Pada saat bersamaan, ketika gonjang ganjing politik
kontemporer terjebak dengan issu panas “Calon Kapolri sebagai tersangka, di
sudut gelap di tengah terlelapnya kita diperaduan tidur, dilaksanakan hukuman
mati. Jaksa Agung telah melaksanakan putusan Pengadilan yang telah menetapkan 6
orang terpidana mati.
Tulisan mengenai hukuman mati memang
menyita perhatian dari penulis dan menjadi perdebatan panjang di media massa.
Disaat penulis menawarkan sebuah pemikiran yang berjudul “Hukuman Mati dari
Perspektif HAM” yang dimuat pada tanggal 12 Oktober 2006, ternyata menarik
perhatian dari Saudara Erdianto yang kemudian memberikan pandangannya yang
berjudul “Sekali Lagi, Soal Pidana Mati – Tanggapan atas Opini Musri Nauli”
yang diterbitkan pada tanggal 2 November 2006. Penulis kemudian memberikan
tanggapan KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI (Otokritik Terhadap Hukuman
Mati), dimuat di Harian Jambi Ekspres, 9 November 2006.
Penulis juga pernah menceritakan pandangan
Hakim agung didalam tulisan HUKUMAN
MATI DARI SUDUT PANDANG HAKIM yang kemudian dimuat tanggal 5 Oktober 2012 dan
HUKUMAN MATI DALAM POLEMIK yang dimuat tanggal 21 Agustus 2012
Wacana hukuman mati tetap hangat
dibicarakan. Pidana mati adalah merupakan
jenis pidana yang paling berat dari susunan sanksi
pidana dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Pidana mati merupakan salah satu
bentuk pidana yang paling tua, sehingga dapat juga dikatakan bahwa pidana mati
itu sudah tidak sesuai dengan kehendak zaman. Namun sampai saat sekarang ini
belum diketemukan alternatif lain sebagai penggantinya.
Lebih dari separuh
negara di dunia melarang hukuman mati. Hanya satu negara di Eropa, yaitu
Belarus, yang masih mempertahankan hukuman mati. 80% (Delapan puluh persen)
dari seluruh hukuman mati yang dilaksanakan di dunia sejak tahun 1976 terjadi
di Cina, Iran, Pakistan, Kongo, Arab Saudi, Iran dan Amerika Serikat. Tahun
2004, Amerika Serikat mengeksekusi 59 orang dewasa. Hampir 3.500 orang menunggu
pelaksanaan hukuman mati di berbagai penjara di Amerika Serikat (data dari
berbagai sumber)
HUKUMAN MATI DALAM POLEMIK
Betul. Berbagai peraturan normative masih
mencantumkan ‘pidana mati” seperti UU
No. 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia, UU Tindak Pidana Terorisme. Bahkan Abdul Hakim Garuda Nusantara menyatakan Hingga akhir 2006 terdapat setidak-tidaknya 11 peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
masih mengandung ancaman hukuman mati
Pidana mati telah diuji di Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi didalam putusannya Nomor Nomor 15/PUU-X/2012 “lagi-lagi”
menolak permohonan para pihak yang menghendaki “pencabutan” hukuman
mati”. Putusan ini sebenarnya kembali “menegaskan” pandangan konstitusi
terhadap hukuman mati. Dimana MK sebelumnya telah menolak permohonan pencabutan
hukuman mati yang disampaikan oleh Para
Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 Edith Yunita Sianturi dkk dan Scott Anthony Rush dalam perkara Nomor 3/PUU-VI/2007
Didalam putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007.
“lagi-lagi” Hakim Konstitusi yang berkomposisi 9 orang terbelah.
Empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting
opinions). Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon Warga Negara Asing. H. Achmad Roestandi mempunyai
pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan H.M. Laica Marzuki, dan
Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal
standing) maupun Pokok Permohonan.
Para ahli hukumpun terbelah. Dr. A.
Muhammad Asrun, SH. MH, Prof. Dr. Achmad Ali, SH, Dr. Rudy Satrio Mukantardjo,
SH adalah ahli hokum yang masih memandang perlunya pidana mati dengan kriteria
khusus (baik karena dampaknya maupun perbuatannya.
Kalangan yang menolak hukuman mati
berargumentasi ”Salah satu sebab hukuman mati dihapuskan di berbagai negara di
dunia adalah kenyataan bahwa hukuman mati dianggap merupakan suatu bentuk
hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat
manusia (cruel, inhuman, or degrading treatment or punishment). Selain
itu tidak sesuai dengna kepribadian bangsa Indonesia yang menjunjung Pancasila
Argumentassi ini kemudian disampaikan
Prof. Dr. Arief Sidharta, SH., Dr. Soedikno Mertokusumo,SH., dalam disertasinya
tahun 1971 dan Prof. Mr. Roeslan Saleh (Guru Besar Hukum Pidana)
Terlepas dari perbedaan para ahli melihat
pelaksanaan hukuman mati, pendekatan yang paling sering digunakan adalah Dengan menggunakan pendekatan sebagai "guaranted
constitusional right" sebagaimana rumusan konstitusi Pasal 28
Ayat I Huruf I UUD 45, maka maka “hak untuk hidup” (the right to life) sebagai hak yang tak
dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable right). Pernyataan ini
kemudian dikuatkan didalam rumusan pasal rumusan pasal Pasal 4 UU No. 39 Tahun
1999 dengan tegas menyatakan “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh
siapapun.
Pendekatan inilah yang membuat penulis “keukeuh”
penulis dan tetap menolak hukuman mati.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 24 Januari 2015.
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 24 Januari 2015.