Akhir-akhir ini jagat politik begitu heboh. Adanya isu “dokumen bermasalah” memang menyita energi. Terlepas dari berbagai lembaga yang telah mengeluarkan ijazah (dokumen) menyatakan resmi, namun jagat politik belum juga usai. Bahkan semakin memanjang. Dan terus menyita energi.
Terlepas apakah tuduhan itu benar atau tidak atau adanya lembaga resmi yang menyatakan itu resmi, berbagai pernyataan justru jauh dari konsep ilmu hukum. Dan membahas tentang tuduhan harus dilihat dari ranah hukum.
Pertama. Penggunaan asas Actori In Cumbit Probatio. Asas ini sering disampaikan yang berangkat dari asas pembuktian hukum acara perdata. Pada prinsipnya asas ini mengatur siapa yang menggugat dialah yang membuktikan.
Yang dilupakan, dugaan dokumen bermasalah masuk ke ranah hukum pidana. Sehingga asas ini kurang tepat digunakan. Sehingga terkesan penggunaan asas untuk menangkis dari para pihak yang ingin mempersoalkan justru malah menyesatkan.
Padahal di ranah hukum pidana terutama di pembuktian dikenal Negatif Wettelijke Bewijstheorie. Secara umum kemudian terjemahkan pembuktian menurut undang-undang yang berlaku dan keyakinan hakim untuk memutuskannya.
Nah. Didalam praktek hukum pidana, ketika seseorang telah menuduh seseorang melakukan tindak pidana maka yang bersangkutan kemudian membuktikannya. Aparat penegak hukum kemudian menyandingkan dengan alat bukti sebagaimana diatur didalam KUHAP.
Sehingga ketika adanya “tuduhan dokumen bermasalah, justru tertuduh membuktikan sebaliknya. Apakah benar tuduhan tersebut atau tidak. Tentu saja dengan menghadirkan bukti. Misalnya dokumen hukum kemudian terbukti asli.
Kedua. Lembaga yang yang mengeluarkan dokumen maka lembaga yang kemudian menyatakan resmi.
Lagi-lagi ini cara sesat untuk menutup pembahasan. Walaupun lembaga yang telah mengeluarkan dokumen hukum menyatakan resmi bukan berarti pembahasannya menjadi selesai.
Didalam praktek hukum baik di PTUN maupun di Pengadilan Negeri (Pengadilan umum), bukanlah lazim sertifikat Hak Milik ataupun sertifikat Hak Guna usaha (HGU) yang nyata-nyata resmi dikeluarkan oleh lembaga berwenang namun tetap dijadikan obyek gugatan. Termasuk juga pengadilan dapat menyatakan harus dicabut (walaupun lembaga tetap menyatakan resmi).
Dan cara pandang itu sekali lagi menyesatkan.
Ketiga. Ketika lembaga yang mengeluarkan dokumen menyatakan resmi termasuk menghadirkan saksi-saksi maka persoalan menjadi selesai.
Justru disinilah masalahnya. Sebagaimana diketahui pada prinsipnya kebenaran hukum pidana adalah kebenaran yang sebenar-benarnya. Idiom yang diajarkan pada semester awal mahasiswa Fakultas hukum.
Terlepas dari lembaga yang mengeluarkan dokumen termasuk menghadirkan para saksi justru menjadi tidak equal.
Para penuduh yang menjelaskan berbagai “kejanggalan” justru ditangkis dengan pendekatan berbagai disiplin ilmu. Misalnya melacak dokumen itu dari pendekatan digital forensik, penggunaan kertas, tinta, teknologi yang digunakan hingga arsip-arsip yang menunjukkan kewajaran dari proses lahirnya dokumen. Justru ilmu hukum mampu menjawab apakah dugaan itu benar atau tidak. Bukan semata-mata menghadirkan lembaga yang mengeluarkan dokumen hingga mendatangkan saksi-saksi.
Sekali lagi hukum pidana adalah mencari kebenaran. Kebenaran yang sebenar-benarnya. Bukan semata-mata kebenaran formil.
Keempat. Sang pengguna dokumen telah melewati proses yang panjang. Dari pemilihan tingkat kota, provinsi hingga menjadi orang penting.
Lagi-lagi cara pandang ini menyesatkan. Berbagai proses yang dilalui tidak dapat dijadikan bahan untuk menangkis adanya dugaan dokumen bermasalah.
Berbagai sidang di MK justru berhasil menemukan kandidat yang ternyata bermasalah dokumennya. Seperti Calon Bupati Pesawaran maupun Walikota Palopo. Tidak tanggung-tanggung. Keduanya kemudian “dikeluarkan” dari calon kandidat.
Melihat persidangan ternyata cukup sederhana dan detail. Dengan melihat berbagai proses (nilai semester) hakim MK justru berhasil membongkar. Tidak semata-mata dari pendekatan formal. Justru hingga detail ke materi-materi pengelabuan.
Selain itu bukankah sudah pernah diketahui mantan Bupati Sragen yang kemudian terbukti penggunaan ijazah palsu. Padahal yang bersangkutan justru hendak pencalonan periode keduanya. Dengan demikian proses sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar sah atau tidaknya dokumennya.
Namun terlepas apakah dokumen bermasalah atau tidak justru pengungkapan peristiwa sebenarnya harus dibongkar.
Cara-cara drama seperti keterangan saksi teman kuliah, mendatangi dosen ataupun pernyataan resmi dari lembaganya sama sekali tidak menjawab pertanyaan publik.
Apa yang sebenarnya terjadi dibalik lahirnya dokumen yang kemudian dianggap bermasalah ?
Advokat. Tinggal di Jambi