24 April 2021

opini musri nauli : Pesantren di Jambi

Menurut Eka Wahyuni didalam skripsinya yang berjudul “Tradisi Pembacaan wirid Sakran (Kajian Living Qur’an di Pondok Pesantren Irsyadul ‘Ibad Pemayung, Batanghari Jambi), tradisi Pembacaan wirid Sakran dilaksanakan di Pondok Pesantren Irsyadul  ‘Ibad Pemayung, Batanghari Jambi


Pondok Pesantren Irsyadul  ‘Ibad didirikan oleh Bapak Kyai Muhammad Rouyani Jamil pada Tanggal 1 Juni 2003. Pondok Pesantren ini dibangun di atas tanah wakaf dari Bapak Tego dan Bapak Andrahman seluas ± 3,9028 hektar yang berlokasi di Jalan Jambi-Muara Bulian Desa Simpang Kubu Kandang, Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batang Hari. Tanah yang terdiri dari sesap dan sedikit payo ini diserahkan oleh Bapak Tego dan Bapak Andrahman untuk pendidikan agama berupa pendirian Pondok Pesantren. 


Pemilihan nama IRSYADUL „IBAD oleh Bapak Kyai M. Rouyani Jamil yang berarti penuntun hamba didasari oleh harapan yang sangat besar dari pimpinan Pondok Pesantren kepada para santri dan masyarakat yang antusias terhadap pondok pesantren Irsyadul „Ibad agar selalu menjadi hamba yang mendapat tuntunan dari Allah SWT. 


Pengembangan program prioritas adalah mendidik para santri agar mampu memahami dan mendalami kitab-kitab klasik (salaf) dan modern ('ashriyyah) serta mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Progam ini direalisasikan dengan mengadakan aktifitas kajian kitab-kitab salaf, aktifitas Mudzakarah, Muhafazhah dan kegiatan lain yang dinilai mampu merealisasikan dan menyukseskan program prioritas. 


Wirid Sakran di ambil dari nama pembuatnya. Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Seggaf. 


Beliau lahir di Kota Tarim. Sejak kecil hungga dewasa dia berada di bawah bimbingan ayahnya. Beliau dinamakan as-sakran karena Dia pernah mengatakan bahwa dia telah mendapatkan sir khafiy (rahasia tersembunyi dan hanya orang pada tingkatan tertentu yang mampu meraihnya) dari ayahnya dan bukan dan yang lainnya. Julukan Sakran diberikannya lantaran ia tidak lagi merasakan sesuatu di luar dirinya, baik itu dalam cuaca panas menggigil maupun dingin yang mencekam. Beliau wafat pada 821. 


Masa-masa para syaikh ini dalam sejarah Ba‟ Alawi banyak mewarnai dan dijadikan preseden terhadap masalah-masalah yang timbul di kemudian hari. Ciri umum thariqah alawiyah adalah dengan mengamati tokoh tokohnya dari masa imam hingga masa para syaikh di Hadramaut, yaitu pertama, terlihat aadanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf merela dari tokoh kalangan Alawi. Seperti al Qutbaniyah dan sebutan Imam Ali sebagai al Washy. Atau keterikatan antara daur sejarah Alawi dan Ba Alawi masih ada pada hal-hal yang paling esensial, yaitu tentang adanya wasiat untuk imam Ali menjadi imam pasca nabi Muhammad Saw. 


Imam Ali seorang yang berjalan di atas thariqah kefakiran yang hakiki, dalam tawafnya beliau berdoa: "Allahummajlni nisfal faqir" , tidak mempunyai perasaan benci kepada satu orang pun, membaca hizib di antara isya dan setelah fajar hingga terbit matahari, beliau hafal alquran dalam waktu empat puluh hari. Kitab yang telah dibacanya: Riyadhus Salihin, Minhajul Abidin, al-Arbain, Risalah al-Qusyairiyah, al-Awarif al-Ma'arif, I'lamul Huda, Bidayatul Hidayah, al-Muqtasid al-Asna, al- ma'rifah, Nasyrul Mahatim, Sarah Asmaul Husna dan lainnya. 


Imam Abu bakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf, seorang Imam besar dan Ulama Jaya dimasanya, digelari assakran (mabuk) karena beliau sangat mencintai Allah dan seakan tergila gila dg Allah ia mabuk cinta dengan Allah jika sedang beribadah kepada Allah melupakan segala aktivitas lainnya tenggelam dalam suasana dzikir kepada Allah maka sebenarnya doa itu bernama doa Imam Abubakar bin Abdurrahman Assegaf, namun karena ia digelari assakran,  maka mestinya doa Imam Abu bakar Assakran, namun kemudian orang menyingkatnya dengan nama itu, padahal doa itu tak ada sangkut pautnya dengan makna kalimat as- Sakran. 


Wirid Sakran ini terdapat di dalam buku wirid harian“Khulashoh Madadan-Nabawi” 


Tradisi pembacaan wirid Sakran di pondok pesantren Irsyadul „Ibad ini dilaksanakan setelah selesai shalat fardhu dan dipimpin oleh salah satu santri kemudian jamaahnya mengikuti. Kegiatan pembacaan wirid Sakran ini bersifat harus untuk para santri dan dilaksanakan rutin hingga sekarang. 


Masyarakat pondok pesantren Irsyadul „Ibad menjadikan wirid Sakran sebagai prioritas mereka. Umumnya mereka berinteraksi terhadap al-Qur‟an dengan cara membacanya pada waktu tertentu yaitu setelah shalat isya‟ yang dipimpin oleh salah satu santri kemudian jamaahnya mengikuti. 



Data dari berbagai Sumber



Baca : Sejarah masuknya Islam di Jambi