Belum
usai berita “bom” Thamrin, kita disuguhkan “perdebatan” Fahri Hamzah (FH) ketika tim penyidik KPK
melakukan “penggeledahan” ruang Fraksi PKS. FH “keberatan” terhadap upaya paksa
penggeledahan tim penyidik yang disertai dengan Tim Brimob Polri didalam
melakukan pengawalan.
Dari
berita dan rekaman proses “perdebatan” antara FH dan Tim Penyidik KPK, ada
beberapa peristiwa yang menarik untuk dilihat dari berbagai sudut. Tulisan ini
membantu untuk memahami berbagai peristiwa agar dapat dijadikan pengetahuan
menambah wawasan.
Dilihat
dari rangkaian panjang pemeriksaan, Tim Penyidik KPK telah memeriksa ruangan DWP
(PDIP), di Gedung Nusantara I Lantai 6 Nomor 0621, kemudian ke Ruang Fraksi
Golkar di Lantai 13 Gedung Nusantara I, ruangan 1331 di
ruangan anggota Komisi V Budi Supriyanto. Barulah Tim Penyidik menuju Yuddy
Wididana Lantai 13. (Kronologis didapatkan dengan melihat konstruksi dari
perjalanan waktu tim penyidik untuk melakukan upaya paksa “penggeledahan”).
Dengan
melihat alur waktu, maka “pernyataan FH”, Tim penyidik melakukan upaya paksa
sebelum ke ruangan Yuddy Wididana tidak “permisi” tidak tepat. Kedatangan Tim
Penyidik KPK telah melalui prosedur biasa seperti ke Sekjen MPR, MKD dan
berkomunikasi dengan Tim Hukum DPR. Sehingga kedatangan tim Penyidik KPK ke
ruangan Yuddi Wididana telah diketahui oleh pihak yang berkepentingan di gedung
DPR-MPR.
Belum
lagi kedatangan FH ke ruangan setelah sholat Jumat. Padahal Tim Penyidik sudah
bekerja dari jam 10 pagi. Dengan demikian, kedatangan Tim Penyidik KPK sudah
diketahui oleh pihak DPR sejak pagi. Sebagai pimpinan DPR, FH sudah pasti
mengetahui adanya tim penyidik yang menggeledah ruang DW dulu. Teknik “menggertak”
tidak permisi kemudian terbantahkan.
Peristiwa
kedua kemudian FH meminta surat penggeledahan. Setelah diperlihatkan surat
penggeledahan, FH kemudian “mempersoalkan” tidak adanya penggeledahan di ruang Yuddi
Wididana. FH keberatan kalimat “DW dan dkk” dijadikan dasar untuk “menggeledah”.
Mengenai
materi ini bisa diuji apakah melanggar prosedur hukum acara KUHAP melalui
praperadilan atau tidak.
Setelah
“keukeuhnya” Tim penyidik KPK tidak keluar ruangan, FH kemudian mulai
mempersoalkan penggunaan brimob dalam tugas “penggeledahan”. FH keberatan
gedung anggota DPR dimasuki tim penyidik KPK yang dibantu “Tim Brimob”. FH
berujar “dipermalukan” dan bisa merusak wibawa anggota DPR. Upaya yang serius
dilakukan oleh FH agar dihormati masyarakat.
Dari
pernyataan FH, FH kemudian mulai mempersoalkan substansi “Gedung” sebagai
marwah negara berkonstitusi dan berdemokrasi. FH kemudian memperkuat
pendapatnya dengan menyatakan adanya komitmen dengan Kapolri sebelumnya yang “Tidak
dibenarkan” menggunakan senjata laras panjang ke gedung parlemen. Gedung
parlemen merupakan bentuk kebebasan berpendapat tanpa dibayangi dengan
ketakutan adanya senjata. Tidak lupa menambahkan tentang prinsip ini di
berbagai negara demokrasinya.
Dalam
konteks “Rapat-rapat” di parlemen, kebebasan berbicara merupakan salah satu
bentuk ciri negara yang demokratis. Aparat keamananpun tidak dibenarkan “mengganggu”
apalagi “menghentikan rapat-rapat”. Apalagi “petantang-petenteng” membawa
senjata laras panjang.
Nah.
Menjadi ukuran yang menarik, apakah tim penyidik KPK menggunakan “brimob” untuk
mendukung upaya paksa penggeledahan atau berhadapan mekanisme pengamanan di DPR
melalui PAMDAL (mekanisme pengamanan di
DPR) ?
Dengan
melihat berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU No. 12 Tahun 1951,
Perpu No. 20 Tahun 1960 ditambah peraturan terbaru seperti Perkap No. 1 Tahun
2009, SK No. 82 Tahun 2004. Dengan merujuk ketentuan yang mengatur tentang
penggunaan senjata api sama sekali tidak diatur tentang larangan “Menggunakan
senjata api di gedung parlemen. Justru Perkap No. 1 Tahun 2009 menyebutkan
penggunaan senjata api memiliki dampak detertent/pencegahan sehingga upaya
penggeledahan dapat dilakukan tanpa dihambat oleh siapapun.
Didalam
empat prinsip HAM dalam penggunaan kekuatan proporsionalitas, legalitas,
akuntabilitas
dan nesesitas,Terhadap
penilaian ini memang menjadi pertimbangan subyektif dari tim penyidik KPK “menggunakan
brimob” didalam rangka mengamankan penggeledahan.
Menilik
dari berbagai ketentuan dan penggunana personal brimob tidak bertentangan
dengan peraturan yang berlaku. Termasuk menggunakan istilah HAM sebagai bentuk “pengingkaran”
demokrasi di parlemen.
Sehingga
kedatangan Tim Penyidik KPK kemudian tidak bisa diartikan lain “upaya paksa
penggeledahan” didalam mengumpulkan barang bukti. Upaya yang harus didukung
oleh segenap komponen bangsa didalam mengungkapkan “dugaan suap proyek jalan di
Ambon”.
Setelah
melihat periode panjang kedatangan tim penyidik KPK sebelum “perdebatan” dengan
FH, maka menjadi mudah, bahasa yang digunakan FH, belum menemukan relevansi yang
kuat dijadikan dasar “mempersoalkan” penggeledahan.
Lalu
mengapa “perdebatan” FH dengan ketua Tim Penyidik begitu “keukeuh”.
Sebagai
pilar demokrasi, FH diberi kewenangan sebagai Pimpinan DPR “Bicara UU”.
Namun
menjadi tidak pas, ketika FH tidak bersuara ketika ruangan “DW’ yang digeledah,
FH tidak mengajukan keberatan.
Berbeda
dengan Ketua Tim Penyidik. Dengan berbekal “informasi” dari tertangkapnya DW,
penyidik KPK mempunyai kewenangan untuk “melihat jejak” dengan memeriksa
ruangan seperti Budi (Partai Golkar) dan Yuddi Wididana (PKS). Dengan “mempercepat”
penggeledahan, maka jejak korupsi tidak hilang ataupun terputus sehingga mata
rantai “misteri” korupsi ini bisa diusut tuntas.
Kewenangan
ini melekat sebagai bagian dari penyidik sehingga upaya apapun diminimalisir
untuk dapat mengganggu proses hukum.
Namun
berbeda dengan gaya khas Johan Budi “yang
dibesarkan logikanya. Bukan suaranya”. Sebagai Tim Penyidik KPK, berbagai
argumentasi yang dipaparkan dan dijelaskan cukup baik ternyata kemudian malah
diladeni oleh FH dengan suara meninggi. Nah. Sebagai petugas di lapangan, “gertak
sambal” tidak boleh termakan. Senjata “mengganggu/menghalangi penyidikan” dapat
digunakan sebagai alternatif apabila upaya ini gagal dilakukan. Petugas di
lapangan pasti mengetahui resiko dari kegagalan. Bukan semata-mata “conditie”
dan “kegagalan” dalam tugas namun resiko terbesar, terputusnya mata rantai
korupsi” yang kemudian akan menjadi “mainan” politik. Pengungkapan kasus-kasus
dan “tebang kasus”. Dan itu akan berbahaya bagi penilaian publik terhadap KPK
terutama terhadap pimpinan KPK yang belum seumur jagung.
Sehingga
“gertakan” dengan suara meninggi justru “diladeni” namun dengan emosi tetap
terkontrol. Setiap kata yang salah seperti “rumah saya” langsung disambar “ini
rumah rakyat”. Bicara atas nama UU justru dilawan “saya juga bekerja atas nama
UU.
Namun
kemenanngan telak justru diraih oleh tim penyidik KPK. Saluran hukum seperti “anjuran
menyampaikan keberatan melalui mekanisme resmi seperti keberatan kepada
pimpinan KPK, “jalur praperadilan” sama sekali tidak digubris oleh FH. FH pasti
berhitung selain prosesnya memakan waktu juga materi praperadilan akan menjadi
bahan “kemenangan” bagi tim penyidik KPK.
Mari
kita tunggu berbagai langkah KPK untuk membuktikan agar KPK tidak lembek,
disetir oleh kekuasan. Dan tetap mendapatkan mandat untuk memberantas korupsi.