Kedatangan
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke istana memantik diskusi panjang. Dengan
menggunakan istilah “silahturahmi”,
PKS menemui Jokowi dan menyatakan mendukung program Pemerintah yang berpihak
kepada rakyat. Istilah yang digunakan adalah “oposisi loyal”.
Sebagai
Negara yang rajin memproduksi istilah, PKS menggunakan istilah “oposisi loyal” mengikuti istilah yang
digunakan Partai Golkar “oposisi kritis”.
Istilah “oposisi loyal” atau “oposisi Kritis” merupakan istilah yang
bermakna ganda dalam terminology ilmu politik dari kata “oposisi”.
Dalam
kamus Bahasa Indonesia, kata “oposisi” berasal dari istilah oposisi/opo·si·si/ partai penentang di dewan perwakilan
dan sebagainya yang menentang dan mengkritik pendapat atau kebijaksanaan
politik golongan yang berkuasa. Dalam praktek
pemerintahan paska Pemilu, oposisi sering disuarakan terhadap partai-partai
yang berkuasa di parlemen dan menjadi pihak yang sering menentang kebijakan
Negara. Dalam sistem pemerintahan, sikap ini penting sebagai bentuk control
dari partai terhadap kebijakan pemerintahan yang berkuasa.
Dimasa
pemerintahan SBY yang berkuasa 10 tahun, PDI-P mengambil sikap sebagai partai
oposisi. Mereka sering bersuara keras dalam setiap kebijakan Negara. Misalnya dalam
kebijakan Pemerintahan SBY dalam issu kenaikan BBM.
Dalam
Pemilu 2014, sebagai pemenang pemilu, PDIP mengambil sikap politik sebagai
partai pemerintah (The rulling party).
Sikap ini diambil setelah kembali terpilihnya Megawati Soekarno Putri sebagai
Ketua Umum DPP PDIP. Sikap ini sesuai dengan kemenangan PDIP yang berhasil
mengantarkan Jokowi sebagai Presiden.
Namun
Partai Golkar dan PKS yang selama 10 tahun di Pemerintahan SBY, paska pemilu
2014, kemudian menyampaikan sikapnya. Partai Golkar sebagai partai oposisi
kritis dan PKS sebagai partai oposisi loyal. Sikap politik sebagai representasi
oposisi kritis dan oposisi loyal merupakan tafsiran ambigu. Sebagai partai yang
menjadi bagian dari Pemerintahan SBY, sikap oposisi merupakan salah satu bentuk
dinamika demokrasi yang sehat. Sikap oposisi merupakan bagian dari proses
demokrasi yang dibutuhkan rakyat didalam melihat dan mengawal kebijakan
pemerientahan Jokowi. Cara ini lebih tepat dikategorikan sebagai oposisi yang
bersuara kencang di parlemen. Posisi ini tidak perlu menggunakan istilah “oposisi kritis” maupun “oposisi loyal”.
Terhadap
kebijakan Pemerintahan Jokowi yang baik tentu saja harus didukung. Sikap ini
jamak dilihat dari berbagai sikap partai oposisi di berbagai Negara demokratis.
Namun tidak perlu menggunakan istilah “oposisi
kritis” atau “oposisi loyal”
terhadap sikap oposisi yang mendukung kebijakan Jokowi.
Dalam
dinamika politik kontemporer di Indonesia, istilah-istilah yang digunakan
merupakan bentuk sikap ambigu dari partai-partai. Dengan menggunakan idiom “loyal” dan kritis”, partai-partai yang
mengambil sikap berseberangan dengan pemerintahan tidak berani mengklaim
menjadi oposisi. Sikap tidak berani justru akan merusak tatanan tradisi yang
harus terus dikembangkan di alam demokrasi.
Justru
menggunakan idiom “loyal atau kritis”
akan mengaburkan posisi dan sikap politik. Peristiwa dan tafsiran politik
kemudian menjadi ambigu. Rakyat akan sulit menangkap pesan dari sikap politik.
Pesan politik menjadi kehilangan makna. Esensi pelajaran politik kemudian
menjadi bias. Rakyat tidak mendapatkan pemahaman demokrasi dari sudut pandang
yang berbeda (second opinion) dari
partai oposisi. Dan itu adalah kerugian demokrasi yang harus diderita oleh
partai untuk meraih dukungan untuk pemilu selanjutnya.