21 Juni 2021

opini musri nauli : Kritik, memfitnah dan menghina

 

Akhir-akhiri ini tema UU ITE menarik perhatian masyarakat. Berbagai kasus yang menggunakan UU ITE menjadi polemik. 


Namun apabila kita telisik lebih jauh, menempatkan UU ITE dalam dimensi kasus-kasus yang “dianggap” mengkritik Kebijakan seringkali bercampurbaur dengan “memfitnah” dan menghina. 

Untuk menjernihkan dan menangkap dari peristiwa, ada baiknya kita sejenak untuk melihat lebih jauh. 


Menurut kamus Bahasa Indonesia, arti kata kritik adalah kecaman, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya atau pendapat. 


Sehingga disebutkan sebagai mengkritik adalah memberikan argumentasi yang disertai dengan uraian. Baik dari pendekatan yang merugikan kepada kepentingan publik maupun dukungan terhadap kebijakan negara. 


Tentu saja berlandasarkan kepada karya atau pendapat yang kaya dengan data dan dokumen pendukung. 


Kritik yang disampaikan dengna argumentasi yang lugas, tegas dan cenderung untuk mengoreksi kesalahan kebijakan sering disebutkan dengan “kritik pedas”. 


Sedangkan memfitnah berasal dari kata “fitnah”. Didalam kamus Besar Bahasa Indonesia, fitnah diartikan sebagai perkataan bohong yang disebabkan dengan maksud menjelekkan orang lain. Dengan cara menodai nama baik ataupun merugikan kehormatan orang. 


Kata “menghina” berasal dari kata “hina”. Didalam kamus besar bahasa Indonesia, hina diartikan merendahkan kedudukannya. Baik martabat maupun kedudukan ditengah masyarakat. 


Menghina merupakan perbuatan keji atau tercela. Dan dapat dikatakan sebagai perbuatan atau kelakuan yang membuat rendah seseorang. 


Menelisik arti kata-kata “mengkritik”, memfitnah dan menghina menjadi jelas perbedaanya. Mengkritik adalah menyampaikan gagasan terhadap sebuah tema. Yang berlandaskan kepada data, dokumen yang berasal dari hasil karya ataupun pendapat. 


Berbeda sekali dengan “memfitnah” yang sering disebutkan sebagai “kabar bohong”. Atau dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai “hoax”. 


Begitu juga menghina. Selain sama sekali tidak menyampaikan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan juga merendahkan martabat, harkat dan kedudukannya sebagai manusia ditengah masyarakat. 


Dengan demikian maka hukum sudah menempatkan antara kritik, memfitnah dan menghina sebagai dimensi yang terpisah. 


Lalu bagaimana hukum mengatur terhadap sanksi (hukuman) terhadap ketiganya. 


Dalam berbagai yurisprudensi, jelas sekali mengkritik tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan. Kritik yang disampaikan dengan menyampaikan argumentasi yang kaya data dan dokumen sama sekali tidak dapat dikenakan sanksi. 


Berbeda dengan memfitnah yang sering ditempatkan sebagai “kabar bohong” yang diatur didalam KUHP dan UU ITE. Begitu juga menghina yang sering disebutkan sebagai “melukai rasa kehormatan dari korban”. Sebagaimana sering menjadi pertimbangan hakim ketika menjatuhkan hukuman kepada para pemfitnah dan penghina. 


Sebagaimana diatur didalam KUHP, kehormatan seseorang harus dilindungi. Hukum harus memproteksi kehormatan seseorang. 


Dengan melakukan proteksi kepada kehormatan seseorang, maka hukum harus memberikan punishment terhadap para pemfitnah dan penghina. 


Kehormatan adalah bagian dari rasa Kemanusiaan. Sebagai makhluk yang bermartababat dan harkatnya sebagai manusia. Dan hukum harus memastikannya. 


Tentu saja kita mudah mengidentifikasikan antara “kritik” dengan “memfitnah” dan menghina. Secara kasatmata, selama disampaikan dengan argumentasi yang disampaikan terhadap kebijakan maka dapat dikategorikan sebagai mengkritik. 


Berbeda dengan menyampaikan argumentasi tanpa didukung data dan dokumen yang dapat dikategikan sebagai “kabar bohong” atau “hoax”. 


Sedangkan pendapat yang kemudian merendahkan kehormatan seseorang maka dapat dikatakan sebagai menghina. 


Cara mengukur kehormatan adalah merendahkan harkat dan martabat sebagai manusia. 


Bukan membicarakan kebijakan dari pejabat publik. 


Lalu mengapa kita khawatir melakukan kritik kemudian disebutkan sebagai “memfitnah” atau menghina “. 


Selama kritik terhadap Kebijakan publik yang dilandaskan dari berbagai data maka tidak dapat dikategorikan sebagai “memfitnah”. 


Kecuali memang menyampaikan tanpa didukung data-data yang akan mudah disebutkan sebagai memfitnah/kabar bohong/hoax. 


Gampang khan ?