“Hok, Lu khan sudah masuk Islam. Apa artinya tulisan di keranda mayat”, tanya temannya. Seorang Tiongkok kepada Tan Hok Tiang.
“Jangan motong antrian orang gotong mayat. Ntar elu dibacok”, kata Tan Hok Liang. Wajahnya tenang. Seakan-akan tidak berdosa.
Kamipun tertawa mendengar cerita dari Tan Hok Liang.
Teringat prosesi membawa keranda mayat. Biasanya melewati jalan raya ke kuburan. Memang dikeranda mayat terdapat Lafal Arab.
Sambil tertawa akupun kemudian bertanya.
“Emangnya abang bisa baca tulisan arab tuh”, kataku penasaran.
“Elu juga nih cari gara-gara. Aku khan mualaf”, katanya sambil tertawa.
Lagi-lagi aku tertawa. Menahan geli.
Jawabannya bikin Aku kagum. Dia tetap merendahkan diri. Sama sekali tidak menunjukkan dia pemuka agama yang dihormati. Yang dikagumi berbagai kalangan.
Padahal aku tahu pasti. Ilmu agamanya sudah tuntas.
Dia tetap menampakkan “bukan siapa-siapa”. Kata-katanya menggunakan dan menempatkan sebagai “mualaf” sebagai pantulan rendah hati.
Dia dikenal luas bukan semata-mata kisah kontroversialnya. Namun karena hanya sedikit orang yang mau mendatangi LP-LP kemudian mengajak untuk berbuat Baik. Sekali lagi untuk berbuat baik.
Tidak terkesan “ceramahnya” kemudian mengajak surga.
Sehingga ajakan “berbuat baik” lebih tepat mewakili suara orang yang di LP.
Ya. Tan Hok Liang kemudian dikenal Anton Medan. Datang ke Jambi. Hendak mengurusi masalah keluarganya.
Waktu itu dia meminta namaku dari teman-teman di Bangka. Seorang teman kemudian memberikan namaku.
Sempat “grogi” juga ketemu dengan namanya. Mendengarkan nama “anton medan” dapat disejajarkan “Jonny Indo”.
Sebagai “napi”, kisah hidupnya ditakuti. Hampir setiap jenis kejahatan yang berat telah dilakoninya.
Entah kemudian “menebas pakai parang” kepada supir hingga Tewas yang tidak membayar “biaya calo”. Pekerjaan dilakoni ditengah himpitan ekonomi.
Belum lagi perampokan besar yang membuat namanya disegani dikalangan dunia hitam.
Selain itu dia juga dikenal bandar narkoba yang kemudian mengembangkan ke dunia Judi.
Lengkaplah sudah “karirnya” didunia hitam. Dari “pembunuh”, perampok, bandar narkoba dan bandar Judi.
Menilik namanya membuat siapapun harus berfikir ulang hendak ketemu.
Agak kagok juga Aku memanggil abang”. Panggilan yang diminta aku bersapa dengannya.
“Panggil aja abang”, katanya ramah. Wajahnya bersih. Tidak terkesan sama sekali dia adalah “orang ditakuti”.
Cerita sebentar mengenai masalah keluarganya, kelakarpun tidak henti-hentinya. Kami tertawa lepas di coffeeshop Hotel Novotel.
Hotel Novotel kemudian berganti menjadi Hotel Novita. Kemudian terbakar tahun 2018.
Sudah lama memang. Seingatku mungkin 7-8 tahun yang lalu.
Mendapatkan kabar kemudian abang anton meninggal kemudian mengingatk kisah lucunya.
Dengan dialek yang “tidak berdosa” menceritakan kisah keranda membuat aku tersenyum.
Bukankah kisah hebat orang besar adalah ketika dia meninggal dunia, kita kemudian mengenang ceritanya (memorial collective).
Selamat jalan, bang. Semoga namamu tetap terpatri dengan kisah-kisah lucumu.