15 Maret 2007

opini musri nauli : Makna Keadilan ditinjau dari sudut pandang Keadilan dan Aliran Positivisme


Persidangan Raju Makna Keadilan ditinjau dari sudut pandang Keadilan dan Aliran Positivisme 

 Akhir-akhir ini, media massa secara gencar menyoroti sidang terhadap Muhammad Azwar alias Raju di Pengadilan Negeri Stabat, Langkat. 

Sorotan ini menjadi kontroversial saat Pengadilan Negeri Stabat, Langkat dituduh oleh sebagian kalangan tidak memproses Raju sebagaimana mestinya sesuai dengan UU. 

Sementara itu sebagian kalangan lain menyatakan bahwa Hakim tidak boleh menghentikan perkara tanpa alasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Dari dua ranah ini sebenarnya apabila kita tarik, maka ada pelajaran penting yang dapat kita tangkap. 

 Kalangan yang meminta agar proses hukum dihentikan dengan dalil bahwa terhadap Raju tidak dapat diproses secara hukum berdasarkan peradilan karena selain usia Raju masih dibawah 8 tahun, hukum ternyata tidak berfungsi menciptakan effek jera dan cenderung hukum dijadikan alat untuk membalas dendam. 

Selain itu juga aturan hukum formal akan mengganggu masa anak-anak dan menciptakan trauma yang berkepanjangan terhadap masa depan anak sehingga hukum tidak akan berfungsi menciptakan keadilan. 


 Namun disisi lain, sebagian kalangan menghendaki, bahwa terhadap proses peradilan terhadap Raju tidak boleh dihentikan dengan alasan apapun selain daripada diatur didalam Hukum. Apalagi dihentikan akibat “intervensi politik” (tanda kutip dari penulis). 

 Dari dua ranah tersebut, penulis secara arif mengajak semua pihak untuk memahami berdasarkan hukum tanpa adanya motivasi diluar ketentuan tersebut. 

 Apabila kita melihat pemikiran kalangan yang menghentikan proses persidangan terhadap Raju, maka penulis termasuk kalangan setuju terlepas dari usia Raju telah 8 tahun atau kurang. 

Dari konteks ini, penulis berpendapat, bahwa proses persidangan terhadap Raju tidak memenuhi prinsip dari hukum pidana tersebut. Prinsip dari hukum pidana yaitu menciptakan rasa adil ditengah masyarakat, proses ini juga menimbulkan effek jera kepada pelaku dan masyarakat umum terhadap perbuatan yang dilarang tersebut. 

Namun berpijak kepada kasus Raju, dua fundamental ini tidak terpenuhi. Selain menimbulkan kontroversial ditengah masyarakat, Raju sebagai terdakwa dalam perkara ini tentunya merasakan ketidakadilan. Raju justru tidak mengalami masa-masa indah dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Raju mengalami “dunia” yang aneh dan cenderung asing dengan berbagai lapisan diluar usianya. Raju “dipaksa” menjadi dewasa dan mandiri untuk bertahan hidup. 

Seluruh perasaan ingin dibelai dan butuh perhatian kasih sayang dari orang yang menyayangi tidak diterimanya lagi. Raju memang nakal dengan teman sebayanya. 

Namun kenakalan tersebut “masih wajar” dan manusiawi pada usianya yang cenderung masih menunjukkan “identitas-nya”. 

Sehingga tidak pantas, akibat kenakalannya, justru Raju mengalami “hukuman” yang melebihi kesalahannya. 

Raju tidak pantas mengalami proses dan hukuman sosial melebih kesalahannya dan tentu saja disinilah rasa “ketidakadilan” yang dirasakan oleh Raju dan menggelitik penulis juga termasuk barisan yang menyatakan ketidakadilan terhadap proses terhadap Raju. 

Selain itu juga bahwa peristiwa terhadap Raju tentunya tidak menimbulkan effek jera kepada masyarakat umum. 

Peristiwa ini tentunya tidak berdampak kepada anak-anak seusia Raju untuk tidak nakal dimana pada seusia Raju masih dalam proses bimbingan orang tua. Anak-anak seusianya tentunya tidak membaca koran dan mengetahui proses persidangan terhadap Raju. 

Sehingga dua fundamental dari hukum pidana tidak tercapai dengan diterapkan proses persidangan terhadap Raju. 

 Namun menghendaki proses persidangan terhadap Raju “dihentikan” menurut penulis tidak tepat. 

Selain wacana penghentikan proses persidangan terhadap Raju semakin menambah semrawutnya Hukum di Indonesia, cara-cara ini selain tidak mendidik dan memberikan pendidikan hukum yang baik kepada masyarakat, juga mempengaruhi proses hukum di intervensi politik. 

Cara-cara ini tidak elegan dan tentu saja mengulangi cara-cara di zaman rezim Soeharto dimana proses persidangan dipengaruhi diluar normatif hukum termasuk cara-cara politik yang justru membuat hukum tidak independent. 

 Sebagaimana kita ketahui, hakim menjatuhkan putusan berpatokan kepada alat bukti sebagaimana diatur didalam pasal 184 KUHAP. 

Suatu perbuatan tindak pidana yang harus dilakukan kepada para pelaku harus juga memperhatikan teori pertanggungjawaban pidana seperti teorkenbaarheid, criminal responbility, criminal liability yaitu teori untuk menentukan apakah seorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Artinya perbuatan pidana tersebut dilakukan bersifat melawan hukum. 

Menurut Pompe hubungan petindak dengna tindakannya ditinjaui dari sudut kehendak (de will), kesalahan petindak adalah merupakan bagian dari kehendak tersebut. Maka asas yang timbul adalah tiada pidana tanpa kesalahan. 

Nyatalah bahwa jika seseorang melakukan tindakan yang tidak bersifat melawan hukum tersebut dihapuskan oleh suatu keadaan tertentu berdasarkan undang-undang maka terhadap petindak itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana terhadapnya. 

 Dalam berbagai wacana diskusi, penulis termasuk barisan yang konsisten menyatakan bahwa hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme dimana ajaran in merupakan ajaran umum dalam hukum Indonesia. 

Ajaran ini merupakan terjemahan langsung dari pengembangan ajaran legalisme. Ajaran legalisme menyatakan bahwa yang dinamakan hukum adalah Undang-undang. Sedangkan ajaran positivisme merupakan ajaran yang menyatakan bahwa selain UU juga adanya yurisprudensi. 

Dari titik masuk ini, maka hakim di Indonesia harus berpandangan positivisme. Dalam berbagai literatur yang menjadi sorotan penulis, bahwa sebagaimana diatur didalam Putusan Mahkamah Agung No. 178 K/Kr/1959 tanggal 8 Desember 1959 yang menyatakan hakim bertugas semata-mata untuk melakukan undang-undang yang berlaku dan tidak dapat menguji nilai atau keadilan suatu peraturan perundang-undangan atau pernyataan bahwa karena unsur-unsur tindak pidana yang dinyatakan dalam surat dakwaan tidak terbukti, terdakwa harus dibebaskan dari segala tuduhan menurut penulis melambangkan alam berfikir hakim didalam memutuskan perkara. 

Dari ranah ini, Berdasarkan teori pertanggungjawaban inilah, penulis menyatakan bahwa suatu perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa tidak terpenuhi dan terdakwa tidak dapat diminta pertanggungjawaban sebagaimana diatur didalam pasal 5 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Pasal 5 “(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya. 

 Bahwa mendasarkan kepada pemikiran yang telah disampaikan oleh Bagir Manan, bahwa yang paling penting didalam melakukan putusan terhadap suatu perkara haruslah memperhatikan kepentingan publik (public interest), kepentingan sosial (social interest) dan para pihak yang berperkara (privat interest) yang dalam hal ini adalah terdakwa Raju. A

pabila tidak dimungkinkan adanya keseimbangan dari kepentingan tersebut, maka haruslah diutamakan kepada public interest yang mendasarkan kepada kepastian hukum. 

 Apabila kita membedah persidangan terhadap Raju, maka terhadap Raju tidak ditemukan dasar untuk dihentikan pemeriksaan persidangan sebagaimana diatur didalam KUHAP. 

KUHAP hanya membuka ruang diskusi untuk menghentikan pemeriksaan persidangan dengan alasan bahwa terdakwa sakit sebagaimana persidangan terhadap Soeharto dan terdakwa meninggal dunia sebagaimana diatur didalam pasal 77 KUHP. 

Selain daripada dua ketentuan tersbut, maka terdakwa haruslah tetap diperiksa dan tidak dapat dihentikan pemeriksaan terhadapnya. 

Sedangkan apabila melihat daripada alasan pembenar maupun pemaaf perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dari pasal 44 sampai dengan pasal 51 ayat (2) dapat dilakukan dalam pemeriksaan namun, pasal ini juga tidak mengatur untuk dihentikan pemeriksaan. 

 Sedangkan dari UU No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak tidak juga ditemukan dasar untuk menghentikan pemeriksaan terhadap proses persidangan. 

 Secara yuridis-formil, hakim harus memeriksa dan mengadili perkara ini dan tentu saja tidak dihentikan karena tidak ditemukan alasan pembenar maupun pemaaf sebagaimana diatur didalam KUHP. Pemikiran ini adalah positivisme yang senantiasa harus dilakukan oleh Hakim Dari seluruh ketentun normatif tersebut, maka dapat dimengerti bahwa hakim tidak dapat menghentikan pemeriksaan tersebut dengan alasan apapun yang dapat dipertanggungjawabkan. 

Oleh karena itu berdasarkan kepada ajaran positivisme, maka persidangan tidak dapat dihentikan. 

Pertimbangan itulah yang membuat penulis memahami argumentasi dari Ketua Pengadilan Negeri Langkat dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dalam polemik terhadap persidangan Raju. 

 Namun wacana persidangan terhadap Raju apabila kita dalilkan dengan ajaran positivisme dan rasa keadilan ditengah masyarakat dan tidak terpenuhinya prinsip dari hukum pidana yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya tidak akan terpenuhi dan akan menimbulkan polemik yang berkepanjangan. 

Terhadap dua perbandingan tersebut, maka dapat kita tarik benang merah sehingga untuk kedepan tidak terulang peristiwa tersebut. Apabila kita lihat proses persidangan terhadap Raju, maka kita harus membongkar rangkaian perjalanan perkara ini hingga diperiksa dimuka persidangan. 

Pihak kepolisian haruslah diusut tuntas dengan pertimbangan, Mengapa perkara ini tetap dilanjutkan ? 

Apakah sudah dilakukan upaya perdamaian sehingga perkara ini tidak dilanjutkan. Apakah tidak dimungkinkan adanya pembinaan dari orang tua Raju dalam perkara ini ? 

apakah sudah terlalu berbahaya perbuatan Raju sehingga upaya diluar proses hukum tidak berjalan ? Apakah tidak dilakukan cara-cara lain untuk menyelesaikan perkara ini. 

Pertanyaan ini sengaja menggelitik penulis untuk dapat berfikir jernih didalam melihat perkara ini. Pertanyaan sama juga ditujukan kepada Jaksa penuntut umum yang berdasarkan kewenangannya kemudian menerima berkas dan membuat dakwaan dan membawa Raju dimuka persidangan. 

Apakah pertimbangan itu juga menjadi bahan Jaksa Penuntut Umum sebelum membuat dakwaan terhadap Raju. 

Seluruh rangkaian perkara ini hingga dimuka persidangan mengakibatkan perkara ini tidak dapat dihentikan. 

Karena hakim tidak boleh menolak perkara sebagaimana diatur didalam berbagai peraturan yang berkaitan dengna kedudukan hakim dan peraturan lainnya. 

oleh karena itu sebenarnya titik taut kesalahan perkara ini muncul karena proses di tingkat kepolisian dan Kejaksaan yang tidak sesuai dengan normatif UU peradilan Anak. 

 Dari deskripsi sederhana ini, banyak pelajaran yang menarik untuk kita tarik. Pertama. Bahwa adanya pemahaman di tingkat penyidik dan Kejaksaan tentang Peradilan Anak dan berbagai ketentuan normatif yang memberikan perlindungan anak. Kedua. 

Perlunya revisi terhadap UU Peradilan Anak dan Kejahatan Anak yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk dapat mempunyai kewenangan menghentikan pemeriksaan terhadap anak dibawah umur 12 tahun. 

Ketiga. Bahwa peradilan haruslah steril dari “intervensi” diluar persidangan agar proses persidangan fair.