26 April 2021

opini musri nauli : Belajar dari Riau (2)



Sebagai daerah yang tidak boleh dibuka, masyarakat tetap berhak untuk akses terhadap kekayaan di daerah tersebut. Baik hasil-hasil seperti jelutung, ikan ataupun hasil-hasil lainnya.

Didalam tradisi membuka kawasan untuk pertanian atau perkebunan dikenal melalui berbagai tahap. Kawasan diutamakan untuk masyarakat Desa. Masyarakat kemudian berkumpul dan membentuk kelompok (Desa Nipah Sendanu, Desa Bandar Jaya) atau rombongan (Desa Tanjung Sari). Masyarakat hanya dibenarkan untuk membuka seluas 2 hektar.


Bandingkan di Jambi dikenal Bidang. Setiap kepala keluarga yang hendak membuka hutan harus seizin dari Kepala Desa.  Setiap Kepala Keluarga hanya dibenarkan untuk membuka sebanyak 32 depo x 200 depo. Satu depo sama dengan 1,7 meter.


Setiap proses membuka lahan harus seizin Kepala Desa (Desa Tanjung Damai). Sedangkan tahap untuk membuka lahan dengan izin pemangku adat dikenal dengan istilah  “Pancung alas’.


Sedangkan tahap selanjutnya, setiap pemilik tanah kemudian membersihkan lahan dengan “ditebas” (Desa Lukun) atau “tebang/tebas” (Desa Tanjung Sari) atau “imas tumbang” (Desa Bandar Jaya).  


Selanjutnya diharuskan membuat “tapal batas atau sepadan” (Desa Tanjung Damai) atau “pancang” (Desa Sungai Linau) atau “parit dan patok” (Desa Sungai Tohor).


Sedangkan di Jambi dikenal dengan istilah “Mentaro”. Selain membuat batas (mentaro)  juga ditanami seperti pinang, jelutung ataupun tanaman yang dapat dipergunakan dan dinikmati hasilnya oleh masyarakat.


Setelah ditebas lahan, maka masyarakat menanam tanaman Karet, Kelapa, Sagu, Pinang (Desa Lukun). Sedangkan di Jambi, mengenal “peumoan” yang ditanami padi lokal. “Tanah peumoan” tidak boleh dikonversi ke lahan perkebunan. Cara ini juga dikenal di Riau.


Setelah ditentukan “tanah peumoan”, maka kemudian barulah ditentukan areal yang dipergunakan untuk perkebunan yang ditanami seperti kopi, coklat, kelapa atau pinang.


Didalam menyelesaikan perselisihan berkaitan pengelolaan gambut maka terhadap pemilik tanah yang tidak dikerjakan selama waktu tertentu maka hak terhadap tanah kemudian menjadi hapus. 3 tahun (Desa Tanjung Damai, Desa Nipah Sendanu, Desa Lukun, Desa Tanjung Sari, Desa Bandar Jaya) atau 5 Tahun (Desa Sungai Tohor).


Tanah kemudian kembali ke Desa. Dan pemilik tanah tidak dibenarkan lagi untuk membuka lahan. Bahkan di Desa Tanjung Sari, pemilik tanah justru dikeluarkan baik dari Kelompok tani maupun dari Desa. Di Jambi mekanisme ini dikenal ”larangan krenggo”.  


Yang menarik adalah tanaman sagu. Sagu merupakan komoditi utama masyarakat di Sungai Tohor. Dengan sagu selain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat juga diekspor keluar daerah. Dengan menanami sagu, masyarakat berkepentingan untuk menjaga kawasan gambut agar sagu tidak hancur.


Melihat nilai-nilai yang dilakukan oleh masyarakat di Riau maka nilai serupa juga ditemukan di Jambi. Sehingga tidak salah kemudian seloko “adat sama pemakai beda” atau “Adat datar, pemakaian bebeda”. Cara perlakuan gambut sudah lama dilakukan di masyarakat gambut.


Baca juga : gambut dari pendekatan etnografi 



Advokat. Tinggal di Jambi