23 Desember 2015

opini musri nauli : OPOSISI KRITIS DAN OPOSISI LOYAL


Kedatangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke istana memantik diskusi panjang. Dengan menggunakan istilah “silahturahmi”, PKS menemui Jokowi dan menyatakan mendukung program Pemerintah yang berpihak kepada rakyat. Istilah yang digunakan adalah “oposisi loyal”.


Sebagai Negara yang rajin memproduksi istilah, PKS menggunakan istilah “oposisi loyal” mengikuti istilah yang digunakan Partai Golkar “oposisi kritis”. Istilah “oposisi loyal” atau “oposisi Kritis” merupakan istilah yang bermakna ganda dalam terminology ilmu politik dari kata “oposisi”.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata “oposisi” berasal dari istilah oposisi/opo·si·si/ partai penentang di dewan perwakilan dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan politik golongan yang berkuasa. Dalam praktek pemerintahan paska Pemilu, oposisi sering disuarakan terhadap partai-partai yang berkuasa di parlemen dan menjadi pihak yang sering menentang kebijakan Negara. Dalam sistem pemerintahan, sikap ini penting sebagai bentuk control dari partai terhadap kebijakan pemerintahan yang berkuasa.

Dimasa pemerintahan SBY yang berkuasa 10 tahun, PDI-P mengambil sikap sebagai partai oposisi. Mereka sering bersuara keras dalam setiap kebijakan Negara. Misalnya dalam kebijakan Pemerintahan SBY dalam issu kenaikan BBM.

Dalam Pemilu 2014, sebagai pemenang pemilu, PDIP mengambil sikap politik sebagai partai pemerintah (The rulling party). Sikap ini diambil setelah kembali terpilihnya Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum DPP PDIP. Sikap ini sesuai dengan kemenangan PDIP yang berhasil mengantarkan Jokowi sebagai Presiden.

Namun Partai Golkar dan PKS yang selama 10 tahun di Pemerintahan SBY, paska pemilu 2014, kemudian menyampaikan sikapnya. Partai Golkar sebagai partai oposisi kritis dan PKS sebagai partai oposisi loyal. Sikap politik sebagai representasi oposisi kritis dan oposisi loyal merupakan tafsiran ambigu. Sebagai partai yang menjadi bagian dari Pemerintahan SBY, sikap oposisi merupakan salah satu bentuk dinamika demokrasi yang sehat. Sikap oposisi merupakan bagian dari proses demokrasi yang dibutuhkan rakyat didalam melihat dan mengawal kebijakan pemerientahan Jokowi. Cara ini lebih tepat dikategorikan sebagai oposisi yang bersuara kencang di parlemen. Posisi ini tidak perlu menggunakan istilah “oposisi kritis” maupun “oposisi loyal”.

Terhadap kebijakan Pemerintahan Jokowi yang baik tentu saja harus didukung. Sikap ini jamak dilihat dari berbagai sikap partai oposisi di berbagai Negara demokratis. Namun tidak perlu menggunakan istilah “oposisi kritis” atau “oposisi loyal” terhadap sikap oposisi yang mendukung kebijakan Jokowi.

Dalam dinamika politik kontemporer di Indonesia, istilah-istilah yang digunakan merupakan bentuk sikap ambigu dari partai-partai. Dengan menggunakan idiom “loyal” dan kritis”, partai-partai yang mengambil sikap berseberangan dengan pemerintahan tidak berani mengklaim menjadi oposisi. Sikap tidak berani justru akan merusak tatanan tradisi yang harus terus dikembangkan di alam demokrasi.

Justru menggunakan idiom “loyal atau kritis” akan mengaburkan posisi dan sikap politik. Peristiwa dan tafsiran politik kemudian menjadi ambigu. Rakyat akan sulit menangkap pesan dari sikap politik. Pesan politik menjadi kehilangan makna. Esensi pelajaran politik kemudian menjadi bias. Rakyat tidak mendapatkan pemahaman demokrasi dari sudut pandang yang berbeda (second opinion) dari partai oposisi. Dan itu adalah kerugian demokrasi yang harus diderita oleh partai untuk meraih dukungan untuk pemilu selanjutnya.