19 Januari 2015

opini musri nauli : Sekali lagi saya menolak hukuman mati


Pada saat bersamaan, ketika gonjang ganjing politik kontemporer terjebak dengan issu panas “Calon Kapolri sebagai tersangka, di sudut gelap di tengah terlelapnya kita diperaduan tidur, dilaksanakan hukuman mati. Jaksa Agung telah melaksanakan putusan Pengadilan yang telah menetapkan 6 orang terpidana mati.

Tulisan mengenai hukuman mati memang menyita perhatian dari penulis dan menjadi perdebatan panjang di media massa. Disaat penulis menawarkan sebuah pemikiran yang berjudul “Hukuman Mati dari Perspektif HAM” yang dimuat pada tanggal 12 Oktober 2006, ternyata menarik perhatian dari Saudara Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli” yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2006. Penulis kemudian memberikan tanggapan KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI  (Otokritik Terhadap Hukuman Mati), dimuat di Harian Jambi Ekspres, 9 November 2006.

Penulis juga pernah menceritakan pandangan Hakim agung didalam tulisan HUKUMAN MATI DARI SUDUT PANDANG HAKIM yang kemudian dimuat tanggal 5 Oktober 2012 dan HUKUMAN MATI DALAM POLEMIK yang dimuat tanggal 21 Agustus 2012

Wacana hukuman mati tetap hangat dibicarakan.  Pidana mati adalah merupakan jenis pidana yang paling berat dari susunan sanksi pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Pidana mati merupakan salah satu bentuk pidana yang paling tua, sehingga dapat juga dikatakan bahwa pidana mati itu sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman. Namun sampai saat sekarang ini belum diketemukan alternatif lain sebagai penggantinya.

Lebih dari separuh negara di dunia melarang hukuman mati. Hanya satu negara di Eropa, yaitu Belarus, yang masih mempertahankan hukuman mati. 80% (Delapan puluh persen) dari seluruh hukuman mati yang dilaksanakan di dunia sejak tahun 1976 terjadi di Cina, Iran, Pakistan, Kongo, Arab Saudi, Iran dan Amerika Serikat. Tahun 2004, Amerika Serikat mengeksekusi 59 orang dewasa. Hampir 3.500 orang menunggu pelaksanaan hukuman mati di berbagai penjara di Amerika Serikat (data dari berbagai sumber)

HUKUMAN MATI DALAM POLEMIK

Betul. Berbagai peraturan normative masih mencantumkan ‘pidana mati” seperti  UU No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, UU Tindak Pidana Terorisme. Bahkan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan  Hingga akhir 2006 terdapat setidak-tidaknya 11 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang masih mengandung ancaman hukuman mati

Pidana mati telah diuji di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi didalam putusannya Nomor Nomor 15/PUU-X/2012 “lagi-lagi” menolak permohonan para pihak yang menghendaki “pencabutan” hukuman mati”. Putusan ini sebenarnya kembali “menegaskan” pandangan konstitusi terhadap hukuman mati. Dimana MK sebelumnya telah menolak permohonan pencabutan hukuman mati yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 Edith Yunita Sianturi dkk dan Scott Anthony Rush dalam perkara Nomor 3/PUU-VI/2007

Didalam putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. “lagi-lagi” Hakim Konstitusi yang berkomposisi 9 orang terbelah.  Empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing. H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan H.M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.

Para ahli hukumpun terbelah. Dr. A. Muhammad Asrun, SH. MH, Prof. Dr. Achmad Ali, SH, Dr. Rudy Satrio Mukantardjo, SH adalah ahli hokum yang masih memandang perlunya pidana mati dengan kriteria khusus (baik karena dampaknya maupun perbuatannya.  

Kalangan yang menolak hukuman mati berargumentasi ”Salah satu sebab hukuman mati dihapuskan di berbagai negara di dunia adalah kenyataan bahwa hukuman mati dianggap merupakan suatu bentuk hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (cruel, inhuman, or degrading treatment or punishment). Selain itu tidak sesuai dengna kepribadian bangsa Indonesia yang menjunjung Pancasila

Argumentassi ini kemudian disampaikan Prof. Dr. Arief Sidharta, SH., Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., dalam disertasinya tahun 1971 dan  Prof. Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana)

Terlepas dari perbedaan para ahli melihat pelaksanaan hukuman mati, pendekatan yang paling sering digunakan adalah Dengan menggunakan pendekatan sebagai "guaranted constitusional right" sebagaimana rumusan konstitusi Pasal 28 Ayat I Huruf I UUD 45, maka maka “hak untuk hidup(the right to life) sebagai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right). Pernyataan ini kemudian dikuatkan didalam rumusan pasal rumusan pasal Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 dengan tegas menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Pendekatan inilah yang membuat penulis “keukeuh” penulis dan tetap menolak hukuman mati.

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 24 Januari 2015.