Akhir-akhir ini tema tentang autentik atau identik memantik wacana publik. Sebuah tema yang menarik ditelusuri didalam ranah hukum pidana.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata autentik diartikan dapat dipercaya - asli- tulen atau sah. Sedangkan kata Identik dapat diartikan sama benar, tidak berbeda sedikitpun atau sama dan sebangun. Dengan demikian maka secara prinsip kata autentik Sangat berbeda dengan identik.
Didalam melihat pembuktian hukum pidana disandingkan dengan dokumen maka dokumen dapat dikategorikan sebagai dokumen yang autentik apabila dokumen dapat dipercaya, asli dan dapat dikategorikan sebagai dokumen yang sah. Sedangkan Dokumen dikategorikan sebagai identik maka disandingkan dengan dokumen yang lain. Atau dengan kata lain dokumen memerlukan dokumen pembanding.
Dihubungkan dengan hukum pidana maka dokumen yang dapat dikategorikan sebagai dokumen autentik apabila dokumen yang dipercayai adalah asli dan sah. Tentu saja dapat menggunakan instansi resmi yang mengeluarkan dokumennya. Mekanisme ini dapat dikategorikan sebagai kebenaran formal. Kebenaran dokumen yang cukup dengan pendekatan formal sebenarnya.
Lalu bagaimana pembuktiannya. Didalam hukum adminstrasi negara yang kemudian dapat dilihat didalam hukum administrasi tata usaha Negara bukan semata-mata memeriksa terhadap dokumen yang sah (pejabat yang mengeluarkan keputusan). Tapi juga dilihat kewenangan, asas-asas, waktu keputusan bahkan dampaknya terhadap masyarakat. Sehingga pemeriksaan menjadi ketat.
Sedangkan didalam hukum pidana yang bertujuan untuk mencari kebenaran yang memang kebenaran yang sebenar-benarnya maka tidak terjebak dengan urusan administrasi (kebenaran formal). Termasuk instansi yang mengeluarkannya.
Namun memerlukan ketelitian didalam isi dokumen. Seperti penggunaan kata dalam kurun tertentu, istilah yang digunakan, penggunaan kalimat maupun redaksi didalam dokumen.
Sebagai contoh penggunaan kata “beranak”. Istilah yang kurang lazim digunakan pada waktu sekarang. Padahal sebelum waktu 1940-an kata beranak memang lazim digunakan. Seperti Aminah beranak tiga orang.
Secara sekilas kata-kata ini kurang elok digunakan. Kata “beranak” sekarang lebih sering digunakan “mempunyai anak”. Sebuah peghalusan (eufemisme) dari kata “beranak” menjadi “mempunyai anak.
Sehingga ketika adanya dokumen yang terbit sebelum tahun 1940-an yang adanya kata “mempunyai Anak” maka dipastikan dokumen tersebut tidak menggambarkan keadaan sebenarnya. Dan dapat dikategorikan sebagai dokumen tidak autentik.
Atau penggunaan kata “djogja” yang kemudian menjadi Jogya menurut Ejaan yang kemudian telah berubah. Sehingga didalam dokumen yang kemudian dianggap sah apabila memuat kata-kata tersebut maka dipastikan dokumen itu tidak sah.
Atau juga dapat ditelusuri apakah Kepala Desa (ketika didalam dokumen disebutkan) memang menjadi kepala Desa ketika dokumen itu ditandatangani.
Begitu ketatnya pembuktian hukum pidana tidak semata-mata dapat dilihat dari alat bukti sebagaimana diatur didalam KUHAP seperti keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan tersangka namun juga mampu menjawab dari keraguan publik.
Ketika peristiwa Bom Bali I (Dua ledakan di Paddy’s Pub dan Sari Club di Kota dan Konsulat Jenderal Amerika, 12 Oktober 2002) yang menewaskan 200 orang, Bali, Indonesia bahkan dunia kemudian menjadi geger.
Pengeboman Bali tidak hanya merupakan aksi terorisme terbesar dalam sejarah Indonesia, tetapi juga salah satu serangan terbesar terhadap tujuan wisata di kawasan Asia Tenggara. Dan kemujdian dapat dikategorikan sebagai Transnational Organized Crime.
Dengan daya ledak dan akibatnya maka konsentrasi pengungkapannya menjadi serius. Polri sebagai institusi penting kemudian menelusuri lebih serius.
Didalam pengungkapan awal dipastikan hanya kalangan tertentu yang menguasai kemampuan dengan daya ledak. Bahan yang digunakan C4 yang tidak diproduksi di Indonesia membuktikan juga kemampuan para pelaku untuk menyediakannya.
Namun didalam hitungan hari mulai ditangkap Amrozi bin H Nurhasyim 5 November 2002, Imam Samudra (26 November 2002), Mukhlas (3 Desember 2003) dan Ali Imron (3 Januari 2003). Kesemuanya veteran Afganistan. Apresiasi kemudian disampaikan kepada Mabes Polri. Hanya hitungan hari.
Namun melihat penampilan fisik termasuk pendidikan yang mereka tempuh, ketidakyakinan kemampuan para pelaku menjadi tema yang menghebohkan di Indonesia. Bahkan tuduhan “labelisasi anti Islam” kemudian menjadikan issu ini kemudian menenggelamkan kemampuan Polri pengungkapan kasusnya.
Polri sebagai institusi yang mampu membongkar kemudian tidak hanya bersandarkan keterangan saksi, pengungkapan barang bukti, kemampuan mumpuni intelijen didalam pengungkapan kasus ini. Namun juga mempersiapkan satu acara penting. Simulasi dari para pelaku untuk menceritakan detail peristiwa itu terjadi. Termasuk juga menggelarkan barang bukti.
Dengan enteng para pelaku memperagakan bagaimana mempersiapkan, rinci bahkan mampu menceritakan kekuatan dari setiap bom yang dihasilkan. Lengkap dengan penghitungan.
Simulasi ini selain mampu membuktikan kemampuan veteran Afganistan yang mumpuni juga mampu menangkal tuduhkan ketidakmampuan dari veteran Afganistan. Publik kemudian terpuaskan dahaga terhadap kemampuan dari veteran Afganistan.
Lalu bagaimana pengungkapan dokumen apakah autentik atau identik.
Dengan kemampuan Polri pengungkapan kasus Bom Bali 1, maka ketika diperlihatkan apakah dokumen itu autentik atau identik maka tidak semata-mata dibuktikan keterangan saksi atau penggunaan Laboratorium Forensik. Apalagi cuma menggunakan pembanding (yang kemudian menjadi identik) dengan dokumen sejenisnya. Dengan kata lain cuma narasi tanpa memperagakan sekaligus memperlihatkan barang bukti.
Tapi juga menelusuri apakah dokumen yang dikeluarkan sesuai dengan konteks waktunya, analisis digital forensik, kemampuan multimedia, teknologi yang digunakan hingga kemampuan untuk menjawab dari keraguan publik.
Pengungkapan begitu penting sehingga dahaga publik menjadi terjawab. Sehingga tidak terjebak dengan pengungkapan kasus dari pendekatan alat bukti sebagaimana diatur didalam KUHAP.
Pengungkapan Kasus juga begitu selain menjawab dahaga publik juga dapat dipertanggungjawabkan menurut science. Sehingga memberikan pelajaran ditengah masyarakat.
Apabila itu tidak dilakukan selain kasus menjadi misteri, trust ketika pengungkapan Bom Bali 1 justru tidak didapatkan. Kasus menjadi misteri. Bahkan semakin meminggirkan nalar publik.
Ditengah harapan publik, trust diperlukan. Agar setiap upaya pengungkapan dari Kepolisian mendapatkan apresiasi ditengah masyarakat.
Advokat. Tinggal di Jambi