Itu pertanyaan yang selalu disampaikan mulai dari
kuliah (waktu kuliah sering mendaki gunung) hingga sekarang.
Berbeda dengan keluarga besar lainnya yang
menghabiskan waktu menyambut tahun baru di pesta keramaian lengkap dengna
mercon, petasan, kembang api hingga berbagai acara kesenian dan makanan kebun
(barbeque), saya memutuskan menghabiskan tahun baru di Gunung. Syukur2
menyambut tahun baru di puncak gunung bersama-sama dengan teman-teman yang rela
menempuh perjalanan panjang di gunung.
Alasan klise selalu disampaikan. Ada nuansa yang
berbeda menyambut tahun baru di Gunung. Alasan yang harus dipenuhi dengan
rencana detail, persiapan matang hingga berbagai perencanaan yang rapi
(manajemen perjalanan). Ya. Semuanya harus dihitung detail baik peralatan,
logistic, kesehatan, cuaca hingga berbagai informasi yang bisa mengganggu
apalagi bisa membatalkan rencana.
Persiapan utama tentu saja adalah peralatan.
Dimulai dari perlengkapan pribadi seperti sleeping bed (yang harus safety dari
ekstrem dingin di gunung, ringan dibawa), sepatu, topi/koplok/sebo, matras,
jaket, kaos kaki, sarung tangan, raincoat hingga pakaian yang tahan dari
dinginnya gunung. Semua peralatan harus “dichecking” ulang baik sebelum
keberangkatan hingga menjelang keberangkatan. Salah penilaian terhadap barang
hingga salah manajemen membuat pendakian gunung menjadi sebuah “derita”.
Barulah peralatan kelompok mulai diperhatikan.
Mulai dari tenda dom (tipis, kuat, ringan namun safety dari badai), senter,
alat memasak seperti nesting, kompor gas, umbul-umbul atau bendera. Kemudian
logistic seperti makanan utama (beras, makanan), roti, gula/kopi/teh, minuman
penyegar seperti “energen”, gula merah hingga makanan penguat stamina. Lama
perjalanan harus dihitung dengna peralatan dan banyaknya logistic. Salah
perhitungan menyebabkan “musibah” yang bisa merenggut nyawa.
Lalu apa enaknya menghabiskan tahun baru di gunung
? Jauh dari fasilitas modern (tidak ada signal HP, tidak bisa up to date
medsos, check email), makanan yang tidak mewah, tempat tidur beralaskan matras
hingga merasakan dinginnya gunung ?
Pertanyaan yang sulit dijawab dengan pikiran yang
belum merasakan “suasana gunung”.
Yang pasti, di gunung, kita merasakan “udara
bersih”. Udara yang belum tercemar polusi kendaraan. Suasana yang tenang. Dan
persahabatan yang kental. Ya. Di gunung tidak ada lagi “sandiwara”. Alam
menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Sandirawa yang sering tertutup dalam
keadaan sehari-hari.
Ada banyak alasan orang tidak bisa mendaki Gunung
1.
Waktu. Waktu
merupakan salah satu masalah terbesar untuk mengatur diri di gunung. Mendaki
gunung memang memerlukan waktu libur yang panjang. Minimal 1 minggu. Sehingga
libur panjang sering digunakan para pendaki untuk k gunung. Waku ideal yang
dipilih biasanya akhir tahun atau libur panjang pertengahan tahun.
2.
Tidak punya
peralatan. Ini merupakan salah alasan klasik orang tidak mau mendaki dengan
alasan tidak punya peralatan. Alasan ini bisa diatasi dengan cara meminjam
berbagai peralatan yang dipunya oleh pendaki yang pada waktu bersamaan tidak
mendaki.
3.
Tidak punya
teman untuk mendaki. Baik keluarga ataupun teman-teman yang selama ini mendaki,
ternyata tidak mendaki pada waktu yang diinginkan. Cara ini bisa diatasi dengan
menghubungi berbagai organisasi pecinta alam yang hampir ada di setiap daerah
pendakian. Hubungan emosional antara pendaki terjalin cukup baik sehingga
alasan ini bisa diatasi dengan cara menghubungi sebelum pendaki.
4.
Kesehatan. Ini
merupakan masalah yang paling sering dihadapi keinginan mendaki gunung namun “tersita”
oleh kesehatan. Ya. Mendaki gunung selain ditunjang stamina yang kuat juga
harus menjaga kesehatan. Penyakit seperti jantung, asma, paru-paru basah hingga
penyakit ketinggian akan mudah dihinggapi apabila kesehatan tidak menunjang
untuk pendakian.. Namun solusi selain rajin memeriksa kesehatan juga harus
memperhatikan kesehatan dan melihat kemampuan tubuh untuk menyesuaiakan cuaca
ekstrim di gunung.
Lalu mengapa selalu menikmati suasana gunung setiap
tahun padahal gunung yang didaki telah pernah didaki sebelumnya.
Berdasarkan pengalaman, keinginan mendaki merupakan
salah satu bentuk ekspresi “kegembiraan” setelah merasakan mudik. Dengan
mendaki, udara yang dihirup bersih menyebabkan badan segar memasuki awal tahun.
Selain itu keindahan di alam memang tidak bisa tergantikan dengan gambar-gambar
yang ada di dunia maya. Di gunung, keindahan akan terasa bermakna dan kita
selalu bersyukur terhadap keindahan sang Pencipta. Maka bisa dipastikan, orang
yang sering mendaki gunung, selalu merindukan keindahaan dan menghargai sang
pencipta. Sang pendaki selalu menghargai kehidupan, persahabatan, ramah dan
tentu saja senang bersenda gurau. Sebuah suasana yang tidak bisa ditemukan di
dunia modern sekalipun.
Keindahan di alam mengalahkan kesenangan terhadap
barang bermerk sekalipun. Bahkan keindahan di alam kemudian membuat hidup kita
menjadi berarti dan menatap optimis masa depan. Menghirup di udara selain
mengembalikan stamina dan kesehatan menjadi baik juga menghilangkan stress
menghadapi persoalan sehari-hari. Dengan mendaki, hidup dan kehidupan menjadi
berarti.
Sebuah pengalaman yang tidak bisa kita temukan di
kota modern dengan segala fasilitas apapun.