Entah mengapa kata-kata “brutal politik” digunakan oleh seorang praktisi hukum didalam melihat kisruh Partai Demokrat. Sebuah istilah yang memantik polemik sekaligus juga menarik perhatian.
Kata brutal dipadankan dengan kejam. Dari Bahasa Inggeris yang merupakan terjemahan langsung. Kata brutal kemudian merujuk “very violent”.
Kamus Bahasa Indonesia kemudian menerjemahkan “kejam” dengan definisi “tidak menaruh belas kasihan”. Atau “bengis”.
Sebagai praktisi hukum, kata-kata brutal lebih menampakkan kejahatan serius yang menghabisi nyawa manusia. Pembunuhan yang dimulai dari berbagai rangkaian kejahatan sebelumnya. Seperti “pemerkosaan”, “penganiayaan”, “menyiksa”.
Namun terhadap korban yang sudah mati, kata brutal ataupun kejam jarang digunakan. Malah kata “mutilasi” sering digunakan untuk menggambarkan pelaku memperlakukan mayat.
Diksi brutal sering digunakan dalam terminologi sosial. Terutama perusuhan seperti pembunuhan massal oleh pelajar sekolah terhadap murid yang sedang berada di sekolah.
Istilah ini kemudian menggambarkan sadisnya penembakkan yang terjadi.
Kata brutal bukan perlakuan terhadap korban. Tapi adalah jumlah korban yang ditembak dari Lapangan.
Dengan cara menggunakan diksi, sang penutur hendak menggambarkan keadaan “heroik” terhadap peristiwa di Partai politik.
Peristiwa Partai Demokrat belum bahkan sama sekali tidak ada tanda-tanda seperti “penyerbuan” kantor PDI tanggal 27 Juli 1996.
Cara-cara otoriter merebut kantor PDI yang dikuasai pendukung Megawati, pimpinan PDI yang sah kemudian diambil Alih rezim Soeharto.
Namun penyerbuan kantor PDI sama sekali tidak pernah disebutkan sebagai brutal. Peristiwa ini malah sering disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan dua puluh tujuh Juli). Memorial tanggal penyerbuan.
Atau ada juga yang menyebutkan Peristiwa Sabtu Kelabu. Merujuk hari penyerbuan pada hari sabtu.
Namun kedua peristiwa lebih sering digunakan sebagai kerusuhan. Bukan brutal.
Konflik internal, campur tangan pihak luar, kisruh di partai ataupuan dualisme adalah kelaziman di negara demokratis.
Selevel PDI yang kemudian kantornya diserbupun masih menggunakan istilah “Kerusuhan”, “kelabu”.
Namun peristiwa politik setelah PDI sama sekali tidak ada lagi penyerbuan dari rezim yang berkuasa.
Berbagai polemik yang menimpa Partai Golkar, PPP, PKB justru dapat diselesaikan.
Baik melalui mekanisme hukum (gugat menggugat) maupun islah.
Lalu mengapa istilah brutal untuk menggambarkan kondisi persoalan partai ?
Apakah demokrasi terancam dengan kisruh Partai Demokrat ?
Partai Golkar, PPP bahkan PKB selain tidak pernah menggunakan istilah “brutal”, juga tidak pernah bicara tentang “terancam demokrasi’.
Partai-partai kemudian mempunyai cara-cara untuk menyelesaikannya.
Bak seloko adat Jambi, “yang Gedang dikecikkan. Yang kecikkan dihilangkan”.
Bukan teriak-teriak “brutal” ataupun “demokrasi terancam”.
Mereka bisa melewati kisruh internal Partai dengan baik. Bahkan Tetap besar dan melewati berbagai Pemilu dengan raihan suara yang signifikan.