24 Mei 2021

opini musri nauli : Kata



Tidak dapat dipungkiri, manusia mengungkapkan ekspresinya melalui kata. Sebuah kebudayaan setelah sebelumnya masih menggunakan isyarat. 


Menurut berbagai Ahli, ketika ekspresi Diungkapkan dengan kata-kata maka tidak dapat dihindarkan, ketika kata dihasilkan, diucapkan ataupu kemudian diungkapkan dipengaruhi latar belakang sosial, cara pandang hingga simbol-simbol yang digunakan. 

Kata-kata yang kemudian sering disimbolkan maka sering disebutkan sebagai makna. Makna dari simbol. Sehingga untuk menangkap pesan dari kata selain diperlukan berbagai alat bantu seperti ilmu  sejarah, ilmu antropologi, ilmu sosial juga harus dipahami dalam konteks simbol. 


Sehingga ketika pengungkapan melalui kata tidak boleh diterjemahkan “apa adanya (letterlijk). 


Untuk memahami simbol dari pengungkapan kata yang tidak dibantu dengan ala bantu lainnya menyebabkan makna kata kemudian “kering”, “salah tangkap”, “salah Tafsir” bahkan cenderung menyebabkan “kesesatan”. 


Namun akhir-akhir ini, makna kata yang sering ditangkap ““apa adanya (letterlijk)” adalah kesalahan “ajar” dari paradigma yang diajarkan di sekolah-sekolah umum. Bukankah kita mengenal “ilmu” yang berangkat dari “empiris-rasional”. 


Menempatkan “empiris-rasional” kemudian menghasilkan “materiil”. Sehingga ilmu hanya mengakui “empiris-rasional” sebagai ilmu (rasional). 


Ilmu yang berangkat dari “rasio” lebih menitikberatkan kepada akal. Sebuah ciptaan dari Sang pencipta untuk memahami alam Semesta. 


Namun ketika “akal” ditempatkan semata-mata “satu-satunya” memahami alam Semesta, disinilah titik berangkat yang kemudian “meminggirkan” manusia. 


Sehingga diluar dari daya tangkap akal maka tidak dapat disebutkan sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga materi diluar akal justru ditempatkan sebagai “tidak masuk akal”. 


Bahkan berbagai “akal” yang tidak mampu menguraikan tentang Islam kemudian ditempatkan sebagai “mististime Islam. 


Yang lebih mengerikan adalah dikalangan Islam kecendrungan untuk memahami gejala-gejala alam justru tidak menggunakan ala bantu lain. Bukankah kita pernah mendengarkan bagaimana ajaran tentang tarekat, Sufi, Tasawuf justru tidak mendapatkan tempat sebagaimana mestinya. 


Padahal akal cuma “alat bantu”. Selain akal, Tuhan justru menciptakan intuisi, nurani, Intelektual dan naluri. Belum lagi adanya “campur tangan” tuhan didalam memberikan pengetahuan. 


Entah itu Wahyu (yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul), karomah (keramat yang diberikan kepada manusia pilihan) ataupun ilham (wangsit).


Bukankah ketika Issac Newton menemukan hukum gravitasi Bumi justru atau ketika adanya pohol apel yang jatuh dari pohon. 


Atau Archimedes yang menemukan hukum “gaya achimedes” ketika hendak berendam di bak air, kemudian air tumpah. Kemudian berlari keluar dari bak air yang kemudian meneriakkan “Aurek. aureka”. 


Ketika Issac Newton atau Achimedes kemudian menemukan pengetahuan, maka sering disebutkan sebagai “ilham”, “wangsit”. Walaupun sebenarnya “itulah karomah” dalam konteks yang berbeda. 


Mengapa “manusia pilihan” bisa mendapatkan “karomah”, ilham”, “wangsit” maupun ilmu pengetahuan yang langsung dari Tuhan ? 


Selain memang Tuhan memilih manusia untuk menerima pengetahuannya, manusia yang mau menerima ilmu pengetahuan tidak semata-mata menggunakan akal. Tapi juga intelegensia, nurani dan naluri. 


Tidak semata-mata hanya menggunakan akal. 


Nah. Apabila kita mau menengok warisan budaya luhur bangsa Indonesia, justru manusia Indonesia tidak semata-mata hanya menggunakan akal. Tapi lebih jauh lagi. Menggunakan intelegensia, nurani dan naluri. 


Setiap artefak, candi, manaqib bukan sekedar hanya benda (materiil). Tapi ada simbol-simbol dibaliknya. 


Berbagai tempat pemujaan (baik berupa candi, artefak, arca) lebih kaya cara pandang tentang alam (kosmopolitan). Baik cara pemilihan tempat, arah sudut, letak bahkan berbagai simbol-simbol dibaliknya. 


Begitu juga ketika masyarakat Melayu Jambi kemudian berikrar dengan menggunakan kata-kata yang melambangkan simbol justru akan kaya akan intelegensia, naluri dan nurani. 


Bukan sekedar “akal” semata. 


Sudah saatnya, pengetahuan yang hanya mengandalkan “akal” harus ditinggalkan. Akal yang hanya menghasilkan “Benda”, cara pandang, logika” harus diikuti dengan naluri, nurani dan intelegensia. 


Sehingga setiap kata yang disampaikan oleh masyarakat akan kaya makna. Penuh dengan simbo-simbol yang dapat memberikan pelajaran kepada kita. 


Baca : Kata dan Makna