyunan rupiah membuat kekayaan yang telah ada justru membuat mereka semakin kalap. Semakin rakus. Kekayaan yang ada justru harus terus ditumpuk. Sebagai bekal apabila tidak menjabat posisi politik lagi.
Kekayaan adalah harta. Namun terus meraup kekayaan adalah kerakusan. Watak manusia yang tidak pernah bersyukur.
Teringat kata-kata Mahatma Gandhi. Seorang tokoh dan pemimpin dunia yang dihormati yang menggagas gerakan perlawanan tanpa kekerasan (Ahimsa).
“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua. Namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah”.
Ditengah wabah pandemic corona yang belum usai, ditengah himpitan ekonomi yang yang belum selesai, kedua Menteri aktif yang korupsi justru menampakkan watak manusia sesungguhnya.
Rakus.
Pencarian terkait : opini musri nauli, musri nauli, hukum adat jambi, jambi,