Wacana
proses “mediasi” Di tengah
terpuruknya dunia hukum dan kurang wibawa putusan Pengadilan (terlepas dari Putusan yang kontroversial) menemukan
momentum ketika MA mengeluarkan Perma No 1 Tahun 2008.
Perma
No 1 Tahun 2008 merupakan menjadi salah satu solusi berbagai ketimpangan antara
putusan Pengadilan dengan ”rasa keadilan” publik.
Dari
ranah ini, Mahkamah Agung yang mewacanakan proses ”mediasi” menemukan ruang untuk mendiskusikan lebih lanjut.
Terlepas
dari proses ”mediasi” dalam tafsiran
selanjutnya dapat saja dikatakan ”mediasi”,
yang akan menimbulkan problematika dalam sistem hukum nasional dan relevansi
dengna perkembangan hukum nasional yang berkembang dengan cepat, ”mediasi” sejak diberlakukannya Perma No.
1 tahun 2008,
Proses “mediasi” dalam pengertian lain, pengadilan
adat -termasuk di dalamnya hakim perdamaian desa- telah lama dihapuskan. Indonesia yang mengklaim dengan satu sistem hukum
Nasional kemudian menganut kodifikasi yang berasaskan dengan sistem hukum Eropa
kontinental dengan menjunjung ”Kepastian
hukum”. Dengan semangat ”kepastian
hukum”, bacaan ”Pengadilan
adat/pengadilan desa” tidak mendapatkan tempat dalam literatur ilmu hukum
yang diajarkan didalam Fakultas Hukum dan Ilmu Humaniora.
Namun
dalam perkembangan sejarah hukum di Indonesia, dimana unsur essensial dari
hukum yang menjunjung ”keadilan” yang
tidak ditemukan dalam perkembangan Indonesia modern, wacana ”mediasi” merupakan salah satu pondasi
solusi penyelesaian ”Ketidakadilan”.
Sebagai
contoh, Mahkamah Agung yang merupakan ”muara”
dari berbagai problematika hukum di Indonesia, seringkali tidak mampu
menjawab dan terjebak penyelesaian kasus yang terus menumpuk. Pada akhir
Desember 2011 perkara tunggak berjumlah 4.676 perkara. Jumlah tersebut terdiri
dari perkara belum putus diatas setahun berjumlah 1.813 perkara, dan perkara
belum putus berjumlah 2.863 perkara. Jumlah tersebut turun sekitar 50% dari
tahun sebelumnya yang berjumlah 8.741 perkara (www.mahkamahagung,go.id).
MA
terjebak mengadili terhadap perkara-perkara ”remeh temeh” seperti kasus pencurian sendal jepit, Prita
Mulyasari, Mbok Minah yang mencuri kakao, dan terakhir nenek Rasminah.
Pakar Hukum Tata Negara Jimly Assiddiqie menilai putusan itu membuktikan
orientasi penegak hukum, khususnya hakim lebih berorientasi pada penegakkan
peraturan ketimbang penegakkan keadilan.
Sudah
lama Mahkamah Agung menyadari dan mendorong agar perkara ringan cukup
diselesaikan di luar proses peradilan (out of court settlement). MA
kemudian mengeluarkan untuk perkara perdata, mediasi bersifat wajib, dan bisa
diterapkan untuk semua tingkatan peradilan (Perma No 1 Tahun 2008). Bahkan
untuk perkara pidana, MA mengeluarkan PERMA No. 2 Tahun 2011. MA kemudian
menafsirkan ”Rp 250 dengan definisi RP
2.500.000,- dalam pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407,
pasal 482 KUHP.
Berangkat dari konsepsi “mediasi” dihubungkan dengan Pengadilan adat,
yang tentu saja melibatkan tetua adat menyelesaikan kasus ringan dan
menyelesaikan kasus yang tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum, momentum ini
harus disambut dengan baik. Pengadilan Desa/Pengadilan Adat yang selama ini
sering digunakan menyelesaikan kasus-kasus ringan dan menyelesaikan kasus-kasus
yang tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum ternyata masih hidup dan menjadi
bagian dari tata pergaulan di tengah masyarakat.
Dalam adat Jambi yang menjunjung
nilai-nilai ”Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang
karena panas tidak lapuk karena hujan. Adat lamo pusako usang, yang terpahat di
tiang panjang yang terlukis di bendul jati. Setitik nan dak ilang, sebaris yang
tidak tebo. Bak li beganti li, lapuk pua jelipung tumbuh. Bak lapuh di ujung
tanjung ilang sekok timbul sekok, kemudian mengenal ”Pucuk Undang Nan Delapan, Anak Undang Nan Dua Belas”.
Begitu pentingnya mekanisme ”mediasi”
dapat dilihat dari ujaran ”Disitu kusut
diselesaikan. Disitu keruh
dijernihkan. Disitu kesat
sama diampelas. Disitu bongkol
sama ditarah. Bertampan hendak lebar. Bersambang hendak panjang. Supaya yang genting tidak putus.
Supaya yang biang tidak
tembuk
Didalam menyelesaikan perselisihan, Mekanisme penyelesaiannya dikenal dengan
seloko JENJANG ADAT. Kepala Desa “Yang
berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan
jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara
Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala
Desa.
Namun yang unik, Kepala Desa sebagai
Kepala Daerah di kampung, tidak mempunyai kekuasaan Eksekutif sebagaimana
ujaran “Luak Sekato Penghulu, Kampung
Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Kepala Desa tidak mengambil keputusan-keputusan adat namun melaksanakan putusan
adat (wewenang Eksekusi sebagaimana kewenangan Jaksa penuntut umum) dan
menjalankan tugas-tugas administrasi di dusun, kampung
Begitu
dihormatinya Pengadilan Desa dan Kepala Desa maka sebagaimana ujaran “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang
memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan
menginjek”.
Dimuat di Harian Timur Ekspress, 25 MEi 2012
http://www.timurekspres.com/berita-4952-opini.html#.T77GLJBVVMk.facebook
Dimuat di Harian Timur Ekspress, 25 MEi 2012
http://www.timurekspres.com/berita-4952-opini.html#.T77GLJBVVMk.facebook