Akhir-akhir ini
wacana tentang pribumi mewarnai wacana public. Isu “pribumi” merupakan isu
terakhir setelah sebelumnya isu “Indonesia asli” sempat mewarnai ketika
menjelang Pilpres 2014. Melengkapi dari isu “putra daerah” didalam berbagai
pilkada sejak awal reformasi. Isu Indonesia asli kemudian tenggelam mengikuti
jejaknya isu putra daerah.
Isu ini menarik
untuk didiskusikan sebagai wacana melihat bagaimana peraturan
perundang-undangan menempatkan menjadi pembahasan yang cukup serius. Terlepas
dari kepentingan pragmatis, ketiga isu ini harus diletakkan dalam bingkai untuk
mendiskusikan lebih jauh sehingga kebangsaan, keindonesiaan, keberagaman maupun
pluralism untuk masa depan.
Menjelang
awal-awal setelah reformasi, di Jambi isu “putra daerah” mewarnai diskursus
public. Baik didalam diskusi di tengah masyarakat maupun penggunaan isu putra
daerah kemudian dijadikan bahan kampanye menjelang Pilkada.
Namun isu ini
tidak mendapatkan tempat baik didalam peraturan perundang-undangan maupun
didalam memenangkan Pilkada.
Kemenangan dua
kali Walikota Jambi dan Kabupaten Tebo kemudian menihilkan. Publik kemudian
tidak menangkap isu ini menjadi mainstream.
Secara dewasa,
hasil pilkada Kotamadya Jambi (dua kali pilkada) maupun Tebo justru memenangkan
Kepala daerah dan mengalahkan nama-nama yang diusung yang dianggap sebagai
“putra daerah”. Dari ranah ini, maka dipastikan isu putra daerah bersuara di
ranah social namun tidak mendapatkan tempat di ranah politik.
Kecerdasan
pemilih Kotamadya Jambi dan Kabupaten Tebo haruslah ditangkap sebagai kemajuan
besar pemilih kedua daerah yang menempatkan “kemampuan” personal yang menjadi
ukuran didalam memilih.
Berbeda dengan
“putra daerah”, isu Bumi Putra dan Indonesia asli menjadi pembahasan cukup
serius didalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Belanda kemudian menempatkan pasal 131 Indische
Staatsregeling (IS) dan kemudian membagi
tiga golongan yaitu Eropa (Europeanen), Timur Asing (vreemde oosterlingen) dan Bumi putra
(inlander).
Didalam pasal 131 ayat (1) IS disebutkan “Hukum
Perdata dan Hukum Dagang serta Hukum Pidana demikian juga Hukum Acara Perdata
dan Hukum Acara Pidana diatur dengan Ordonat”. Sedangkan pasal 131 ayat 2
IS menyebutkan “Dalam ordonantie yang
mengatur Hukum Perdata dan Hukum Dagang untuk orang-orang Eropa diikuti dengan
undang-undang yang berlaku di negeri Belanda”.
Dengan demikian maka Bagi golongan Eropa dan
yang dipersamakan berlaku dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang
diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat berdasar asas konkordansi..
Sedangkan Bagi golongan Bumi Putera dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat
mereka. Dan Bagi golongan Timur Asing berlaku hukum mereka masing-masing,
dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing diperbolehkan untuk
menundukkan diri kepada Hukum Eropa/Barat.
Mekanisme ini juga mengenal penundukan
(pilihan hukum) yang diatur didalam Staatblad 1917 No. 12 yaitu Tunduk secara
sukarela kepada seluruh Hukum Perdata Eropa atau Tunduk secara sukarela kepada
sebagian Hukum Perdata Eropa dan Tunduk
secara sukarela kepada Hukum Perdata Eropa untuk suatu perbuatan hukum
tertentu.
Penghapusan penggolongan penduduk kemudian
dapat dilihat didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) konstitusi. Begitu
juga diatur didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk
Negara, UU No. 62 Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan. Selain itu dapat dilihat didalam UU No. 26 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan.
Sedangkan kata “Indonesia asli” dapat dijumpai didalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 (sebelum diamandemen). Didalam pasal 6
ayat (1) kemudian disebutkan “Presiden
ialah orang Indonesia asli”. Ketentuan ini kemudian mengalami perubahan didalam
amandemen ketiga yang kemudian menyebutkan “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga
negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu
secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden.
Begitu juga kata “Indonesia
asli” mengenai kategori warganegara yang disebutkan didalam pasal 6
konstitusi (sebelum amandemen) “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Makna ini masih termaktub jelas didalam UUD 1945 setelah diamandemen.
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
“pribumi” mengandung makna “penghuni asli
yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Dengan demikian maka makna
pribumi kemudian dapat merujuk kepada “penduduk asli’ yang kemudian menempati
daerah yang cukup lama. Makna ini lebih “moderat” dengan kata “pribumi” sebenarnya
merupakan definisi yang diberikan colonial belanda didalam melakukan penafsiran
“inlander”.
Lalu siapakah penghuni asli yang mendiami
tempat dengan jangka waktu yang lama ?. Apakah kita mau mengikuti teori migrasi
penduduk pada masa sebelum manusia modern (homo erectus) sekitar 1,5 – 1,7 juta
tahun yang lalu yang berasal dari Afrika ? Atau masa gelombang kedua pada masa
“homo sapiens” pada masa 100 ribu tahun yang lalu ? Atau masa Melayu-austronesia”
sekitar 5 ribu tahun yang lalu yang datang dengan teknologi cukup maju
dengan “kano bercadik dua” yang kemudian juga dikenal sebagai “proto Melayu” ?
Kita juga tidak dapat memungkiri tentang
kedatangan “deutro Melayu” yang sudah membawa berbagai teknologi seperti
perairan, bertani, mengenal musim dan berbagai teknologi lainnya seperti
ukiran.
Padahal kita juga tidak mengabaikan tentang
kedatangan pedagang dari Tibet, India yang sudah membawa teknologi seperti
perunggu, aksara dan agama.
Belum lagi kedatangan Arab, Persia, Turki
pada abad 7 masehi dan perdagangan semakin berkembang sejak abad XIII hingga
abad abad XVII. Setiap jejak dari setiap kedatangan manusia dunia ke Indonesia
masih ditemukan di berbagai tempat.
Mengikuti makna “penghuni asli” maka
dipastikan seluruhnya sudah menjadi bagian dari penduduk yang “bermukim” lama
di Indonesia.
Selain itu juga makna “pribumi” sebagai
definisi yang diberikan colonial Belanda dan menempatkan menjadi warganegara
kelas tiga sudah dihapuskan oleh berbagai peraturan perundang-undangan.
Apakah relevan masih “mempertanyakan” makna
“pribumi” dalam konteks setelah Indonesia merdeka. Apakah kita masih “paranoid”
dengan pemikiran yang ditinggalkan oleh colonial Belanda ?
Padahal makna ini kemudian sudah ditegaskan
ketika didalam “Poetoesan Congres
Pemoeda-Pemoedi Indonesia” tahun 1928 yang kemudian berikrar dengan
menggunakan kata “Pemoeda-Pemoedi
Indonesia”. Kata “Pemoeda-Pemoedi Indonesia” kemudian
mengelimir “pribumi”.
Sudah sepantasnya kemudian merujuk kepada
pasal 26 konstitusi kemudian kita berikrar. Warga Negara Indonesia.
Baca : Inlander
Data-data dari berbagai sumber.
Dimuat di www.jambiposonline.com, tanggal 1 April 2017.
http://www.jambipos-online.com/2017/04/pribumi-bumi-putra-indonesia-asli-dan.html
Dimuat di www.jambiposonline.com, tanggal 1 April 2017.
http://www.jambipos-online.com/2017/04/pribumi-bumi-putra-indonesia-asli-dan.html