17 Agustus 2013

opini musri nauli : MAKNA KEMERDEKAAN


Upacara 17 Agustus selalu membangkitkan “heroisme”, “nasionalisme”, rasa kebangsaan, cinta tanah air, kesetiakawanan dan berbagai rasa optimis memandang negara. Rasa itu selalu dikobarkan setiap tanggal 17 Agustus. Rasa optimis yang selalu membangkitkan harapan, rasa yang selalu dikobarkan setiap tahun.


Namun “kadangkala” rasa itu kemudian redup ketika melihat para “pengurus negeri” mengangkangi makna “kemerdekaan”.

Pengurus negeri” mempertontonkan “kepandiran” dan “kesombongan” dengan pongah. “Pengurus negeri” kemudian “memaknai” Pasal 33 UUD untuk “kepentingan pribadi, kelompoknya”. Mereka “merampok” uang rakyat. Mereka memamerkan “kemewahanan”.

Rasa nasionalime kemudian “diterjemahkan” sebagai sikap fasis yang memandang segala “nasionalisme” dalam arti sempit. Berpakaian ala militer, berbaris seperti serdadu, menghormati bendera, mendengarkan wejangan “pengurus negeri”. Patuh. Tanpa perlu bersorak.

Tidak. Nasionalisme tidak “sesempit” itu.

Kita harus melawan rasa itu.

Rasa nasionalisme bukan menjadi “urusan” dan “tafsiran sempit' sang penguasa. Nasionalisme ada dalam diri rakyat itu sendiri. Makna kemerdekaan ada pada diri kita.

Seorang lelaki tua yang setia untuk menjaga hutan adalah rasa nasionalisme. Seorang Iwal Fals yang menciptakan lagu “NEGARA” juga nasionalisme. Seorang Kepala Daerah yang melawan “World Bank” juga nasionalisme.

Seorang astronom Indonesia, Johny Setiawan.Dr.rer.nat, timnya menemukan sekitar 10 planet baru, salah satunya diberi nama TW Hya b. Dan dia juga berhasil menemukan planet ekstrasolar lain yang diberi nama HD 11977 b seorang nasionalisme.

Seorang aktivis yang setiap minggu rela membersihkan sampah di Ciliwung juga nasionalisme. Seorang Wiji Tukul yang tetap berteriak melawan penguasa juga nasionalisme. Seorang Butet Manurung yang “mengajar” orang rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas adalah nasionalisme.

Seorang ibu yang setia mengajar “tanpa dibayar” di kolong jalan tol juga nasionalisme. Seorang ibu sehari-hari jualan sayur namun disela-sela waktunya kemudian mengajar “vokal suara” adalah seorang nasionalisme. Merekalah sesungguhnya pahlawan-pahlawan arti “sebenarnya”. Mereka tidak mendiskusikan “makna kemerdekaan”. Mereka tidak perlu simbol-simbol. Mereka tidak perlu “bendera'. Tidak perlu pasukan untuk menghormatinya. Namun yang mereka lakukan “melebihi” rasa nasionalisme yang ada pada diri kita.

Namun dari diri mereka kita “belajar” menemukan makna kata “kemerdekaan”. Makna kata “nasionalisme” sesungguhnya. Dan kita terus “diajarkan” setiap hari.