09 April 2021

opini musri nauli : Asas presumptio justia causa.

Dalam ilmu hukum Tatanegara, dikenal asas presumptio justia causa. Asas ini menempatan bahwa setiap keputusan Pemerintah harus dipandang benar. Asas ini diterapkan agar dapat memberikan kepastian hukum dan hukum memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan keputusan.

Asas ini kemudian diuji dimuka pengadilan. Dalam sistem Hukum Eropa Kontinental yang menempatkan Civil Law, atau hukum yang pasti, Keputusan pemerintah harus diberi ruang untuk memberikan kepastian baik terhadap keputusan itu sendiri maupun kewenangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah untuk menjalankan roda pemerintahan.

opini musri nauli : Pemimpin Padepokan


Syahdan. Ditengah sunyi di padepokan. Berkumpullah para pendekar dari berbagai penjuru negeri. Mengadu kesaktian ditengah padepokan. 

opini musri nauli : Marga Pemayung Ilir

  


Kata Pemayung berasal “payung” Raja yang dikenal sebagai Pangeran Prabo. “Pemayung” adalah Pemayung rajo. Pusat Marga Pemayung Ilir di Dusun Lubuk Ruso. Lubuk Ruso adalah tempat “guru sembah”[1].


Istilah Pemayung juga dikenal di Marga Pemayung Ulu, Desa Pemayungan Marga Sumay[2] dan Marga Renah Pembarap[3].


opini musri nauli : Ultra Petita

Didalam prinsip hukum, pada pokoknya, hakim tidak dibenarkan memutuskan pokok perkara melebihi didalam gugatan. Dalam praktek hukum biasa dikenal dengan istilah “ultra petita”. Dalam pengertian lebih luas, pengadilan tidak dibenarkan memutuskan para penggugat melebihi apa yang diminta didalam surat gugatannnya.

opini musri nauli : Menghasut

Didalam ilmu hukum, istilah “menghasut” (opruien), adalah membangkitkan hati orang supaya marah. Didalam KUHP lebih mudah ditemui didalam pasal 160 KUHP.

Orde baru sering “menggunakan” kata menghasut untuk disandingkan dengan pasal-pasal seperti TINDAK PIDANA TERHADAP KETERTIBAN UMUM Tindak pidana terhadap ketertiban umum seperti Penghinaan terhadap Simbol Negara, Pemerintah, dan Golongan Penduduk, Penodaan terhadap Bendera Kebangsaan, Lagu Kebangsaan, dan Lambang Negara, mulai dari Pasal 283 KUHP sampai dengan pasal 288 KUHP. Hal ini karena adanya kata-kata “menghasut” yang dihubungkan dengan demi ”kepentingan umum”, ”ketertiban umum”, ”keutuhan bangsa”.

opini musri nauli : Penamaan Dusun


Penamaan Dusun tidak dapat dilepaskan dari penamaan yang berada di sekitar masyarakat. Seperti Sungai, Pulau, Lubuk, Renah, Muara, Teluk, Rantau, Danau dan Tanjung


Di Marga Sumay dikenal “anak Batang Sumay” seperti Sungai Rambutan, Sungai Karang atau Sungai Menggatal di Simarantihan Talang Mamak.

opini musri nauli : Barang Bukti dan Barang Sitaan


 Dalam praktek hukum acara pidana, biasa dikenal Barang bukti dan barang sitaan. Didalam KUHAP, kekuatan barang bukti diperoleh apabila dihubungkan dengan alat bukti sebagaimana diatur didalam Pasal 184 KUHP. Alat bukti terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangna terdakwa.

08 April 2021

opini musri nauli : Mengenal Pinang Sebagai Dalam Sehari-Hari Masyarakat Melayu Jambi



Tidak dapat dipungkiri, antara Pinang dengan masyarakat Melayu Jambi bagian yang tidak terpisahkan. Menjadi pernik-perniknya dan menjadi bagian dari ingatan masyarakat Melayu Jambi. 

Pepatah seperti “bak Pinang dibelah dua” atau lagu “Tanam Pinang rapat-rapat. Agar Puyuh tak dapat lari. Kupinang-pinang tak dapat-dapat. Kurayu-rayu kubawa bernyanyi” menjadi gurauan ditengah masyarakat. 

opini musri nauli : Penyalahgunaan Wewenang

 

Dalam tindak pidana korupsi, salah satu unsur essensial dan sering menimbulkan perdebatan adalah unsur “penyalahgunaan wewenang” yang terdapat didalam pasal 3 UU Korupsi.


Mahkamah Agung kemudian merumuskannya “menyalahgunakan kewenangan” yang pada pasal 52 ayat (2) huruf b undang-undang No. 5 Tahun 1986, yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikan wewenang tersebut atau yang dikenal dengan “detourment de pouvoir” (Mahkamah Agung dalam putusannya tertanggal 17 februari 1992 No. 1340 K/Pid/1992)

opini musri nauli : Arah Mata Angin



Didalam alam kosmopolitan Jawa dikenal “kiblat papat lima pancer’ sebagai nilai falsafat Jawa. Kiblat papat lima pancer sebagai falsafah Jawa merupakan salah satu perwujudan konsep mandala. Suwardi Endraswara menyebutkan “Sedulur papat lima pancer”[1].