Beberapa waktu yang lalu, media online “www.detik.com" mengabarkan tentang Rahasia Candi Borobudur yang baru terungkap di zaman Modern.
Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah merupakan mahakarya arsitektur Indonesia. Candi Borobudur ternyata menyimpan rahasia. “Matematika tingkat tinggi”, kata detik.com.
Memimjam Erick Weiner didalam bukunya “Geography of Genius” yang memuat kisah perjalanan ke berbagai tempat, mampu menerangkan tempat-tempat yang didatangi ternyata dihasilkan kebudayaan tinggi. Kebudayaan tinggi yang dihasilkan oleh kejeniusan orang yang tinggal didalamnya.
Sehingga Candi Borobudur sebagai mahakarya arsitektur Indonesia kemudian ditempatkan sebagai “matematika tingkat tinggi”.
Lalu bagaimana “rahasia” yang tersembunyi di Pembangunan Candi Borobudur yang dibangun abad XIV baru terungkap beberapa tahun terakhir.
Apakah ilmu modern belum mampu menjangkau sehingga baru terungkap 7 abad kemudian ?
Apakah ketika baru terungkap disebabkan materi “etnomatetika” baru diketahui ?
Tidak !!!
Tidak dapat dipungkiri, ketika dunia modern Menempatkan “empiris-rasional” kemudian menghasilkan “materiil”. Sehingga ilmu hanya mengakui “empiris-rasional” sebagai ilmu (rasional).
Ilmu yang berangkat dari “rasio” lebih menitikberatkan kepada akal. Sebuah ciptaan dari Sang pencipta untuk memahami alam Semesta.
Namun ketika “akal” ditempatkan semata-mata “satu-satunya” memahami alam Semesta, disinilah titik berangkat yang kemudian “meminggirkan” manusia.
Sehingga diluar dari daya tangkap akal maka tidak dapat disebutkan sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga materi diluar akal justru ditempatkan sebagai “tidak masuk akal”.
Padahal akal cuma “alat bantu”. Selain akal, Tuhan justru menciptakan intuisi, nurani, Intelektual dan naluri. Belum lagi adanya “campur tangan” tuhan didalam memberikan pengetahuan.
Entah itu Wahyu (yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul), karomah (keramat yang diberikan kepada manusia pilihan) ataupun ilham (wangsit).
Bukankah ketika Issac Newton menemukan hukum gravitasi Bumi justru atau ketika adanya pohol apel yang jatuh dari pohon.
Atau Archimedes yang menemukan hukum “gaya achimedes” ketika hendak berendam di bak air, kemudian air tumpah. Kemudian berlari keluar dari bak air yang kemudian meneriakkan “Aurek. aureka”.
Ketika Issac Newton atau Achimedes kemudian menemukan pengetahuan, maka sering disebutkan sebagai “ilham”, “wangsit”. Walaupun sebenarnya “itulah karomah” dalam konteks yang berbeda.
Mengapa “manusia pilihan” bisa mendapatkan “karomah”, ilham”, “wangsit” maupun ilmu pengetahuan yang langsung dari Tuhan ?
Selain memang Tuhan memilih manusia untuk menerima pengetahuannya, manusia yang mau menerima ilmu pengetahuan tidak semata-mata menggunakan akal. Tapi juga intelegensia, nurani dan naluri.
Tidak semata-mata hanya menggunakan akal.
Nah. Apabila kita mau menengok warisan budaya luhur bangsa Indonesia, justru manusia Indonesia tidak semata-mata hanya menggunakan akal. Tapi lebih jauh lagi. Menggunakan intelegensia, nurani dan naluri.
Setiap artefak, candi, manaqib bukan sekedar hanya benda (materiil). Tapi ada simbol-simbol dibaliknya.
Berbagai tempat pemujaan (baik berupa candi, artefak, arca) lebih kaya cara pandang tentang alam (kosmopolitan). Baik cara pemilihan tempat, arah sudut, letak bahkan berbagai simbol-simbol dibaliknya.
Dengan memahami Candi Borobudur selain menggunakan “akal”, juga belajar Simbol, makna tersirat, cara pandang (Kosmopolitan). Termasuk menggunakan intuisi, intelegensia, nurani dan nalurai.
Sehingga Penelitian 2008 hingga 2011 kemudian dapat membaca kerumitan didalam melihat Candi Borobudur.
Menurut detik.com Jumlah stupa Borobudur memakai rumus 2:3:4. Tinggi dan diameter stupa memakai rumus 1,7:1,8:1,9. Sedangkan kaki candi, badan candi dan kepala/puncak candi memakai rasio 4:6:9.
9 Sebagai angka penting dalam spiritualisme Buddha diaplikasikan dalam pola arca dan anak tangga. Misalnya, total ada 504 arca dimana 5+0+4=9. Lalu total anak tangga ada 360 dimana 3+6+0=9.
Konsep matematika terakhir adalah teselasi atau penyusunan berlapis oleh suatu bentuk poligon. Setiap stupa Candi Borobudur disusun dari 36 kubus berukuran 15x15 cm. Total luas permukaan kubus adalah 36 x (15x15) = 8.100 cm2 yang jika semua angkanya dijumlahkan 8+1+0+0=9.
Ilmuwan pun yakin Candi Borobudur adalah produk etnomatematika. Angka-angka yang muncul dalam ajaran dan filosofi Buddha hadir dalam elemen-elemen bangunan Candi Borobudur mengikuti pola geometri frakta.
Tidak salah kemudian manusia modern justru belajar dari warisan adiluhung leluhur moyang Indonesia.
Meminggirkan intuisi, nurani, Intelektual dan naluri dan mengabaikan makna dan simbol dari “Benda” yang dilihat justru akan “menjauhkan” manusia didalam melihat alam.
Dan ciptaan yang Diberikan Tuhan kepada manusia justru hanya menempatkan manusia sebagai “makhluk semata”. Bukan manusia yang mempunyai makhluk yang Mulia.