Masih ingat “seakan-akan” dunia akan runtuh. Tema pemberantasan korupsi akan mati suri ketika RUU KPK kemudian disahkan.
Berbagai gelombang penolakkan begitu keras. Berbagai pihak kemudian menolak RUU KPK.
Belum usai gelombang penolakkan, disahkan pimpinan KPK dan kemudian masuk ke Gedung Merah Putih gelombang penolakkan semakin mengkristal.
Bahkan ancaman mundur dari pasukan internal begitu kuat. Ancaman itu disuarakan. Bahkan nasib KPK seakan-akan diujung tanduk.
Hampir setahun kemudian KPK tidak terdengar suaranya. Kegiatan KPK hanya berkonsentrasi pencegahan. Kalaupun ada penangkapan dan penahanan, KPK hanya menghabiskan perkara-perkara lama. Istilahnya “menghabiskan tunggakkan perkara”.
Namun setahun kemudian KPK tetap menunjukkan taringnya. Penangkapan Menteri (aktif) KKP disusul Menteri (lagi-lagi aktif) Sosial menunjukkan KPK bukanlah seperti yang dituduhkan sebagian kalangan. “Cemen”, celetuk teman ngopi di Banjarmasin.
Belum lagi Walikota Cimahi dan Bupati Banggai Laut yang menerima “upeti” menjelang pilkada.
Membaca gaya kepemimpinan Firli Bahuri (Firli) sebagai “panglima” memimpin pasukan KPK tidak boleh diremehkan.
Cemoohan public bahkan sikap skeptic dari public selama setahun ini sama sekali tidak pernah ditanggapi oleh Firli. Firli malah merapikan pasukannya yang semula resisten menolaknya.
Dengan kalem Firli terus menjalankan tugasnya. Firli dan pemimpin KPK terus bekerja dengan senyap.
Nah. Setelah dianggap di internal cukup rapi dan mulai menjalankan fungsinya baik sebagai lembaga yang melakukan supervisi pencegahan dan terus menyelesaikan tunggakkan perkara, FIrli mulai “keluar kendang”.
Cara kepemimpinan Firli mengingatkan Kerajaan Sriwijaya.
Sebagai kerajaan Sriwijaya yang memerintah sebagian besar Kepulauan di Sumatera, memiliki angkutan angkutan laut yang kuat, Sriwijaya mampu mengontrol selat malaka. Salah satu jalur tersibuk yang kemudian mempengaruhi Sriwijaya sebagai pengendali. Kerajaan Sriwijaya kemudian mengalami puncaknya abad 12 ketika Sriwijaya mampu mengontrol hingga Semenanjung Melayu, Jawa Barat dan Filipina.
Berbeda dengan kerajaan lain di nusantara, Kekuatan Sriwijaya terletak kepada kekuatan diplomasi dan kekuatan perang.
Sebagai kekuatan diplomasi, Putri Campa konon tertarik dan kemudian menjadi keluarga besar dalam kerajaan Sriwijaya.
Kekuasaan Sriwijaya dengan kekuatan diplomasi memperlihatkan kegigihan diplomasi, merebut hati pihak lain, membangun persekutuan, bertahan namun sukses memukul mundur pihak lain.
Lihatlah. Tangan dingin Firli dan pemimpin KPK yang berhasil membuat tidak mundurnya pasukan yang semula menolaknya.
Firli dan pemimpin KPK berhasil merebut hati para pasukannya. Kekuatan diplomasi yang menjadi kekuatan Sriwijaya diturunkan oleh Firli dan pemimpin KPK.
Kekuatan inilah yang menjadi inspirasi Firli untuk memimpin pasukan di KPK.
Firli dan pemimpin KPK dengan diam terus bekerja untuk merebut hati sebagai kekuatan diplomasi.
Selain itu dengan membangun kekuatan kolektif yang diwariskan Sriwijaya membuat KPK terus bekerja. Sembari merapikan barisan, Firli kemudian akhirnya harus menguji loyalitas pasukan KPK.
Dan ketika momentumnya tiba. Berbagai musuh – yang korupsi ditengah pandemic, Firli dan pasukannya menunjukkan loyalitas. Berbakti untuk negeri.
Satu demi satu kemudian dilibasnya.
Akhirnya Firli, pimpinan KPK dan KPK kembali menunjukkan jati diri. Sebagai pendekar pemberantasan korupsi.
Selamat datang kembali KPK. Sedikitpun kami tidak ragu atas kiprahmu.
Mari kita bungkam mereka yang semula ragu dengan kinerjamu.
Pencarian terkait : opini musri nauli, musri nauli, jambi dalam hukum, KPK, korupsi, Firli, hukum adat jambi, jambi