Yang kami hormati, Bapak Anang Hermansyah… Ibu Asanti, Ibu Krisdayanti
Perkenankanlah saya, Aryo yang diminta oleh Muhammad Attamimi (Halilintar) untuk menjadi jurubicara dan mewakili keluarga besar adik saya tercinta.
Demikianlah prosesi lamaran Keluarga Besar Atta Halilintar (Halilintar) kepada Keluarga besar Aurel Anang Hermansyah.
Demikian rangkaian kata-kata pembukaan acara lamaran Halilintar dan Aurel yang disiarkan langsung televisi nasional.
Halilintar dikenal publik sebagai youtuber. Mempunyai pengikut (follower) mencapai 26 juta. Terbanyak di Asia Tenggara.
Kekayaannya mencapai Rp 23 milyar/bulan. Menempatkan youtuber terkaya peringkat 8 dunia.
Sementara di IG, Attahalilintar mencapai 17 juta. Masih jauh dibawah Via Vallen mencapai 25 juta. Apalagi Ayu Tingting mencapai 46 juta.
Atta Halilintar kemudian menginsipirasi anak-anak milenial. Mereka bermimpi menjadi youtuber dan kaya seperti Atta Halilintar.
Sehingga tidak salah kemudian apapun kegiatan yang dilakukan oleh Atta Halilintar dan kemudian diposting di youtuber menjadi tontontan. Dan prosesi lamaran adalah rangkaian dari cerita panjang dari Attta Halilintar dan Aurel didunia maya.
Secara sekilas, tidak ada yang aneh dari peristiwa lamaran yang kemudian disiarkan langsung oleh televisi. Selain berbagai pihak yang mengecam acara tersebut.
Sebagai bagian dari bisnis, prosesi lamaran adalah infotainment yang akan meningkatkan rating televisi.
Seperti juga tayangan sejenis seperti dilakukan oleh Raffi Ahmad dan Nagita. Bahkan hingga berseri.
Bahkan duniapun membuat bumi sempat “berhenti” ketika televisi secara serentak memutar prosesi perkawinan Pangeran Harry (Pangeran Inggeris) dengan Megan Markle (artis AS).
Jadi dari bagian bisnis infotainment, tidak perlu “diheboh-hebohkan” acara yang menghibur.
Anda cukup pindah channel televisi. Ke musik atau Olahraga.
Sedangkan saya malah pindah channel “national geographic”. Melihat kawanan Singa yang berbagi strategi memburu kerbau.
Namun ketika media televisi yang menyiarkannya kemudian menyebutkan “Bagian dari sebuah budaya yang ada di Indonesia’, seketika saya kemudian tersentak.
Apakah ada tradisi budaya yang diperlihatkan ?
Untuk melacak budaya apa yang diperlihatkan mari Kita telusuri satu persatu.
Membaca jejak Keluarga besarnya, maka Keluarga besar adalah perantauan dari Minangkabau. Sebuah kebudayaan adiluhung yang kaya akan Seloko, petatah-petitih, pantun dan berbagai ungkapan khas Melayu.
Minangkau mampu “menyisir’ hampir seluruh kehidupan di Sumatera. Jauh terus sampai ke Makassar, Ternate bahkan ke Papua.
Sehingga tidak salah kemudian Minangkabau adalah pusat dari berbagai kebudayaan Melayu di Indonesia.
Daerah Jambi yang kental budaya yang banyak terinspirasi dan dipengaruhi Minangkabau mempunyai rangkaian prosesi lamaran.
Dalam tradisi Melayu Jambi, prosesi “melamar” dikenal dengan istilah “tanda Jadi’. Tanda jadi adalah “pengikat” antara sang calon mempelai perempuan dengan seorang lelaki calon mempelai laki-laki.
Prosesi dimulai dengan “kedatangan” keluarga besar calon laki-laki kerumah calon mempelai perempuan. Diiringi keluarga besar baik didampingi “maman” (saudara laki-laki ayah atau saudara laki-laki perempuan), Ibu/nenek, saudara perempuan sang lelaki, bahkan saudara-saudara lelaki. Keluarga besar kemudian mempersiapkan acara ini secara khusus.
Keluarga besar lelaki sengaja mendatangi kerumah keluarga besar sang perempuan untuk “menanyakan” adanya “kemenakan dari datuk” yang sudah “berusik sirih bergurau pinang” dengan “anak kemenakan” dari keluarga lelaki.
Sebagai pengantar “tando Jadi”, maka rangkaian acara dipersiapkan dengan baik. Termasuk mempersiapkan “tokoh adat” pengantar dan sekaligus menjadi jurubicara dari keluarga lelaki.
Berbagai seloko kemudian disebutkan. Dimulai dari “yang gedang dak disebut gelar, yang kecik dak sebut namo”, kecik nan sakti, gedang nan betuah”, “rumah nan bepagar adat, nan laman bepagar undang dan bertepi baso”, “ico pakai”,
Hubungan istimewa antara kedua pasang ditandai dengan seloko “berusik sirih-bergurau pinang”. Hubungan yang kemudian dapat dilanjutkan untuk jenjang selanjutnya.
Proses mengantarkan “tando Jadi” cukup panjang. Dimulai dari kedatangan dari calon sang mempelai lelaki untuk menyampaikan maksud kedatangan.
Dilepaskan ayam seinduk, serai nan berumpun, bak kudo pelajang bukit, saya penyambung lidah daripadonyo
“Kami idak sesat, idak pula salah jalan, memang tujuan kami kerumah ikolah.
Kami membawa orang nan banyak, beserta arak dengan ber-iring”, cepat kaki-salah langkah, cepat lidah salah bekato, kami mohon dimaafkan.
Prosesi selanjutnya mengantarkan sirih. Sebagai pembuka cerito, maka dimulai dari Seloko “Gemerutuk main gendang. Kini seraso main orgen. Sirih kelukup, pinangnyo memang. Inilah sirih kami orang tanjung raden.
Itulah sekelumit prosesi lamaran yang dikenal “Tando jadi”. Dan di Minangkabau sendiri, prosesi ini bahkan lebih panjang daripada yang dilakukan di Jambi.
Bahkan “kekuatan” dari ninik mamak yang datang (pihak lelaki) akan “diuji” dengan kekuatan dari ninik Mamak yang tinggal (pihak perempuan). Biasa juga dikenal dengan “silat lidah”.
Salah saja ninik Mamak yang datang, bisa-bisa “pintu rumah” tidak dibuka. Dan terus berdiri ditengah laman (halaman).
Namun begitu kecewanya saya melihat rangkaian prosesi pernikahan.
Kata-kata sambutan yang sama sekali “kering” dan praktis tidak ada satupun kata-kata Melayu. Bahkan tidak ada sama sekali kebudayaan yang hendak ditampilkan. Menampakkan adiluhung kebudayaan Minangkabau.
Belum lagi berpidato sambil memegang teks. Prosesi yang paling ditabukan oleh “ninik Mamak” dari Keluarga laki-laki.
Alangkah eloknya acara “semegah” dan disaksikan oleh jutaan pasang mata Rakyat Indonesia benar-benar dipersiapkan dengan baik.
Dengan menghadirkan “ninik Mamak” yang kaya akan pengetahuan dan tatacara lamaran.
Padahal disetiap kota-kota, terdapat berbagai perkumpulan Minangkabau. Mereka menguasai tatacara lamaran lengkap dengan seloko, petatah-petitih, pantun yang menampakkan adiluhung Minangkabau. Dan media televisi dapat mempersiapkan dengan baik.
Sehingga pernyataan dari televisi yang menyiarkan acara dengan alasan “Bagian dari sebuah budaya yang ada di Indonesia” adalah akal-akalan untuk menepis tudingan berbagai pihak terhadap acara.
Dan kita melewatkan sebuah prosesi budaya yang akan dikenang oleh anak-anak milenial. Terutama penggemar Atta Halilintar.