Perjalanan Betuah yang dilakukan oleh Al Haris kemudian mampir di Semurup, Kerinci.
Membicarakan Semurup tidak dapat dipisahkan dari tradisi seremonial seperti “mandi balimau”, “kenduri sko” dan air hangat Semurup dan “kawin sumbang”.
Sebelum membicarakan ““mandi balimau”, “kenduri sko” dan air hangat Semurup”, tidak dapat dipungkiri Semurup tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kerinci.
Dari tutur yang berkembang ditengah masyarakat, Sejarah Kerinci kemudian dikenal sebagai wilayah Depati Ninik Mamak yang disebut dengan “ajun arah”.
Istilah “ajun arah” pernah disampaikan dalam kesempatan terpisah ketika Al Haris bertemu dengan Pemimpin adat di Lembaga Adat Melayu Provinsi Jambi.
Istilah “ajun” dan “arah” lebih mudah ditemukan didalam masyarakat Serampas. Didalam Peraturan Daerah Kabupaten Merangin Nomor 8 Tahun 2016, istilah “ajun” dan “arah” menunjukkan proses pemanfaatan tanah.
Tanah Ajun dan “tanah arah” didapatkan setelah ditunjuk berdasarkan hukum adat. Maka tanah kemudian yang telah “ditunjuk” berdasarkan arah telah ditentukan berdasarkan fungsinya. Baik fungsi produksi, fungsi lindung maupun fungsi konservasi.
“Tanah Ajun“ yang telah “tanah arah” tidak dapat berpindah fungsinya. Apabila fungsinya lindung maka tidak dapat digantikan ataupun diubah menjadi fungsi produksi. Begitu juga apabila fungsinya adalah konservansi maka tidak dapat diubah menjadi produksi. Demikian seterusnya.
Pemberian tanah berdasarkan “tanah ajun” dan “tanah arah” adalah memperhatikan ekosistem sekitarnya. Sehingga pemberian tanah berdasarkan “ajun-arah” dapat dikatakan memperhatikan “ulu aik” dan “ngarai” (Pasal 13 ayat (1) Perda No. 8/2016).
Secara umum istilah “ajun-arah” adalah “petunjuk ataupun tuntutan dari para tokoh-tokoh adat didalam memulai kehidupan barunya. Para kepala baru yang hendak memulai kehidupan barunya, memerlukan tuntutan dari tokoh-tokoh adat untuk dapat berladang ataupun kehidupan pertanian didesanya.
Pemberian “ajun-arah” dari tokoh adat diharapkan “tanah” yang diberikan dapat digunakan untuk kehidupannya. Sehingga tidak salah pilih tanah yang diberikan.
Wilayah Depati Ninik Mamak yang dikenal sebagai “ajun arah” kemudian mengenal struktur seperti (1). Depati Empat Pemangku Lima Helai Kain. Berpusat di Rawang. (2). Depati Empat Helai kain berpusat di Pulau Sangkar. (3). Pegawe Rajo Pegawe Jenang Suluh Bindang Alam Kerinci. Berpusat di Sungai Penuh. (4). Siliring Panjang (Kelambu Rajo). Berpusat di Lolo. Tigo Luhak Tanah Sekudung di Siulak. Dan Lekuk Lima Puluh Tumbi. Berpusat di Lempur.
Sedangkan cerita yang dituturkan di Semurup dikenal Ninek Ajo yang bernamo Sungadu Dubalang. Mempunyai saudari tiga urang. Nenek Besi. Nenek Suri dan Nenek Baik.
Nenek Ajo yang kemudian bernamo Sangadu Dubalang Rajo Simpan Bumi mempunyai anak. Ajo Tingkih. Ajo Masiah dan nenek Pelatik.
Dalam struktur Semurup mempunyai Luhak Nan Tigo.
Luhak Depati Rajo Simpan Bumi Banamo (anak Jantan). Bertugas untuk memegang Syara’ dan seloko Masjid yang memuncak.
Luhak Depati Kepalo SEmbah (Luhak Anak Betino). Bertugas memegangkan adat. Sebagai seloko “Balai Adat Yang Menyanjung”.
Luhak Depati Mudo. Yang bertugas memegang Undang-undang uteh bateh. Bertugas menjaga wilayah sebagaimana seloko “Lapangan yang menghijau.
Selain itu juga dikenal Depati Semurup Limo Beradik. Yang terdiri dari Depati Semurup Tuo. Depati Semurup Tanah Pilih. Depati Semurup Putih. Depati Semurup Anggonalo dan Depati Semurup Aur Malilo.
Tradisi “mandi balimau”, kenduri sko masih rutin dilaksanakan.
Namun yang unik adalah tradisi “dendo kawin sumbang”. Dimana nikah sumbang adalah pernikahan yang terjadi antara anak perempuan dengan pamannya.
Setelah kedua belah setuju untuk melaksanakan pernikahan namun sebelum dilaksanakan maka adanya “dendo”. Atau “sanksi adat”.
Ninik mamak meminta “dendo” adat kepada saudara mempelai laki-laki dengan cara memakai baju adat, memakai keris dan pedang ninik mamak. Ninik mamak menagih didepan rumah mempelai perempuan.
Pihak laki-laki meminta maaf serta memberikan ganti rugi ataupun “dendo adat’.
Cerita “dendo kawin sumbang” juga dikenal Marga Pangkalan Jambu (Merangin). Dengan istilah “Mewali (memutuskan).
Sebagai “mewali)”, maka paman adalah “sebagai wali”. Maka apabila paman kemudian menikah dengan anak perempuannya maka kemudian dijatuhi sanksi adat.
Di beberapa tempat juga dikenal pelarangan ini. Dengan istilah “purbo sikso”.
Walaupun kemudian dilaksanakan perkawinan, maka dapat dijatuhi sanksi adat berupa “kambing sekok. Beras 20, selemak semanis”.
Sanksi begitu tegas. Sehingga terhadap sanksi yang dijatuhkan ternyata tidak dibayar oleh keluarga besar (kalbu/guguk/kaum), maka terhadap seluruh prosesi perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Kepala Dusun begitu berfungsi sehingga prosesi perkawinan yang tidak dapat dilaksanakan dengan istilah “tidak diulur antar’. Terhadap proses perkawinan yang kemudian tidak dilaksanakan, maka prosesi perkawinan tidak dapat dilaksanakan di dusun (Birun, Pangkalan Jambu, 7 Agustus 2016).
Semurup juga dikenal sebagai bagian dari Pemerintah Belanda. Pusat pemerintahan Onder Distrik Kerinci Hulu.
Semurup yang terkenal sebagai “air hangat” juga dikenal para pencinta alam. Sebagai salah “ritual” perjalanan setelah mendaki Gunung Kerinci. Ritual yang harus dijalani.
Sehingga mendatangi Semurup dalam “roadshow”, merupakan ritual dalam perjalanan Betuah.
Pencarian terkait : Musri Nauli, Jambi dalam Hukum, Hukum Adat Jambi, Opini Musri Nauli
Opini dapat dibaca : www.musri-nauli.blogspot.com