Beberapa waktu yang lalu saya membaca opini yang dituliskan oleh Pengamat Politik tentang permohonan Pilgub di MK.
Sebagai opini yang kemudian dimuat di media massa, opini yang dituliskan menggambarkan cara pandang dari sang penulis.
Sekedar gambaran, ketika proses Pilgub berlangsung, saya tidak melihat pandangan pilgub dari pandangan politik. Background ilmu yang menjadi landasan berfikirnya.
Padahal Pilgub banyak mengajarkan dan menjadi pelajaran penting yang dapat mengedukasi publik. Terutama berkaitan dengan “salah pandang” terhadap dunia politik.
Sebagai bagian dari proses penting pilgub Jambi, saya bahkan tidak mendengarkan pelajaran penting dari sang pengamat. Justru ketika Pilgub usai, pelajaran dan peristiwa penting Pilgub bukan dilihat dari ranah politik. Justru terjebak dalam pandangan hukum.
Padahal dari pendekatan politik, Pilgub justru memberikan pelajaran penting. Misalnya bagaimana dukungan dari milenial didalam pilgub, bagaimana asumsi yang menjadi pengetahuan masyarakat justru terpatahkan dengan hasil pilgub. Dan bagaimana dukungan dari berbagai daerah yang kemudian “kotak suara” kemudian meledak.
Prediksi diluar perkiraan siapapun. Termasuk Lembaga survey yang masih angkuh mengunggulkan kandidat lain. Bahkan menjelang Pilgub berlangsung.
Dan Lembaga Quick count yang salah menghitung kemenangan hasil Pilgub. Dan sampai sekarang tidak ada sepatah katapun terhadap hasil pilgub yang berbeda dengan hasil quick count.
Terlalu sayang momentum hasil pilgub tidak menjadi pelajaran politik ditengah masyarakat. Dan memberikan edukasi dan membangun optimis terhadap masyarakat.
Tapi sudahlah. Mungkin cara pandang dari peristiwa politik termasuk juga hasil pilgub kurang menarik perhatiannya. Sehingga hiruk pikuk pilgub kemudian tenggelam dengan berbagai peristiwa lain.
Sebenarnya untuk membaca permohonan di MK, sangatlah mudah. Tidak perlu analisis mendalam.
Pertama. Bagaimana mekanisme terjadinya perbedaan selisih hasil pilgub yang sudah ditetapkan dengan permohonan di MK.
Secara administrasi, mekanisme ini mudah dilihat. Sebelum menghitung selisih antara hasil pilgub dengan permohonan, dalil apa yang hendak digunakan untuk menangkis hasil pilgub.
Secara sederhana adalah apakah terhadap “orang yang tidak mempunyai KTP atau surat keterangan” dapat memilih ?
Wacana ini sudah lama digulirkan sejak 2008. Dan praktis sudah diputuskan oleh MK. Sehingga menjadi tidak relevan untuk dibicarakan.
Dengan melihat dalil yang kemudian sudah diputuskan oleh MK, maka secara konstitusi menjadi tidak relevan untuk dibahas.
Kedua. Terhadap dalil yang kemudian sudah diputuskan oleh MK, maka secara konstitusional menjadi tidak relevan untuk memasuki teknis penghitungan. Termasuk selisih suara yang menjadi perhatian dari permohonan.
Didalam mekanisme permohonan, didalam praktek dikenal “pemeriksaan formil” dan pemeriksaan materiil.
Hakim dapat membatalkan permohonan setelah pemeriksaan formil tidak memenuhi ketentuan hukum. Atau dengan kata lain, dalil dari pemohon tidak berdasar.
Dengan tidak diterimanya pemeriksaan formil, maka hakim tidak perlu lagi memeriksa permohonan materiil.
Lalu apakah pemeriksaan formil cuma berkaitan dengan diterimanya atau tidak diterima permohonan dari pemohon ?. Terutama ketika persidangan pertama telah dilalui.
Tidak. Pemeriksaan formil adalah pemeriksaan dari dalil dari pemohon. Apakah terhadap dalil pemohon dapat diterima secara konstitusi atau tidak ?
Ketiga. Dalam hiruk pikuk di persidangan di MK, cara pandang semata-mata menggunakan “pisau bedah” konstitusi. Bukan dari pemikiran politik semata.
Cara pandang politik didalam melihat persidangan di MK selain mengganggu proses persidangan itu sendiri justru malah mengaburkan substansi dari pendekatan hukum.
Keempat. Sudah seharusnya, terhadap permohonan yang diajukan didalam sidang di MK juga menggunakan berbagai pisau analisis berbagai putusan di MK.
Selain akan membantu untuk memahami permohonan, justru memberikan Pendidikan hukum ditengah masyarakat.
Hampir praktis, terhadap tema-tema hukum yang berkaitan dengan pilkada sudah banyak diputuskan oleh MK. Sehingga tema-tema hukum yang berkaitan dengan pilkada dapat menjadi panduan dari masyarakat umum untuk melihat persidangan di MK.
Tema-tema seperti TSM, hak memilih, hak dipilih, cara penghitungan, UU Pemilu praktis sudah dapat diakses di website di MK. Sehingga siapapun dapat belajar langsung melalui putusan MK.
Lihatlah. Praktis sejak 2018, permohonan Pilkada di MK lebih banyak menghitung selisih suara. Bukan lagi tema-tema hukum yang berkaitan dengan pilkada.
Namun sayang sekali. Terhadap cara membaca permohonan di MK, sama sekali tidak menggunakan berbagai putusan MK untuk membacanya.
Sehingga gegap gempita sidang di MK malah lebih riuh dari substansi.
Dan sorak sorai semakin riuh justru bukan diteriakkan oleh orang yang mempunyai kapasitas untuk membacanya. Namun dari kerumunan pasar yang yang lebih menonjolkan kekuatan suaranya.