Melanjutkan tema tentang perkawinan adat dapat juga ditemukan didalam Putusan Merauke.
Hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan. Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Makna keadilan adalah jiwa yang senantiasa hidup dan berkembang.. Dari sudut pandang ini, catatan ini disampaikan. Melihat kegelisahan dari relung hati yang teraniaya..
Beberapa waktu yang lalu, saya didatangi tamu jauh. Hendak bercerita tentang konflik, konflik di Jambi dan resolusi konflik.
Kedatangan sang tamu ditemani teman yang sehari-hari memang terlibat, bergumul dengan konflik di Jambi.
Sudah sebulan saya tidak ke Bangko. Setelah menempuh arus mudik kemarin dari Painan, ke Kerinci langsung ke Jambi via Bangko.
Alangkah kagetnya saya. Lagi-lagi kemajuan jalan ditempuh dari Bangko ke Jambi bikin saya geleng-geleng Kepala.
Akhir-akhir ini, tema lagu tentang “Sekok dibagi duo” menjadi viral di media sosial. Menarik perhatian yang banyak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda.
Dari berbagai sumber, Lagu Sikok Bagi Duo” merupakan lirik lagu yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Lagu ini viral di TikTok sejak 7 Juli 2022. Nada lagu “Sikok Bagi Duo” terdengar sangat nyaman di telinga.
Ketika seloko “Awak nak harap meraup. Sejumputpun Idak dak dapat” kemudian disandingkan dengan “Mengharapkan punai di udara. Telur di tanganpun dilepaskan”, maka ditemukan kata “punai”.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata “punai” diartikan burung yang bulu kepala dan lehernya berwarna biru keabu-abuan, punggung dan sayap bagian atas berwarna cokelat tua kemerah-merahan, sedangkan bagian sayap yang lain berwarna hitam.
Perhatian penuh terhadap perkawinan adat juga ditemukan di Pengadilan Atambua. Didalam putusannya, disebutkan hubungan kemenakan dengan Anak kandung HUKUM ADAT WC WEHALI yang bertanggung jawab atas urusan adat kelahiran, pertunangan, perkawinan maupun kematian.
Istilah Hukum Adat Wc Wehali disebut Sae Uma sehingga secara adat Wc Wehali secara sah dan tinggal dirumah Para Tergugat selama dua minggu baru kembali ke rumah Penggugat.
Terdengar suara didepan pasebanan. Sembari mengetuk pintu pasebanan.
Ketika saya mendengar seloko “Puyaulah Balek, Awak nak masang jerat”, seketika saya harus mengernyitkan dahi. Selain mendengarkan Seloko yang masih asing penggunaan kata “puyau”, secara sekilas kesan dari penutur cukup menyentuh.
Puyau adalah nama burung. Jenis kuntul warna putih. Menjadi pemandangan sehari-hari di daerah Payo, rawa, bento. Nama-nama tempat itu biasa dikenal dengah daerah gambut.
Provinsi Jambi yang mendapatkan mandat untuk pemulihan gambut (restorasi gambut) sebagaimana dituangkan didalam Perpres No. 1 Tahun 2016 dan kemudian dilanjutkan didalam Perpres No. 120 Tahun 2020 harus melaksanakan mandatnya.
Didalam pencapaian mandat, pemulihan gambut kemudian didasarkan kepada konsentrasi pemulihan gambut berdasarkan kepada kegiatan KHG. KHG yang didorong adalah KHG Sungai Mendahara-Sungai Batanghari.
Dalam sebuah dialog, terdengar sebuah seloko yang menggambarkan sebuah peristiwa.
“Awak nak harap meraup. Sejumputpun Idak dak dapat.
Secara sekilas, istilah didalam seloko agak rumit untuk diterjemahkan. Baik maksud dari sang penutur maupun makna harfiahnya.
Kata “Awak” dapat diartikan sebagai “saya’. Dalam dialog sehari-hari menunjukkan “saya” atau “aku’.
Persis dengan “ambo”, “Kowe”, “beta”. Di beberapa tempat kata “Awak” juga dapat disamakan artinya dengan “ngan”.
Berbeda dengan kata “Awak”, kata yang lebih sopan digunakan adalah kata “sayo”. Berasal dari kata saya dalam dialek Jambi.
Kata “sayo” menunjukkan rasa hormat sang lawan bicara. Baik menunjukkan rasa hormat, berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati. Maupun didalam pembicaraan yang formal.