Beberapa waktu yang lalu,
Presiden Indonesia mendatangi kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace,
lembaga swadaya masyarakat internasional yang bergerak di bidang
lingkungan hidup yang saat ini sedang bersandar di Pelabuhan Tanjung
Priok. Kapal tersebut mengakhiri masa kampanyenya di Jakarta setelah
mengelilingi perairan Indonesia.
Kapal Rainbow Warrior,
sebuah simbol kedigdayaan Greenpeace. Rainbow Warrior adalah salah
satu nama untuk seri kapal-kapal laut yang dioperasikan oleh
Greenpeace.
Dalam kesempatan itu,
dari atas kapal kebangaan Green Peace tersebut, menyerukan
ajakan-ajakan kepada para wartawan untuk melestarikan lingkungan. Dia
juga mengungkapkan alasan hal tersebut harus dilakukan.
Presiden SBY kemudian
menyerukan "Ini untuk lingkungan kita, untuk dunia dan untuk
masa depan dan cucu kita”.
Secara sekilas,
pernyataan bombastis yang disampaikan SBY melambangkan pemikiran
negara didalam menatap dan mengelola hutan. Tapi apakah benar
pernyataan SBY ?
Mari kita lihat kenyataan di lapangan.
Berdasarkan Statistik
Kehutanan tahun 2012, luas hutan Indonesia mencapai 131.276.394,98 ha
yang terbagi atas fungsi konservasi, lindung dan produksi.
Dari luas kawasan hutan
tersebut telah dikuasai oleh HTI melalui konsesi seluas 9,8 juta
hektar hektar. Tambang dalam status izin prinsip dan eksploitasi
seluas 3,2 juta hektar. Pelepasan untuk perkebunan 5,2 juta hektar
juta hektar. Izin prinsip seluas 1,01 juta hektar. Termasuk HPH
seluas 25 juta hektar dan dalam proses pelepasan untuk wilayah
admistrasi daerah seluas 12,35 juta hektar. (laporan tahunan
Kementerian Kehutanan dalam statistic Kehutanan tahun 2012)
Saat ini mengalami
tekanan deforestasi dan degrasi oleh berbagai kepentingan sector
ekonomi perkebunan, tambang, HTI yang beroperasi dengan persetujuan
dan tanpa persetujuan dari pemerintah.
Selain itu juga masih ada
sekitar 33.000 Desa yang termasuk kedalam kawasan hutan. Potensi
konflik akan terjadi. Selain karena masyarakat menganggap mereka
“berhak”, berhadapan dengan paradigma negara yang harus mengusir
masyarakat yang berada dalam kawasan.
Tuduhan ini serius. Yang
menjadi persoalan apakah pernyataan dari Presiden SBY akan mengusir
masyarakat dari kawasan hutan dengan alasan menjaga lingkungan atau
memang Presiden SBY tidak mendapatkan informasi yang cukup mengetahui
persoalan lingkungan.
Selain itu juga,
pernyataan SBY berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
Masih banyak ditemukan masyarakat yang “dikriminalisasi” dengan
alasan lingkungan. Mereka “terusing” dari tanah dari warisan
nenek moyang. Bahkan yang paling “memalukan”, tuduhan serius
terhadap Anwar Sadat, Dedek Chaniago dan Kamaruddin yang dituduh
“merusak” Polda Jambi. Padahal sudah nyata di persidangan mereka
“bukan pelaku”. Mereka dikriminalisasi karena mereka berjuang
“atas nama lingkungan”.
Ironi inilah yang harus
dibaca, pernyataan SBY di atas kapal Rainbow Warrior sekedar
“basa-basi” politik di depan Greenpeace.
Di tempat terpisah,
Dalam kurun yang belum waktu lama, Presiden SBY mendapatkan
pengahargaan World Statesman Award 2013 dari organisasi keagamaan
internasional The Appeal Of Conscience Foundation (AFC). Hal tersebut
disambut Positif oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Menurutnya, penghargaan
tersebut sesungguhnya tidak hanya ditujukan kepada SBY tetapi pada
seluruh rakyat Indonesia yang telah berusaha menjaga kerukunan antar
suku bangsa maupun agama.
Penghargaan ini menuai
kritik dari banyak kalangan. Kritik pertama dilayangkan oleh profesor
filsafat Romo Franz Magnis-Suseno. Romo Magnis bahkan melayangkan
sebuah surat langsung kepada AoCF dan mempertanyakan dasar pemberian
penghargaan bagi SBY. Dalam suratnya itu, Franz menilai rencana
pemberian penghargaan kepada SBY hanya akan mempermalukan organisasi
itu sendiri.
Kritik lainnya juga
dilayangkan oleh kelompok Human Rights Watch (HRW) yang menyatakan
tindakan penyerangan terhadap kaum minoritas di Indonesia masih
tergolong tinggi. Dalam laman Times of Israel, mereka mengatakan
bukti kegagalan pemerintah RI terlihat dari masih adanya tindak
kekerasan terhadap umat Kristiani, Muslim Syiah, dan pengikut
Ahmadiyah
Belum selesai pembahasan
dua peristiwa sebelumnya, kita masih diingatkan ketika Presiden SBY
menerima penghargaan dari Ratu Inggris Elizabeth II berupa
penghargaan Knight Grand Cross in the Order of the Bath. Sebelum
Presiden Yudhoyono, Knight Grand Cross in the Order of the Bath hanya
diberikan kepada mantan Presiden AS Ronald Reagan, mantan Presiden
Perancis Jacques Chirac, serta Presiden Turki Abdullah Gul. Order of
the Bath terdiri atas tiga kelas. Knight Grand Cross merupakan kelas
yang tertinggi. Dua kelas berikutnya adalah Knight Commander serta
Companion.
Tidak dapat dipungkiri,
pemberian penghargaan merupakan salah satu bentuk sikap resmi
Pemerintahan Inggeris didalam mengamankan investasinya. Saat ini,
investasi Inggris di Indonesia telah mencapai US$ 3 miliar dan
menempatkan negara itu di posisi dua besar setelah Singapura. Hingga
2015 mendatang, nilai investasi Inggris di Indonesia diharapkan dapat
mencapai dua kali lipat, atau sekitar US$ 6 miliar.
Peluang investasi Inggris
di Indonesia sangat beragam, termasuk sektor berbasis teknologi
tinggi, seperti energi dan manufaktur. Menurut data Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM), sepanjang 2011, investasi Inggris masuk ke
Indonesia bernilai US$ 419 juta, menurun dibandingkan tahun 2010 yang
mencapai US$ 1,89 miliar.
Angka yang tidak begitu
berbeda disampaikan Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan dan Menteri
Perdagangan dan Investasi Inggris Lord Stephen Green yang menargetkan
nilai perdagangan menjadi US$6 miliar pada tahun 2015 dari sebelumnya
US$2,9 miliar pada 2011.
Bandingkan dengan
Indonesia, yang hanya mampu dengan nilai ekspor ke Inggris pada 2011
yang mencapai US$1,72 miliar, naik sedikit dari tahun sebelumnya yang
senilai US$ 1,7 miliar.
Investasi yang dilakukan
sejumlah perusahaan Inggris di Tanah Air lebih banyak bergerak di
bidang industri kimia, barang logam, pertambangan, real
estate/kawasan industri, transportasi dan komunikasi, industri
makanan, perdagangan, hotel dan restoran, serta elektronik dan jasa.
Dengan melihat berbagai
angka-angka yang dapat menjamin investasi dari Inggeris, sehingga
tidak salah kemudian Inggeris berkepentingan untuk “menjamin”
investasi. Pemberian gelar kebangsawan Knight Grand Cross in the
Order of the Bath diharapkan dapat memberikan jaminan politik kepada
Inggeris.
Peristiwa-peristiwa
diatas membuktikan “membaca” berbagai pernyataan maupun
penghargaan kepada SBY merupakan cerminan terhadap buruknya
Pemerintahan SBY. Cara-cara ini merupakan ironi di tengah berbagai
hujatan, kritikan maupun sorotan terhadap pemerintahan SBY.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 17 Juni 2013