Dalam sebuah pertemuan besar di Balairung Istana Kerajaan Alengka, terdengar suara menghentak ruangan.
“Bukankah titahku sudah jelas. Para penyamun yang menyantroni rumah-rumah penduduk harus dihukum gantung dialun-alun Kerajaan. Mengapa titahku tidak engkau dengar para Adipati ?”, teriak sang maharaja. Suaranya terdengar diseluruh sudut ruangan balairung istana.
Tidak terdengar suara apapun. Para Adipati, para mangku, para pengawal kerajaan terdiam. Muka tertekuk ke lantai. Dada terus bersimbah sembah.
“Negara Alengka harus diselamatkan dari perbuatan para penyamun. Memberikan pengampunan tanpa harus dihukum adalah perbuatan yang akan menista kerajaan Alengka”, teriaknya. Badannya gemetar. Menahan amarah.
Teringat beberapa titah sama sekali tidak dijalankan para Adipati.
“Para penyamun telah membakar umbul-umbul kerajaan. Membakar rumah-rumah penduduk. Beberapa tempat penyembahan telah diratakan oleh perbuatan penyamun. Lalu mengapa para adipati tidak menghukumnya. Apakah engkau mau berkhianat kepada kerajaan Alengka ?”, tanya sang Maharaja.
“Daulat, tuanku”, kata yang hadir serentak. Tidak ada satupun berbicara. Semuanya bungkam tanpa suara.
“Tidak ada satupun yang lepas dari hukuman. Seluruh penyamun harus merasakan akibat perbuatannya. Negeri Alengka harus diselamatkan. Tidak ada ampun. Demi kejayaan negeri Alengka”, titah sang Maharaja sembari meninggalkan ruangan.
Ruanganpun sunyi.