18 April 2021

opini musri nauli : Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan (2)

Beberapa waktu yang lalu, ketika pandemik corona menimpa Indonesia, dunia hukum juga mengalami revolusi. 

Persidangan yang semula dilakukan secara biasa dan konvensional mengalami perubahan. Mahkamah Agung (MA) menerbitkan aturan terkait administrasi. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020.


Dunia hukum kemudian mengalami revolusi total. Persidangan yang semula dilakukan secara biasa dan konvensional mengalami perubahan.


Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 4 Tahun 2020 kemudian membuka ruang untuk dilakukan persidangan secara daring dan online. 


Tema persidangan secara daring dan online mengingatkan tulisan “Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan”,  tanggal 5 Juli 2002. 


Sehingga tidak salah kemudian, mengingatkan tema Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan”,  tanggal 5 Juli 2002 maka pada kali, judul diberikan “Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan (2)”


Tema “Teleconference” belum begitu familiar dikalangan praktisi hukum. Tema ini juga mampu mengernyitkan dahi para praktisi hukum yang sudah terbiasa dengan persidangan biasa dan konvensional. 


Sebenarnya, tanpa datangnya pandemik corona menimpa Indonesia, MA telah menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 (Perma No. 3 Tahun 2018). Perma No. 3 Tahun 2018 mengatur tentang administrasi Perkara secara elektronik di Pengadilan. 


Selama 2 tahun setelah ditetapkan Perma No. 3 Tahun 2018, berbagai sosialisasi terus dilakukan. Entah berapa kali, saya menghadiri sosialisasi Perma No. 3 Tahun 2018. 


Namun Perma No. 3 Tahun 2018 kemudian banyak dibaca sebagai perkara yang berkaitan dengan Perdata. Sehingga belum membuka ruang untuk persidangan diluar perdata. 


Selain itu Perma hanya mengatur Administrasi Perkara di Pengadilan. Menggunakan fasilitas e-mail. Sehingga fasilitas electronik adalah kelumrahan sejak 2018. 


Tema “Teleconference dan Pemeriksaan saksi di Pengadilan” dituliskan ketika dilakukan pemeriksaan saksi melalui “Teleconference”. 


Pada saat itu, dunia hukum “di-heboh-kan” dengan diselenggarakan pemeriksaan saksi Presiden B. J. Habibie melalui teknologi konferensi jarak jauh (teleconference) dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ke Kantor Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Hamburg, Jerman. 


Pemeriksaan dengan menggunakan teknologi yang menghubungkan ribuan kilometer ini menimbulkan perdebatan di kalangan ahli hukum. 


Lagi-lagi dunia hukum menimbulkan kegegeran dan memancing reaksi pro dan kontra tentang keabsahan pemeriksaan tersebut. 


Didalam KUHAP sendiri terutama pasal 162 KUHAP “Jika saksi sesudah memberikan keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena halangan yang sah tidak dapat hadir di sidang atau tidak dipanggil karena jauh tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan dengan kepentingan negara, maka keterangan yang telah diberikan itu dibacakan”. 


Maka berdasarkan ketentuan pasal 162 KUHAP ini apabila diperhatikan kepada panggilan terhadap Presiden Habibie tidak terpenuhi. 


Presiden Habibie sendiri masih hidup bertempat tinggal di Jakarta dan alasan yang digunakan bahwa Presiden Habibie tidak bisa meninggal Jerman karena sakit istrinya. 


Apabila kita perhatikan ketentuan pasal 162 KUHAP tersebut, maka terhadap Presiden Habibie tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat sebagaimana diatur didalam Pasal 162 KUHAP sehingga Berita Acara Pemeriksaan di tingkat Penyidik harus dibacakan. Artinya secara hukum Habibie harus datang ke Jakarta dan memberikan keterangan di muka persidangan. 


Alasan inilah yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Perkara ini. Namun Hakim ternyata berpendapat lain. 


Dengan alasan kemanusiaan Presiden Habibie tidak dapat meninggalkan Jerman karena mendampingi istrinya yang sakit, dan tentunya tidak menghilangkan prinsip hukum pidana yang bertujuan mencari kebenaran materiil, artinya kebenaran yang sebenar-benarnya, maka langkah Majelis Hakim tersebut luar biasa dan melakukan terobosan yang baru didalam praktek hukum acara pidana di Indonesia. 


Langkah ini kemudian menimbulkan reaksi yang beragam di tengah masyararakat. Harkrisnatuti dan Ahmad Ali menolak langkah tersebut dengan alasan tidak mempunyai dasar hukum. 


Bersambung