Upacara 17 Agustus selalu
membangkitkan “heroisme”, “nasionalisme”, rasa
kebangsaan, cinta tanah air, kesetiakawanan dan berbagai rasa optimis
memandang negara. Rasa itu selalu dikobarkan setiap tanggal 17
Agustus. Rasa optimis yang selalu membangkitkan harapan, rasa yang
selalu dikobarkan setiap tahun.
Namun “kadangkala”
rasa itu kemudian redup ketika melihat para “pengurus negeri”
mengangkangi makna “kemerdekaan”.
“Pengurus negeri”
mempertontonkan “kepandiran” dan “kesombongan”
dengan pongah. “Pengurus negeri” kemudian “memaknai”
Pasal 33 UUD untuk “kepentingan pribadi, kelompoknya”.
Mereka “merampok” uang rakyat. Mereka memamerkan
“kemewahanan”.
Rasa nasionalime kemudian
“diterjemahkan” sebagai sikap fasis yang memandang segala
“nasionalisme” dalam arti sempit. Berpakaian ala militer,
berbaris seperti serdadu, menghormati bendera, mendengarkan wejangan
“pengurus negeri”. Patuh. Tanpa perlu bersorak.
Tidak. Nasionalisme tidak
“sesempit” itu.
Kita harus melawan rasa
itu.
Rasa nasionalisme bukan
menjadi “urusan” dan “tafsiran sempit' sang
penguasa. Nasionalisme ada dalam diri rakyat itu sendiri. Makna
kemerdekaan ada pada diri kita.
Seorang lelaki tua yang
setia untuk menjaga hutan adalah rasa nasionalisme. Seorang Iwal Fals
yang menciptakan lagu “NEGARA” juga nasionalisme. Seorang
Kepala Daerah yang melawan “World Bank” juga nasionalisme.
Seorang astronom
Indonesia, Johny Setiawan.Dr.rer.nat, timnya menemukan sekitar 10
planet baru, salah satunya diberi nama TW Hya b. Dan dia juga
berhasil menemukan planet ekstrasolar lain yang diberi nama HD 11977
b seorang nasionalisme.
Seorang aktivis yang
setiap minggu rela membersihkan sampah di Ciliwung juga nasionalisme.
Seorang Wiji Tukul yang tetap berteriak melawan penguasa juga
nasionalisme. Seorang Butet Manurung yang “mengajar” orang
rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas adalah nasionalisme.
Seorang ibu yang setia
mengajar “tanpa dibayar” di kolong jalan tol juga
nasionalisme. Seorang ibu sehari-hari jualan sayur namun disela-sela
waktunya kemudian mengajar “vokal suara” adalah seorang
nasionalisme. Merekalah sesungguhnya pahlawan-pahlawan arti
“sebenarnya”. Mereka tidak mendiskusikan “makna
kemerdekaan”. Mereka tidak perlu simbol-simbol. Mereka tidak
perlu “bendera'. Tidak perlu pasukan untuk menghormatinya.
Namun yang mereka lakukan “melebihi” rasa nasionalisme
yang ada pada diri kita.
Namun dari diri mereka
kita “belajar” menemukan makna kata “kemerdekaan”.
Makna kata “nasionalisme” sesungguhnya. Dan kita terus
“diajarkan” setiap hari.