Sebuah mediaonline
mengabarkan peristiwa. “Seorang mahasiswi digrebek saat masih
memakai handuk”. Masyarakat melihat cowoknya datang, dan langsung
memasukkan motor ke dalam rumah. Selanjutnya pintu ditutup.
Mahasiswi diduga bersama kekasihnya di rumah. Mereka kemudian
digiring dan menjalani sidang adat.
Lantas apa yang bisa kita
tarik dari peristiwa diatas.
Pertama. Dalam sistem
hukum adat, “Kepantasan” menjadi ukuran. Seorang perempuan
bersama dengan seorang pria yang bukan “muhrim” kemudian
menutup pintu dapat dikategorikan “tidak pantas”.
“ketidakpantasan” menjadikan pembuktian “formal”
bahwa telah terjadi “sesuatu”. Norma yang dipakai adalah
“salah tengok, salah liek”.
Kedua. Mengapa “pintu
kemudian ditutup” ?. Perbuatan “menutup pintu” setelah
cowoknya masuk” telah membuktikan adanya keinginan “tidak
baik” dari mahasiswi.
Ketiga. Kemudian ketika
hendak diketuk masyarakat, “mahasiswi masih pake handuk”.
Peristiwa “mahasiswi masih pake handuk” mengindikasikan
dan bukti formal yang kuat. Mengapa “mahasiswi masih pake
handuk” ?
Keempat. Dengan melihat
kejadian “seorang cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”,
“mahasiswi masih pake handuk” ketika didatangi masyarakat,
sudah membuktikan adanya peristiwa “tidak pantas'.
Ketidakpantasan oleh masyarakat menjadikan “hukum adat”
berlaku. Dan harus diselesaikan dalam sidang adat dan dijatuhi
“sanksi adat”.
Kelima. Tidak perlu
dibuktikan, apakah perbuatan antara mahasiswi dengan cowoknya memang
telah terjadinya perzinahan (gendak/operspel).
“Ketidakpantasan” cukup dengan ditandai dengan “seorang
cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”, “mahasiswi masih
pake handuk” ketika didatangi masyarakat, sudah membuktikan
adanya peristiwa perzinahan (gendak/operspel)
Keenam. Hukum acaranya
hukum acara formal. Ketidakpantasan cukup menjadikan peristiwa
perzinahan (gendak/operspel) telah terbukti. Tidak perlu
dibuktikan apakah “memang telah terjadi zinah” atau belum.
Ketujuh. Tidak perlu ada
korban. Dalam peristiwa itu tidak diperlukan adanya korban.
Masyarakat “cukup” merasa dirugikan dan dapat bertindak
sebagai korban.
Kedelapan. Dengan melihat
rangkaian daripada proses panjang tentang hukum adat, maka hukum adat
bersifat “formal” berangkat dari nilai
kepantasan/kesusilaan/kesopanan”.
Sehingga proses hukum
adat dapat dijalani dan dapat dijatuhi sanksi adat.
Dalam praktek di tengah
hukum adat, Sanksi adat berupa beragam. Apabila keduanya masih “Belum
berkeluarga”, biasa selain adanya denda adat seperti “Kambing
sekok, beras 20 gantang, selemak semanis” kemudian dinikahkan.
Namun hukum ini akan bisa
lebih berat apabila dilihat posisi pelakunya. Apabila perempuan
merupakan istri orang, maka sanksinya lebih berat. Selain dijatuhi
denda adat berupa “Seekor kerbau, beras 100 gantang, selemak
semanis”, biasanya perempuan tersebut dapat diceraikan oleh
suaminya. Dan keduanya dapat “diusir” dari tempat tinggal.
Sedangkan apabila
laki-lakinya orang yang cukup terpandang seperti “Kepala Desa,
pemangku adat, tokoh dihormati” maka sanksi adat diperberat
berupa “kerbau dua ekor, beras 100 gantang dan selemak semanis”.
Yurisprudensi Mahkamah
Agung pernah menegaskan. “seorang perempuan dan seorang
laki-laki yang sedang berada di sebuah kamar hotel, maka dapat
dikategorikan terjadinya perzinahan”.
Perzinahan dalam Hukum
Nasional
Dalam hukum nasional,
perzinahan (gendak/operspel) diatur didalam pasal 284 KUHP.
“Barang siapa Melakukan Gendak (overspel) padahal diketahui
Pasal 27 BW berlaku baginya”
Melihat definisi pasal
284 KUHP, maka dapat kita lihat unsurnya seperti unsur barang
siapa“. Unsur Barangsiapa adalah adanya subyek hukum yang
dalam hal ini orang sebagai pelaku tindak pidana, dan atas tindak
pidana yang dilakukannya orang tersebut secara jasmani maupun
rohaninya mampu untuk bertanggung jawab.
Unsur Melakukan Gendak
(overspel) Padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.
Yang dimaksud dengan Zina
adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri
atau suaminya. Bahwa pada Pasal 27 BW dikatakan bahwa orang laki-
laki hanya boleh menikah bersama dengan seorang perempuan dan orang
perempuan hanya boleh menikah dengan seorang laki-laki bersamaan.
Baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh bersetubuh dengan orang
lain selain dengan isteri maupun suaminya sendiri.
Sedangkan dimaksud dengan
persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan
perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota
kemaluan laki-laki harus masuk kedalam anggota kemaluan perempuan
sehingga mengeluarkan air mani.
Pertama. Secara sederhana
dapat diterjemahkan pasal 27 BW, adanya terikat perkawinan.
Kedua. Para pelaku baik
Keduanya atau salah satu terikat perkawinan.
Ketiga. Karena terikat
perkawinan, maka harus adanya keberatan dari pihak suami/istri.
Suami/istri harus “keberatan” terhadap peristiwa
perzinahan. Apabila tidak keberatan, maka tetap tidak bisa kasus ini
dapat dilakukan penyidikan. Dalam ilmu pidana dikenal dengan istilah
“klach delict” absolut.
Keempat. Kriteria
peristiwa pidana mengenai perzinahan adalah “peraduan antara
anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk
mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk kedalam
anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani.
Kelima. Adanya adagium
“nullum delictum, nulla poena sine lege praevia poenali”.
Hanya hukum yang tertulis sajalah yang dapat menentukan apakah suatu
norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukuman menurut
hukum pidana atau tidak.
Keenam. Asasnya adalah
nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya “tidak
dapat dihukum seseorang, apabila tidak ada undang-undang yang
mengaturnya”.
Sebagaimana kita ketahui,
Hukum pidana berangkat dari kebenaran materiil. Yaitu kebenaran yang
sebenar-benarnya. Maka sifat hukum Acara pidana harus menggali
kebenaran terjadinya peristiwa.
Dengan melihat definisi
pasal 284 KUHP dapat kita lihat apakah perbuatan “Seorang
perempuan bersama dengan seorang pria yang bukan “muhrim”
kemudian menutup pintu” dapat dikategorikan telah melakukan
perzinahan ?
Apakah “seorang
cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”, “mahasiswi
masih pake handuk” telah dapat dibuktikan adanya “peraduan
antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan
untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk
kedalam anggota kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan air mani
Atau dengan kata lain
“seorang cowok masuk”, “mahasiswi menutup pintu”,
“mahasiswi masih pake handuk” dapat dikategorikan telah
terjadinya perzinahan ?
Tentu tidak sesederhana
itu ? Harus dibuktikan melalui “visum et repertum”. Atau
adanya sisa “air mani” ? Atau bukti-bukti ilmiah dalam
kajian ilmu kriminologi yang telah menyatakan “adanya perbuatan
zinah sehingga “mengeluarkan air mani” ?
Dalam ranah inilah, hukum
acara pidana berperan. Dibutuhkan alat bukti sebagaimana diatur
didalam Pasal 184 KUHAP seperti saksi, saksi ahli, surat, petunjuk
dan keterangan tersangka.
Namun sebelum kita
membuktikan apakah telah terjadinya peristiwa “perzinahan”,
karena para pelaku belum berkeluarga yang ditandai dengan berita
“Seorang mahasiswi”, “Masyarakat melihat cowoknya” Atau
dengan kata lain, terhadap peristiwa pidana “perzinahan”
tidak dapat diperiksa, karena keduanya tidak terikat dalam
perkawinan.
Sehingga sudah bisa dipastikan, dalam
ilmu hukum pidana, peristiwa diatas tidak termasuk kedalam peristiwa
pidana. Sehingga para pelaku tidak dapat diproses hukum.
Baca : RUU Pornografi