18 Januari 2016

opini musri nauli : FH DAN KPK


Belum usai berita “bom” Thamrin, kita disuguhkan “perdebatan”  Fahri Hamzah (FH) ketika tim penyidik KPK melakukan “penggeledahan” ruang Fraksi PKS. FH “keberatan” terhadap upaya paksa penggeledahan tim penyidik yang disertai dengan Tim Brimob Polri didalam melakukan pengawalan.

Dari berita dan rekaman proses “perdebatan” antara FH dan Tim Penyidik KPK, ada beberapa peristiwa yang menarik untuk dilihat dari berbagai sudut. Tulisan ini membantu untuk memahami berbagai peristiwa agar dapat dijadikan pengetahuan menambah wawasan.

Dilihat dari rangkaian panjang pemeriksaan, Tim Penyidik KPK telah memeriksa ruangan DWP (PDIP), di Gedung Nusantara I Lantai 6 Nomor 0621, kemudian ke Ruang Fraksi Golkar di Lantai 13 Gedung Nusantara I, ruangan 1331   di ruangan anggota Komisi V Budi Supriyanto. Barulah Tim Penyidik menuju Yuddy Wididana Lantai 13. (Kronologis didapatkan dengan melihat konstruksi dari perjalanan waktu tim penyidik untuk melakukan upaya paksa “penggeledahan”).

Dengan melihat alur waktu, maka “pernyataan FH”, Tim penyidik melakukan upaya paksa sebelum ke ruangan Yuddy Wididana tidak “permisi” tidak tepat. Kedatangan Tim Penyidik KPK telah melalui prosedur biasa seperti ke Sekjen MPR, MKD dan berkomunikasi dengan Tim Hukum DPR. Sehingga kedatangan tim Penyidik KPK ke ruangan Yuddi Wididana telah diketahui oleh pihak yang berkepentingan di gedung DPR-MPR.

Belum lagi kedatangan FH ke ruangan setelah sholat Jumat. Padahal Tim Penyidik sudah bekerja dari jam 10 pagi. Dengan demikian, kedatangan Tim Penyidik KPK sudah diketahui oleh pihak DPR sejak pagi. Sebagai pimpinan DPR, FH sudah pasti mengetahui adanya tim penyidik yang menggeledah ruang DW dulu. Teknik “menggertak” tidak permisi kemudian terbantahkan.

Peristiwa kedua kemudian FH meminta surat penggeledahan. Setelah diperlihatkan surat penggeledahan, FH kemudian “mempersoalkan” tidak adanya penggeledahan di ruang Yuddi Wididana. FH keberatan kalimat “DW dan dkk” dijadikan dasar untuk “menggeledah”.

Mengenai materi ini bisa diuji apakah melanggar prosedur hukum acara KUHAP melalui praperadilan atau tidak.

Setelah “keukeuhnya” Tim penyidik KPK tidak keluar ruangan, FH kemudian mulai mempersoalkan penggunaan brimob dalam tugas “penggeledahan”. FH keberatan gedung anggota DPR dimasuki tim penyidik KPK yang dibantu “Tim Brimob”. FH berujar “dipermalukan” dan bisa merusak wibawa anggota DPR. Upaya yang serius dilakukan oleh FH agar dihormati masyarakat.

Dari pernyataan FH, FH kemudian mulai mempersoalkan substansi “Gedung” sebagai marwah negara berkonstitusi dan berdemokrasi. FH kemudian memperkuat pendapatnya dengan menyatakan adanya komitmen dengan Kapolri sebelumnya yang “Tidak dibenarkan” menggunakan senjata laras panjang ke gedung parlemen. Gedung parlemen merupakan bentuk kebebasan berpendapat tanpa dibayangi dengan ketakutan adanya senjata. Tidak lupa menambahkan tentang prinsip ini di berbagai negara demokrasinya.

Dalam konteks “Rapat-rapat” di parlemen, kebebasan berbicara merupakan salah satu bentuk ciri negara yang demokratis. Aparat keamananpun tidak dibenarkan “mengganggu” apalagi “menghentikan rapat-rapat”. Apalagi “petantang-petenteng” membawa senjata laras panjang.

Nah. Menjadi ukuran yang menarik, apakah tim penyidik KPK menggunakan “brimob” untuk mendukung upaya paksa penggeledahan atau berhadapan mekanisme pengamanan di DPR melalui  PAMDAL (mekanisme pengamanan di DPR) ?

Dengan melihat berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU No. 12 Tahun 1951, Perpu No. 20 Tahun 1960 ditambah peraturan terbaru seperti Perkap No. 1 Tahun 2009, SK No. 82 Tahun 2004. Dengan merujuk ketentuan yang mengatur tentang penggunaan senjata api sama sekali tidak diatur tentang larangan “Menggunakan senjata api di gedung parlemen. Justru Perkap No. 1 Tahun 2009 menyebutkan penggunaan senjata api memiliki dampak detertent/pencegahan sehingga upaya penggeledahan dapat dilakukan tanpa dihambat oleh siapapun.

Didalam empat prinsip HAM dalam penggunaan kekuatan proporsionalitas, legalitas, akuntabilitas dan nesesitas,Terhadap penilaian ini memang menjadi pertimbangan subyektif dari tim penyidik KPK “menggunakan brimob” didalam rangka mengamankan penggeledahan.

Menilik dari berbagai ketentuan dan penggunana personal brimob tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Termasuk menggunakan istilah HAM sebagai bentuk “pengingkaran” demokrasi di parlemen.

Sehingga kedatangan Tim Penyidik KPK kemudian tidak bisa diartikan lain “upaya paksa penggeledahan” didalam mengumpulkan barang bukti. Upaya yang harus didukung oleh segenap komponen bangsa didalam mengungkapkan “dugaan suap proyek jalan di Ambon”.

Setelah melihat periode panjang kedatangan tim penyidik KPK sebelum “perdebatan” dengan FH, maka menjadi mudah, bahasa yang digunakan FH, belum menemukan relevansi yang kuat dijadikan dasar “mempersoalkan” penggeledahan.

Lalu mengapa “perdebatan” FH dengan ketua Tim Penyidik begitu “keukeuh”.
Sebagai pilar demokrasi, FH diberi kewenangan sebagai Pimpinan DPR “Bicara UU”. 

Namun menjadi tidak pas, ketika FH tidak bersuara ketika ruangan “DW’ yang digeledah, FH tidak mengajukan keberatan.

Berbeda dengan Ketua Tim Penyidik. Dengan berbekal “informasi” dari tertangkapnya DW, penyidik KPK mempunyai kewenangan untuk “melihat jejak” dengan memeriksa ruangan seperti Budi (Partai Golkar) dan Yuddi Wididana (PKS). Dengan “mempercepat” penggeledahan, maka jejak korupsi tidak hilang ataupun terputus sehingga mata rantai “misteri” korupsi ini bisa diusut tuntas.

Kewenangan ini melekat sebagai bagian dari penyidik sehingga upaya apapun diminimalisir untuk dapat mengganggu proses hukum.

Namun berbeda dengan gaya khas Johan Budi “yang dibesarkan logikanya. Bukan suaranya”. Sebagai Tim Penyidik KPK, berbagai argumentasi yang dipaparkan dan dijelaskan cukup baik ternyata kemudian malah diladeni oleh FH dengan suara meninggi. Nah. Sebagai petugas di lapangan, “gertak sambal” tidak boleh termakan. Senjata “mengganggu/menghalangi penyidikan” dapat digunakan sebagai alternatif apabila upaya ini gagal dilakukan. Petugas di lapangan pasti mengetahui resiko dari kegagalan. Bukan semata-mata “conditie” dan “kegagalan” dalam tugas namun resiko terbesar, terputusnya mata rantai korupsi” yang kemudian akan menjadi “mainan” politik. Pengungkapan kasus-kasus dan “tebang kasus”. Dan itu akan berbahaya bagi penilaian publik terhadap KPK terutama terhadap pimpinan KPK yang belum seumur jagung.

Sehingga “gertakan” dengan suara meninggi justru “diladeni” namun dengan emosi tetap terkontrol. Setiap kata yang salah seperti “rumah saya” langsung disambar “ini rumah rakyat”. Bicara atas nama UU justru dilawan “saya juga bekerja atas nama UU.
Namun kemenanngan telak justru diraih oleh tim penyidik KPK. Saluran hukum seperti “anjuran menyampaikan keberatan melalui mekanisme resmi seperti keberatan kepada pimpinan KPK, “jalur praperadilan” sama sekali tidak digubris oleh FH. FH pasti berhitung selain prosesnya memakan waktu juga materi praperadilan akan menjadi bahan “kemenangan” bagi tim penyidik KPK.

Mari kita tunggu berbagai langkah KPK untuk membuktikan agar KPK tidak lembek, disetir oleh kekuasan. Dan tetap mendapatkan mandat untuk memberantas korupsi.