Melihat begitu intens dan aktifnya perjalanan politik (roadshow) Al Haris ke Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Ilir maka harus dilihat dari begitu pentingnya daerah ini.
Sebagaimana telah disampaikan, sebelum pemekaran Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Ilir maka wilayah ini dikenal sebagai Marga VII Koto.
Cerita dan tutur Marga VII Koto dikenal di Marga Pemayung Ulu. Menurut tutur dan cerita masyarakat, Puyang masyarakat Marga Pemayung ulu berasal dari Marga VII Koto.
Marga VII Koto juga dikenal sebagai tempat berkumpulnya “Debalang Raja” untuk menentukan rapat . Pusat Marga di Sungai Abang.
Marga VII Koto juga dikenal sebagai “jalur” perjalanan Raja Tanah Pilih. Alur perjalanan ini setelah ditempuh dari Marga IX Koto di Teluk Kuali.
Sebagai Raja, untuk “mengunjungi” wilayahnya, maka Raja menggunakan “jung” menempuh jalur “Pemayung” di Marga Pemayung Ulu, kemudian ke Marga IX Koto dan terakhir ke Marga VII. Sehingga alur ini selain “merupakan” wilayah Kerajaan Tanah Pilih dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi juga langsung berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung sebagaimana ikrar di Bukit Sitinjau Laut.
Menurut Barbara Watson Andaya didalam Bukunya “To Live as brothers : Southeast Sumatra in Seventeeth and Eighteeth”, Kerajaan Tanah Pilih merupakan Kerajaan Jambi Tua atau Muara Jambi. Legenda Tanah Pilih merupakan perpindahan dari hulu Batanghari kemudian pindah ke Jambi.
Sedangkan Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat.
Marga VII Koto mempunyai hubungan dengan Marga IX Koto. Disebut “koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9 betino. Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun hubungan perkawinan.
Sebagaimana didalam cerita dan tutur ditengah masyarakat Marga Jujuhan, wilayah Marga VII Koto juga dikenal didalam Tembo Minangkabau. Menurut H. Datoek Toeh didalam bukuna Tambo Alam Minangkabau, disebutkan Nan salilik Gunuang Marapi, Saedaran Gunuang Pasaman, Sajajran Sago jo Singgalang, Saputaran Talang jo Kurinci, Dari sirangkak nan badangkang, Hinggo buayo putiah daguak, Sampai ka pinto rajo hilie, Hinggo durian ditakuak rajo, Sapisai-pisau hanyuik, Sialang balantak basi, Hinggo aia babaliak mudiak, Sampai ka ombak nan badabua, Sailiran batang sikilang, Hinggo lawuik nan sadidieh, Ka timua ranah Aia Bangih, Rao jo Mapat Tunggua, Gunuang Mahalintang, Pasisie Rantau Sapuluah, Hinggo Taratak Aia Itam, Sampai ka Tanjuang Simalidu, Pucuak Jambi Sambilan Lurah.
Nama-nama tempat “Sialang Belantak besi, Tanjung Simalidu” merupakan nama tempat di Marga VII Koto.
Marga VII Koto disebutkan sebagai wilayah Kerajaan Pagaruyung. Marga VII Koto yang mengilir Sungai Batanghari sebagai “ikua Rantau”.
Cerita “Datuk Perpatih nan sebatang dan Datuk Ketemenggunggan” begitu kuat. Bahkan Elsbeth Scholten-Locker “menyebutkan” Marga VII Koto dan Marga IX alur jalur Pagaruyung”. Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto dan Marga ICX Koto dikategorikan sebagai merupakan “ikua rantau”
“Puyang” Marga VII Koto “Rajo Hitam”. Ada juga menyebutkannya Raja Gagak. Mengilir dari Ulu Sungai Batanghari kemudian “bermukim” di dekat Tambun.
Namun ada juga versi yang menyebutkan “puyang” bernama “Sutan Suto Menggalo. Bermukim di Dusun Tuo Sebelah Kotojayo. Menurut tutur di Marga VII Koto, “Datuk Perpatih nan sebatang” kemudian mengilir ke Sungai Batanghari. Sedangkan Datuk Ketemenunggungan kemudian menuju ke Bangko dan Titian Dalam. “Titian Dalam” kemudian dikenal sebagai nama Sarolangun.
Suta Suto Menggalo kemudian membawahi Kedemangan Niti Menggalo. Kedemangan Suto Yudho, Ngebi Kardelo dan Ngebi Tano Karti di Teluk Kembang, Jambu.
Berbatasan dengan Sumatera Barat yang ditandai dengan “Sungai tidak beulu. bermuara ke Sungai Mengkares. Tebing dalam tidak terturuni. Tebingi tinggi dak tedaki. Nampak masam sebelah”.
Dalam Tambo Minangkabau, disebutkan batas timur dengan “Tanjung Samalidu”. Tanjung Samalidu kemudian ditandai dengan nama “berjenjang dari sialang belantak besi lepas ke durian Takuk Rajo. Melayang ke Tanjung Samalidu menuju berajo nan sebatang. Seloko ini juga dikenal di Marga Jujuhan.
Marga VII Koto kemudian menjadi Kecamatan VII Koto dan kemudian dimekarkan menjadi Kecamatan VII Koto dan Kecamatan VII Koto Ilir, Kabupaten Tebo.
Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto begitu kental didalam tutur dan cerita masyarakat. Dengan demikian tidak salah kemudian Al Haris didalam perjalanan politiknya (roadshow) memberikan kekuatan dan perhatian penuh didalam perjalannya.