Jakarta, 1945 – Di tengah gema proklamasi yang belum genap setahun, bayangan suram mulai menyelimuti batin para pendiri bangsa. Bukan lagi cengkeraman penjajah, melainkan monster baru yang mengancam: korupsi. Di sebuah ruangan sederhana di Jakarta, yang temaram oleh lampu minyak dan sesak oleh kepulan asap tembakau, lima tokoh besar berkumpul. Udara terasa tegang, dipenuhi kemarahan yang membuncah dari hati mereka yang telah mengorbankan segalanya demi sebuah cita-cita merdeka. Mereka adalah Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Bung Agus Salim, dan Bung Tan Malaka.
Gelegar Kemarahan Bung Karno
Pertemuan itu dibuka dengan gelegar suara Bung Karno, yang biasanya berapi-api membakar semangat rakyat, kini terbakar oleh amarah yang lain. Tangannya menggebrak meja, bukan untuk membakar semangat perjuangan, melainkan untuk meluapkan kekecewaan yang mendalam.
"Saudara-saudaraku sekalian!" seru Bung Karno, suaranya bergetar menahan luapan emosi. "Hati saya panas membara melihat gelagat pemimpin-pemimpin kita sekarang! Seolah lupa pada janji kemerdekaan, malah sibuk memperkaya diri! Rakyat masih merintih dalam penderitaan, tapi mereka asyik menumpuk harta, membangun istana pribadi di atas puing-puing nestapa bangsa!"
Bung Hatta, yang selalu tenang dan logis, kali ini tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Ia menyesap kopi pahitnya, seolah rasa pahitnya menandingi kepahitan hatinya. "Betul, Bung Karno," ucapnya pelan, namun tegas. "Semangat perjuangan seolah luntur, diganti nafsu serakah yang tak berbatas. Saya mendengar desas-desus, bahkan lebih dari itu, tentang praktik korupsi yang merajalela di sana-sini. Ini bukan hanya pengkhianatan, ini adalah penusukan dari belakang terhadap amanat penderitaan rakyat!"