Pengucapan Rajo adalah dialek bahasa Melayu Jambi dari kata “Raja”.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata Raja diartikan sebagai penguasa tertinggi dari suatu negara. Didapatkan dari turun temurun. Raja adalah orang yang mengepalai dan memerintah suatu bangsa dan negara. Raja dapat juga diumpamakan sebagai sultan atau Kepala Daerah istimewa. Dapat juga kepala suku.
Sebutan raja juga ditujukan kepada suatu penguasa tertinggi dari kerajaan. Atau orang yang besar kuasanya (pengaruhnya di suatu Lingkungan atau Perusahaan). Raja juga ditandai dengan mempunyai keistimewaan khusus. Dalam permainan catur, Raja adalah buah Catur yang penting.
Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936 menyebutkan “ Kisah tentang Kerajaan Jambi dengan daerah hulu Jambi dapat dilihat seruan Raja Jambi untuk penduduk Sungai Tenang, Serampas dan Kerinci. Menurut Residen Bengkulu didalam surat rahasianya tertanggal 6 Februari tahun 1919, daerah Sungai Tenang dan Serampas lebih baik dijalin hubungan dagang dari Jambi. Penduduk di Sungai Tenang dan Serampas terkenal menguasai ilmu gaib seperti kebal.
Istilah “Renah” adalah tempat peristirahatan Raja yang dikenal di Desa Guguk (Marga Renah Pembarap). Begitu juga istilah “Pemayung” adalah orang yang dipercayai oleh Kerajaan untuk “memayungi sang Raja.
Di Marga Batin III ilir dikenal tempat “Nunggu Rajo’. Tempat “Nunggu Rajo” adalah
pelabuhan yang biasa disinggahi oleh Raja dari Jambi. Tempat ini terletak Sungai
yang membentang antara Dusun T anjung Gedang dengan Dusun Tanjung Menanti.
Sebagai keturunan dari Kerajaan Jambi, masih dikenal gelar seperti “Raden, kemas atau Nyimas’.
Berbagai pantun sering menyebutkan “Tiada menolak sembah raja. Raja adil- Raja disembah. Raja Lalim-Raja disanggah”.
Seloko seperti “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.
Pengucapan Rajo sering dilekatkan kepada bentuk penghormatan. Berbagai seloko seperti “Alam Sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” Atau Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Begitu agung dan dihormati pemimpin, masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap perkataan dari pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin sebagai bentuk pemimpin yang dihormati.
Mereka “menyerahkan” hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.
Atau pengucapan “Rajo” sering dilekatkan dengan “datuk, Nenek, tumenggung, Pangeran, Depati” yang menunjukkan keragaman asal keturunan masyarakat di Jambi. Kata- kata seperti Syech dan Sutan melambangkan masyarakat yang mengaku keturunan dari Arab/Turki atau Jawa mataram. Sedangkan Datuk, Rajo, Pangeran, nenek maupun tumenggung merupakan bentuk masyarakat yang mengaku dari “puyang” sebelum masuknya agama islam. Jauh kedatangan “puyang” mereka sebelum kedatangan penyebaran Islam.
Di Marga Jujuhan mengaku Sejarah “Puyang” berasal dari tutur yang dikenal “Raja gagak hitam. Raja Gagak kemudian mempunyai keturunan yang dikenal Tapak Malenggang, Tapak Tembaga dan Tapak Kudung. Tempat ini dikenal sebagai Putra Angek Garang sebagai Raja Pagaruyung.