17 Agustus 2013

opini musri nauli : Perzinahan menurut hukum adat dan hukum nasional




Sebuah mediaonline mengabarkan peristiwa. “Seorang mahasiswi digrebek saat masih memakai handuk”. Masyarakat melihat cowoknya datang, dan langsung memasukkan motor ke dalam rumah. Selanjutnya pintu ditutup. Mahasiswi diduga bersama kekasihnya di rumah. Mereka kemudian digiring dan menjalani sidang adat.

Lantas apa yang bisa kita tarik dari peristiwa diatas.

Pertama. Dalam sistem hukum adat, “Kepantasan” menjadi ukuran. Seorang perempuan bersama dengan seorang pria yang bukan “muhrim” kemudian menutup pintu dapat dikategorikan “tidak pantas”. “ketidakpantasan” menjadikan pembuktian “formal” bahwa telah terjadi “sesuatu”. Norma yang dipakai adalah “salah tengok, salah liek”.

Kedua. Mengapa “pintu kemudian ditutup” ?. Perbuatan “menutup pintu” setelah cowoknya masuk” telah membuktikan adanya keinginan “tidak baik” dari mahasiswi.

Ketiga. Kemudian ketika hendak diketuk masyarakat, “mahasiswi masih pake handuk”. Peristiwa “mahasiswi masih pake handuk” mengindikasikan dan bukti formal yang kuat. Mengapa “mahasiswi masih pake handuk” ?

Keempat. Dengan melihat kejadian “seorang cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”, “mahasiswi masih pake handuk” ketika didatangi masyarakat, sudah membuktikan adanya peristiwa “tidak pantas'. Ketidakpantasan oleh masyarakat menjadikan “hukum adat” berlaku. Dan harus diselesaikan dalam sidang adat dan dijatuhi “sanksi adat”.

Kelima. Tidak perlu dibuktikan, apakah perbuatan antara mahasiswi dengan cowoknya memang telah terjadinya perzinahan (gendak/operspel). “Ketidakpantasan” cukup dengan ditandai dengan “seorang cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”, “mahasiswi masih pake handuk” ketika didatangi masyarakat, sudah membuktikan adanya peristiwa perzinahan (gendak/operspel)

Keenam. Hukum acaranya hukum acara formal. Ketidakpantasan cukup menjadikan peristiwa perzinahan (gendak/operspel) telah terbukti. Tidak perlu dibuktikan apakah “memang telah terjadi zinah” atau belum.

Ketujuh. Tidak perlu ada korban. Dalam peristiwa itu tidak diperlukan adanya korban. Masyarakat “cukup” merasa dirugikan dan dapat bertindak sebagai korban.

Kedelapan. Dengan melihat rangkaian daripada proses panjang tentang hukum adat, maka hukum adat bersifat “formal” berangkat dari nilai kepantasan/kesusilaan/kesopanan”.

Sehingga proses hukum adat dapat dijalani dan dapat dijatuhi sanksi adat.

Dalam praktek di tengah hukum adat, Sanksi adat berupa beragam. Apabila keduanya masih “Belum berkeluarga”, biasa selain adanya denda adat seperti “Kambing sekok, beras 20 gantang, selemak semanis” kemudian dinikahkan.

Namun hukum ini akan bisa lebih berat apabila dilihat posisi pelakunya. Apabila perempuan merupakan istri orang, maka sanksinya lebih berat. Selain dijatuhi denda adat berupa “Seekor kerbau, beras 100 gantang, selemak semanis”, biasanya perempuan tersebut dapat diceraikan oleh suaminya. Dan keduanya dapat “diusir” dari tempat tinggal.

Sedangkan apabila laki-lakinya orang yang cukup terpandang seperti “Kepala Desa, pemangku adat, tokoh dihormati” maka sanksi adat diperberat berupa “kerbau dua ekor, beras 100 gantang dan selemak semanis”.

Yurisprudensi Mahkamah Agung pernah menegaskan. “seorang perempuan dan seorang laki-laki yang sedang berada di sebuah kamar hotel, maka dapat dikategorikan terjadinya perzinahan”.

Perzinahan dalam Hukum Nasional

Dalam hukum nasional, perzinahan (gendak/operspel) diatur didalam pasal 284 KUHP. “Barang siapa Melakukan Gendak (overspel) padahal diketahui Pasal 27 BW berlaku baginya

Melihat definisi pasal 284 KUHP, maka dapat kita lihat unsurnya seperti unsur barang siapa“. Unsur Barangsiapa adalah adanya subyek hukum yang dalam hal ini orang sebagai pelaku tindak pidana, dan atas tindak pidana yang dilakukannya orang tersebut secara jasmani maupun rohaninya mampu untuk bertanggung jawab.

Unsur Melakukan Gendak (overspel) Padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
Yang dimaksud dengan Zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Bahwa pada Pasal 27 BW dikatakan bahwa orang laki- laki hanya boleh menikah bersama dengan seorang perempuan dan orang perempuan hanya boleh menikah dengan seorang laki-laki bersamaan. Baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh bersetubuh dengan orang lain selain dengan isteri maupun suaminya sendiri.

Sedangkan dimaksud dengan persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani.

Pertama. Secara sederhana dapat diterjemahkan pasal 27 BW, adanya terikat perkawinan.

Kedua. Para pelaku baik Keduanya atau salah satu terikat perkawinan.

Ketiga. Karena terikat perkawinan, maka harus adanya keberatan dari pihak suami/istri. Suami/istri harus “keberatan” terhadap peristiwa perzinahan. Apabila tidak keberatan, maka tetap tidak bisa kasus ini dapat dilakukan penyidikan. Dalam ilmu pidana dikenal dengan istilah “klach delict” absolut.

Keempat. Kriteria peristiwa pidana mengenai perzinahan adalah “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani.

Kelima. Adanya adagium “nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali”. Hanya hukum yang tertulis sajalah yang dapat menentukan apakah suatu norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukuman menurut hukum pidana atau tidak.

Keenam. Asasnya adalah nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya “tidak dapat dihukum seseorang, apabila tidak ada undang-undang yang mengaturnya”.

Sebagaimana kita ketahui, Hukum pidana berangkat dari kebenaran materiil. Yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya. Maka sifat hukum Acara pidana harus menggali kebenaran terjadinya peristiwa.

Dengan melihat definisi pasal 284 KUHP dapat kita lihat apakah perbuatan “Seorang perempuan bersama dengan seorang pria yang bukan “muhrim” kemudian menutup pintu” dapat dikategorikan telah melakukan perzinahan ?

Apakah “seorang cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”, “mahasiswi masih pake handuk” telah dapat dibuktikan adanya “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani

Atau dengan kata lain “seorang cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”, “mahasiswi masih pake handuk” dapat dikategorikan telah terjadinya perzinahan ?

Tentu tidak sesederhana itu ? Harus dibuktikan melalui “visum et repertum”. Atau adanya sisa “air mani” ? Atau bukti-bukti ilmiah dalam kajian ilmu kriminologi yang telah menyatakan “adanya perbuatan zinah sehingga “mengeluarkan air mani” ?

Dalam ranah inilah, hukum acara pidana berperan. Dibutuhkan alat bukti sebagaimana diatur didalam Pasal 184 KUHAP seperti saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka.

Namun sebelum kita membuktikan apakah telah terjadinya peristiwa “perzinahan”, karena para pelaku belum berkeluarga yang ditandai dengan berita “Seorang mahasiswi”, “Masyarakat melihat cowoknya” Atau dengan kata lain, terhadap peristiwa pidana “perzinahan” tidak dapat diperiksa, karena keduanya tidak terikat dalam perkawinan.

Sehingga sudah bisa dipastikan, dalam ilmu hukum pidana, peristiwa diatas tidak termasuk kedalam peristiwa pidana. Sehingga para pelaku tidak dapat diproses hukum.