04 Januari 2016

opini musri nauli : Mengapa ke Gunung ?


Itu pertanyaan yang selalu disampaikan mulai dari kuliah (waktu kuliah sering mendaki gunung) hingga sekarang.

Berbeda dengan keluarga besar lainnya yang menghabiskan waktu menyambut tahun baru di pesta keramaian lengkap dengna mercon, petasan, kembang api hingga berbagai acara kesenian dan makanan kebun (barbeque), saya memutuskan menghabiskan tahun baru di Gunung. Syukur2 menyambut tahun baru di puncak gunung bersama-sama dengan teman-teman yang rela menempuh perjalanan panjang di gunung.

Alasan klise selalu disampaikan. Ada nuansa yang berbeda menyambut tahun baru di Gunung. Alasan yang harus dipenuhi dengan rencana detail, persiapan matang hingga berbagai perencanaan yang rapi (manajemen perjalanan). Ya. Semuanya harus dihitung detail baik peralatan, logistic, kesehatan, cuaca hingga berbagai informasi yang bisa mengganggu apalagi bisa membatalkan rencana.

Persiapan utama tentu saja adalah peralatan. Dimulai dari perlengkapan pribadi seperti sleeping bed (yang harus safety dari ekstrem dingin di gunung, ringan dibawa), sepatu, topi/koplok/sebo, matras, jaket, kaos kaki, sarung tangan, raincoat hingga pakaian yang tahan dari dinginnya gunung. Semua peralatan harus “dichecking” ulang baik sebelum keberangkatan hingga menjelang keberangkatan. Salah penilaian terhadap barang hingga salah manajemen membuat pendakian gunung menjadi sebuah “derita”.

Barulah peralatan kelompok mulai diperhatikan. Mulai dari tenda dom (tipis, kuat, ringan namun safety dari badai), senter, alat memasak seperti nesting, kompor gas, umbul-umbul atau bendera. Kemudian logistic seperti makanan utama (beras, makanan), roti, gula/kopi/teh, minuman penyegar seperti “energen”, gula merah hingga makanan penguat stamina. Lama perjalanan harus dihitung dengna peralatan dan banyaknya logistic. Salah perhitungan menyebabkan “musibah” yang bisa merenggut nyawa.

Lalu apa enaknya menghabiskan tahun baru di gunung ? Jauh dari fasilitas modern (tidak ada signal HP, tidak bisa up to date medsos, check email), makanan yang tidak mewah, tempat tidur beralaskan matras hingga merasakan dinginnya gunung ?

Pertanyaan yang sulit dijawab dengan pikiran yang belum merasakan “suasana gunung”.

Yang pasti, di gunung, kita merasakan “udara bersih”. Udara yang belum tercemar polusi kendaraan. Suasana yang tenang. Dan persahabatan yang kental. Ya. Di gunung tidak ada lagi “sandiwara”. Alam menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Sandirawa yang sering tertutup dalam keadaan sehari-hari.

Ada banyak alasan orang tidak bisa mendaki Gunung

1.   Waktu. Waktu merupakan salah satu masalah terbesar untuk mengatur diri di gunung. Mendaki gunung memang memerlukan waktu libur yang panjang. Minimal 1 minggu. Sehingga libur panjang sering digunakan para pendaki untuk k gunung. Waku ideal yang dipilih biasanya akhir tahun atau libur panjang pertengahan tahun.
2.   Tidak punya peralatan. Ini merupakan salah alasan klasik orang tidak mau mendaki dengan alasan tidak punya peralatan. Alasan ini bisa diatasi dengan cara meminjam berbagai peralatan yang dipunya oleh pendaki yang pada waktu bersamaan tidak mendaki.
3.   Tidak punya teman untuk mendaki. Baik keluarga ataupun teman-teman yang selama ini mendaki, ternyata tidak mendaki pada waktu yang diinginkan. Cara ini bisa diatasi dengan menghubungi berbagai organisasi pecinta alam yang hampir ada di setiap daerah pendakian. Hubungan emosional antara pendaki terjalin cukup baik sehingga alasan ini bisa diatasi dengan cara menghubungi sebelum pendaki.
4.   Kesehatan. Ini merupakan masalah yang paling sering dihadapi keinginan mendaki gunung namun “tersita” oleh kesehatan. Ya. Mendaki gunung selain ditunjang stamina yang kuat juga harus menjaga kesehatan. Penyakit seperti jantung, asma, paru-paru basah hingga penyakit ketinggian akan mudah dihinggapi apabila kesehatan tidak menunjang untuk pendakian.. Namun solusi selain rajin memeriksa kesehatan juga harus memperhatikan kesehatan dan melihat kemampuan tubuh untuk menyesuaiakan cuaca ekstrim di gunung.


Lalu mengapa selalu menikmati suasana gunung setiap tahun padahal gunung yang didaki telah pernah didaki sebelumnya.

Berdasarkan pengalaman, keinginan mendaki merupakan salah satu bentuk ekspresi “kegembiraan” setelah merasakan mudik. Dengan mendaki, udara yang dihirup bersih menyebabkan badan segar memasuki awal tahun. Selain itu keindahan di alam memang tidak bisa tergantikan dengan gambar-gambar yang ada di dunia maya. Di gunung, keindahan akan terasa bermakna dan kita selalu bersyukur terhadap keindahan sang Pencipta. Maka bisa dipastikan, orang yang sering mendaki gunung, selalu merindukan keindahaan dan menghargai sang pencipta. Sang pendaki selalu menghargai kehidupan, persahabatan, ramah dan tentu saja senang bersenda gurau. Sebuah suasana yang tidak bisa ditemukan di dunia modern sekalipun.

Keindahan di alam mengalahkan kesenangan terhadap barang bermerk sekalipun. Bahkan keindahan di alam kemudian membuat hidup kita menjadi berarti dan menatap optimis masa depan. Menghirup di udara selain mengembalikan stamina dan kesehatan menjadi baik juga menghilangkan stress menghadapi persoalan sehari-hari. Dengan mendaki, hidup dan kehidupan menjadi berarti.

Sebuah  pengalaman yang tidak bisa kita temukan di kota modern dengan segala fasilitas apapun.