14 April 2021

opini musri nauli : Hukum Tanah (4)


Beberapa waktu yang lalu, perdebatan tentang pengaturan hukum tanah berhimpitan dengan UU Kehutanan memantik diskusi panjang. 

Secara tegas limitatif, maka pengaturan tentang berkaitan dengan tanah diatur didalam UU No. 5 Tahun 1960. Pasal 16 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan “hak-hak atas tanah” terdiri dari hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain. 


Sedangkan pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 menyebutkan “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sedangkan 20 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1960 menjelaskan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.


Dengan menempatkan hak milik sebagai “hak terkuat dan terpenuh” sebagaimana diatur didalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 maka hak milik harus ditempatkan sebagai hak yang harus dihormati. 


Bambang Eko Supriyadi didalam bukunya “Hukum Agraria Kehutanan” menyebutkan “Hak milik atas tanah adalah hak untuk memperlakukan suatu benda (tanah) sebagai kepunyaan sendiri dengan beberapa pembatasan. 


Hak untuk memperlakukan sebagai kepunyaannya itu meliputi hak untuk memperoleh hasil sepenuhnya dari tanah dan pula hak untuk mempergunakan tanah itu seolah-olah pemegang hak itu pemiliknya, yang berarti ia boleh menjual, menggadaikan, atau menghibahkan tanah itu kepada orang lain. 


Adapun pembatasan-pembatasan tersebut berkaitan dengan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, baik yang bersifat nasional maupun ketentuan hukum adat dan kewajiban untuk menghormati kepentingan orang lain”. 


Pertanyaan hukum adalah apakah hak milik didalam Kawasan hutan menyebabkan haknya menjadi hilang. 


Membicarakan Kawasan hutan tidak dapat terlepas dari UU No. 5 Tahun 1960. Didalam UU No. 5 Tahun 1960, hak atas tanah ditempatkan sebagai “hutan hak”.


Putusan MK nomor : 35/PUU-X/2012 (Putusan MK No. 35) dengan tegas menyebutkan “Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak”, diubah menjadi “Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak termasuk hutan adat”. 


Namun terhadap status hutan negara yang kemudian dikeluarkan menjadi hutan hak sebagaimana didalam rumusan Putusan MK No. 35 maka harus diproses. 


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan  Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 (Permen LHK No. P.83/2016) telah membuka ruang untuk pengaturannya. 


Sebagaimana mandat putusan MK No. 35 yang kemudian diturunkan didalam Permen LHK No. P.83/ 2016 maka hutan hak terdiri dari hak atas tanah didalam Kawasan hutan dan hutan adat. 


Berdasarkan mandat Putusan MK No. 35 dan Permen LHK No. P.83/2016 maka proses terhadap pengajuan hutan hak haruslah dikeluarkan dari Kawasan hutan negara. 


Sehingga setiap kepemilikan tanah didalam Kawasan hutan tetap mengacu kepada proses pengajuan berdasarkan Permen LHK No. P.83/2016. 


Selama proses belum diajukan, maka pemilik tanah tidak dapat melakukan perbuatan untuk “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”. 


Didalam pasal Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun 1999 ditegaskan “Setiap orang dilarang menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. 


Sedangkan terhadap kejahatan terhadap pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun ditegaskan didalam Pasal 78 ayat (5) UU No. 41 Tahun 1999 ditegaskan “Setiap orang dilarang menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. 


Sehingga melakukan perbuatan untuk “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”, hak yang telah diatur didalam Pasal 20 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1960 namun ternyata termasuk kedalam Kawasan hutan, sementara sang pemilik tanah tidak mengajukan haknya sebagaimana diatur didalam Putusan MK No. 35 Tahun 2012 dan Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 maka dapat dikenakan perbuatan pidana sebagaimana diatur didalam Pasal 50 ayat (3) huruf f UU No. 41 Tahun ditegaskan didalam Pasal 78 ayat (5) UU No. 41 Tahun 1999.