Berbagai istilah sering menggambarkan perilaku tamu dalam kebiasaan dan etika.
Tamu adalah orang bisu. Yang datang kerumah orang lain namun tidak boleh berbicara keadaan rumah yang didatanginya kepada siapapun.
Dia tidak boleh cerita tentang sambalnya yang keasinan. Atau kopi yang kurang gula.
Atau tidak boleh bercerita kepada siapapun rumah tamu yang berantakkan. Lantai yang belum diubin.
Apapun yang dilihat, didengarkan dari isi rumah tamu, tidak seorangpun diluar yang tahu. Biarlah tamu yang datang kemudian melihatnya. Namun bibirnya menjadi kelu. Dan terkatup rapat.
Menempatkan dan bersikap sebagai orang bisu sebagai tamu setelah tuan rumah menempatkan tamu sebagai Raja.
Sebagai Raja, kedatangan tamu adalah kehormatan. Sehingga mempersiapkan dengan baik.
Termasuk suguhan terbaik. Entah makanan yang dihidangkan. Ramuan dan bumbu yang terbaik. Bahkan apabila diharuskan menyediakan makanan yang terbaik. Entah dengan “memotong ayam”.
Istilah “memotong ayam” adalah istilah penghormatan terhadap tamu yang datang. Sekaligus tanda sukacita kedatangan tamu.
Lalu mengapa ada tokoh nasional, bergelar titel dihormati, dikenal sebagai guru besar lalu kemudian habis bertamu kemudian malah mengeluarkan uneg-unegnya.
Menumpahkan issu yang tidak jelas juntrungan. Bahkan cenderung menuduh tuan rumah. Memaki “kopi yang dingin”. Atau “Sambal keasinan”.
Padahal tuan rumah Sudah menyambutnya. Dengan tangan lebar terbuka. Senyum terpampang jelas. Dimuat berbagai media massa.
Menyaksikan kelakuan tamu yang datang kemudian memaki-maki meyakini saya.
“Ada yang salah” dari sang tamu.
Namun kemudian bukan ditanggapi dengan bijak. Justru media massa menyambutnya sebagai pahlawan. Dipuja-puja disana-sini.
Diundang menjadi pembicara. Menjadi narasumber.
Lalu ?
Apakah tamu yang salah. Atau memang ada yang salah didalam diri kita ?