Tertangkapnya “tokoh
penting” di SKK Migas menyentak publik. Tanpa “bermaksud”
untuk menilai kinerja KPK, penangkapan tokoh penting sekedar
“konfirm”, bagaimana korupsi di sektor SDA telah
meluluhlantakkan perekonomian yang “sebelumnya” sulit
dijangkau oleh penegak hukum.
Dalam berbagai sumber
selalu disebutkan potensi korupsi SDA yang mencapai angka diatas
ratusan trilyun. Baik dari proses perizinan, proses pelaksanaan,
potensi kehilangan SDA hingga berbagai manfaat yang bisa ditarik
sebagai penerimaan kepada negara.
Sekedar gambaran,
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kemenhut,
menjelaskan Kalimantan Tengah (Kalteng), dengan perkiraan kerugian
negara Rp1,58 triliun, dari 282 kasus kebun, tambang 629 kasus.
Kalimantan Timur (Kaltim), kebun 86 kasus, tambang 223 kasus,
kerugian negara diperkirakan Rp31 triliun. Kalimantan Barat (Kalbar),
sebanyak 169 kasus kebun, 384 tambang, dengan taksiran kerugian
negara Rp47 triliun. Kalimantan Selatan (Kalsel), kebun 32 dan
tambang 169 kasus, dengan potensi kerugian negara Rp1,96 triliun.
Diikuti Sulawesi Tenggara (Sultra), sembilan kasus kebun, 241
tambang, dengan taksiran kerugian negara Rp13,4 triliun. Jambi, 52
kasus kebun, 31 tambang, dengan perkiraan kerugiaan Rp7,62 triliun
dan Jawa Barat (Jabar), kebun 23 dan tambang lima kasus, dengan
kerugian negara diperkirakan Rp1,3 triliun.
Begitu juga dari hasil
analisis “Koalisi Anti Mafia Hutan” yang memperkirakan
kerugian dari sektor SDA bisa mencapai 273 trilyun rupiah. Belum lagi
hasil analisis KPK, Dalam hitungannya, Indonesia berpeluang menerima
pemasukan sebesar Rp 15.000 triliun setiap tahun dari hasil mengelola
sumber daya alam. Bila dibagi rata, maka setiap warga negara
Indonesia akan mendapatkan Rp 20 juta setiap bulan (kompas.com).
Atau Papua yang
“menghidupi” Freeport-McMoRan yang kemudian berkembang
menjadi perusahaan dengan penghasilan US$ 6,555 miliar pada tahun
2007. Mining Internasional, sebuah majalah perdagangan, menyebut
tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Dengan melihat
angka-angka yang dipaparkan, maka Indonesia yang sering disebut-sebut
sebagai “surga dunia”, “negeri zamrud khatulistiwa”,
namun tetap dalam garis kemiskinan. Angka kemiskinan yang tidak
beranjak dari 12% tetap mendominasi dan menjadi persoalan yang tidak
pernah dapat diselesaikan.
Daerah-daerah lumbung dan
kaya SDA justru terpuruk di garis kemiskinan. Papu, Aceh, Riau,
Kalimantan Timur yang mempunyai kekayaan “luar biasa”
namun penduduknya tetap tidak beranjak dari “hidup yang tidak
pantas”. Hasil riset Walhi 2006 membuktikan itu.
Belum lagi sektor
pendidikan, kesehatan yang masih menjadi “barang mewah”.
Persoalan yang masih menjadi impian dari masyarakat yang
terpinggirkan.
Begitu juga infrastruktur
yang masih morat-marit, transportasi publik yang jauh dari kata
“pantas”, anggaran yang terus meningkat untuk pembiayaan
pejabat dan pengadaan mobil dinas hingga berbagai pelayanan kemewahan
kepada pejabat yang juga sering “membohongi” rakyatnya.
Angka-angka yang
“seharusnya” masuk kedalam kas negara baik dalam sektor
pajak, sektor SDA, potensi kehilangan dari sektor SDA hingga
“korupsi” duit anggaran proyek sungguh-sungguh membuat
kita terus bertanya. Mengapa Indonesia sebagai negara “gemah
ripah loh jinawi tata tentram kerto rahardjo” tidak juga
beranjak dari persoalan kemiskinan.
Tentu ada “sesuatu
yang tidak beres” didalam menata dan mengelola SDA. Tentu ada
sesuatu “big” yang mengendalikan SDA. Dan kita hanya bisa
meraba dan merasakan “bagaimana mungkin”, Indonesia yang
dianugerahi kekayaan yang luar biasa tapi kita tidak pernah beranjak
menjadi sejahtera apalagi makmur. Tentu ada “sesuatu” yang
salah.
Kegeraman kita terhadap
“merampok” SDA tidak juga didengarkan oleh “pengurus
negeri”. Suara kita kalah lantang dengan stategi “Canggih”
para “perampok” SDA yang sekarang telah bermanuver ke
politik dengna membiayai Pilkada dan anggota parlemen.
Dan KPK telah memberikan
inspirasi kita. KPK telah meniupkan lilin di tengah rasa pesimis kita
Kita harus melawan dan
terus berteriak. Dan tertangkapnya “tokoh penting” di SKK
Migas pintu masuk dari berbagai “kegeraman” kita selama
ini. Dan tugas kita kemudian menjaga KPK agar tetap meniupkan lilin
dan kemudian kita pula yang memberikan cahaya agar terang dari
kegelapan malam.