Memasuki
awal tahun, kita menyaksikan ditutupnya Sinar Harapan, salah satu media yang
menghiasi bacaan public sejak tahun 1961. Sinar Harapan tidak mampu lagi
“bersaing” dengan media massa lainnya sehingga tidak berhasil mendapatkan iklan
dan oplah untuk menutupi biaya produksi. Sinar Harapan mengikuti jejak harian
Bola (31 Oktober 2015) dan soccer yang tutup tahun 2014.
Di media internasional, majalah
Newsweek tutup tahun 2012 setelah terbit selama 80 tahun lebih. Newsweek
kemudian beralih ke online.
Bahkan The Washington Post, harus
dijual karena masalah finansial. Padahal The Washington Post melalui
investigasinya oleh Ben Bradlee, terkenal membongkar skandal Watergate sehingga
menggulingkan Presiden Richard Nixon. Hasil investigasi kemudian The Washington Post meraih Hadiah Pulitzer
pada 1974.
Penutupan
media cetak yang handal puluhan tetap menarik perhatian public. “Berkuasanya”
media electronic dan semakin massifnya media online ternyata “membuat’ media
cetak mulai berfikir untuk “bertahan”. Dengan kemajuan teknologi, berbagai
berita mudah diakses dengan satu kali “klik”. Kecepatan, keakuratan hingga kemudahan
akses mendapatkan berita, membuat media cetak kemudian harus “ikut” dalam
pertarungan media online.
Media
online kemudian didatangi pemain baru. Citizen journalism.
Namun
sebagai pemain baru, citizen journalism membuat kehadirannya “cukup
diperhitungkan. Dengan melaporkan peristiwa “langsung” dari lapangan, memotret
lebih dalam, reportase warga, hingga “rasa” peristiwa dari lapangan membuat
citizen journalism menjadi pemain yang cukup diperhitungkan. Belum lagi
berbagai media cetak dan elektronik yang menyiapkan kolom “citizen journalism”
membuat media mainstream memperhitungkannya.
Berbeda
dengan laporan jurnalistik oleh jurnalis, citizen journalism membuat berita
lebih renyah, ringan namun tetap dalam dari laporan lapangan. Dengan “hati’ dan
kedalaman reportase, citizen journalism membuat tulisan menjadi “bernyawa” dan
membumi. Pembaca “seakan-akan” berada di lokasi, merasakan “suasana” tulisan,
emosi yang terbangun membuat tulisan “tidak berjarak” dengan reportase. Belum
lagi kekaguman pembaca dengan “relawan” citizen journalism yang “menulis” tanpa
mengharapkan pamrih, menyediakan waktu, menggunakan fasilitas sederhana namun
tetap menggigit.
Tentu
kita masih ingat ketika terjadi Tsunami di Aceh ahun 2004 dari hasil ‘shooting’
dari seorang warga yang meliput datangnya tsunami dan masuk ke kota. Dari
kejauhan (shooting di teras lantai dua), setiap detail datangnya air laut
dengan jelas dipaparkan oleh hasil shooting. Hasil reportase
kemudian”mengalahkan” media nasional dan kemudian menjadi berita yang paling
heboh dan masyarakat melihat “betapa dahsyatnya” tsunami di Aceh. Atas
reportase, maka rakyat Indonesia kemudian “bersatu padu” memberikan dukungan
terhadap korban di Aceh.
Begitu
juga “penangkapan” Susno Duaji dibandara yang berhasil “direkam” oleh warga dan
kemudian dimuat di salah satu televisi nasional. Direkamnya proses penangkapan
Susno Duaji di televisi menjadi headline dan mengalahkan televisi yang lain.
Belum lagi berbagai liputan “langsung” dari warga berbagai musibah seperti pesawat jatuh, control public terhadap berbagai pelayanan hingga berbagai peristiwa lucu yang terjadi di tengah masyarakat.
Dengan
semakin “pentingnya” kehadiran citizen journalism, hampir setiap media
mainstream membuat acara khusus untuk menarik minat penonton. Ratingnya cukup
baik.
Kehadiran
“citizen journalism” tidak bisa dihindarkan sebagai bentuk “pelibatan” public dalam
setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Media mainstream tidak bisa
mengabaikannya. Bahkan media mainstream harus memperhitungkan kehadiran di
tengah semakin baiknya dukungan dari public untuk “terlibat” dalam peristiwa
dan semakin banyaknya ditutup media cetak.
Zaman
sudah berubah. Era digital “memakan korban’. Era digital membuat “dunia dalam
genggaman.
Siapa
yang mampu membaca tanda-tanda zaman maka akan bertahan. Sedangkan yang masih
bersikap konservatif dan “mencibir” kehadiran citizen journalism akan “terlindas”
oleh putaran zaman.