Usai pencoblosan tanggal 9 Desember 2020. Usai sudah Usai sudah Pilkada di Jambi.
Publik kemudian menunggu hasil penetapan resmi oleh penyenggara pilkada. Penetapan berjenjang dari tingkat kecamatan, Kabupaten dan Provinsi.
Kalaupun ada yang keberatan hasil keputusan KPU, maka pihak keberatan dapat mengajukan keberatan di Mahkamah Konstitusi. Regulasi yang memberikan kesempatan para pihak untuk mengajukan keberatan sesuai regulasi.
Namun sebagai praktisi hukum, saya tidak menunggu. Saya tidak mungkin menunggu berbagai proses yang dilalu sembari “mengabaikan” persoalan ditengah masyarakat.
Dengan alasan teknis, khawatir akan dijadikan agenda politik terselubung, sengaja pertemuan diadakan setelah Pilkada. Walaupun sudah berjanji turun ke lapangan dua minggu sebelumnya.
Apalagi pemantau akan mengganggu proses pertemuan yang bisa saja datang untuk sekedar bertanya. Bahkan akan dianggap sebagai kampanye terselubung.
Maka setelah usai Pilkada, saya kemudian bergegas. Bangun minggu pagi menuju tempat yang dijanjikan.
Sempat menerima protes dari keluarga. Bukankah hari minggu pagi merupakan waktu kemewahan bagi keluarga.
Namun “ketika rakyat memanggil, tidak ada alasan apapun untuk tidak didengar”. Makna itulah yang membuat adrenalin selalu harus dipacu.
Mendengar cerita, data dan kemarahan dari rakyat, seketika ubun-ubun emosi saya meledak. Mengapa masih ada rakyat yang sama sekali tidak diurus.
Dengan mengambil spidol di karton, mereka menuliskan sketsa. Sembari berujar “Kami sudah kesana-kesini.. Sama sekali tidak diurus !!!’, terdengar suara lirih. Menahan penderitaan dan kesedihan. Sekaligus emosi dan kemarahan yang tertahankan.
Alangkah naifnya !!!. Alangkah kualatnya. Mereka yang digaji dari tetesan rakyat sama sekali tidka menjalankan tugasnya.
Padahal dengan memberikan mandate, tugas dan kekuasaan yang ada padanya, mereka mampu untuk melindungi hajat orang banyak. Memberikan kesejahteraan kepada rakyat.
Mandat yang diberikan sebagai bentuk partisipasi rakyat memilih pemimpin.
Dimana Nurani mereka ? Dimana rasa kepedulian mereka ?
Ketika amarah rakyat kemudian mencapai puncaknya, maka tunggu kualat dari rakyat.
Karena kualat rakyat telah jauh-jauh hari diingatkan oleh Datuk Paduko Berhalo. “Tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Tengah-tengah dimakan kumbang”.
Pencarian terkait : opini musri nauli, musri nauli, hukum adat jambi, jambi,