Berkumpullah para adipati, punggawa kerajaan, pinisepuh, pemimpin padepokan dan para abdi Kerajaan Negeri Alengka. Mengitari duduk bersila. Di balairung Istana Alengka.
“Daulat, tuanku”, sembah sang telik sandi. Semuanya menunggu kabar dari kerumunan pasar. Kabar berita dari pelosok negeri. Dari seluruh kabar negeri tetangga.
“Menurut kabar dari angin, kabar dari kerumunan pasar, dari pemimpin padepokan. Mereka mendukung terhadap kepemimpinan Daulat tuanku, Maharaja negeri Alengka”. Sembah sang telik sandi. Tangannya mengatup didada. Badannya membungkuk serasa berserah diri. Mukanya terkekuk. Wajahnya menatap lantai.
“Rakyat negeri Alengka sedang bersuka ria. Padi dilumbung terisi. Jalan sudah dibangun. Bersih. Panji-panji berkibar ditengah desa. Semuanya bergembira, tuanku”, kata Sang Telik sandi.
Sang Maharaja terus tersenyum. Kepemimpinan memayungi Negeri Alengka membuat rakyat sedang bersuka. Setiap purnama. Rakyat berkumpul. Menembang suara kegembiraan. Semuanya larut.
“Daulat tuanku. Beberapa adipati sudah menyerahkan tanda ikrar. Didengar rakyat seantero negeri. Para Adipati mengirimkan tanda mata. Mereka menyampaikan di alun-alun. Tanda berbakti dan kebahagian terhadap kepemimpinan Tuanku, Maharaja”, sambung sang telik sandi.
“Mereka sudah melihat kepemimpinan yang bijaksana. Mereka merasakan perhatian dan keamanan yang diciptakan oleh Tuanku”, sembah sang Telik sandi.
“Baiklah, sang telik sandi. Tugasmu memastikan. Agar lumbung-lumbung segera terisi. Makanan rakyat tidak boleh hilang di kerumunan pasar. Biarlah gelanggang perlombaan menjadi tugas para adipati, Para punggawa. Tugasmu hanya melihat keluhan rakyat”, titah sang maharaja sembari mengingatkan tugas sang Telik sandi.
“Baiklah, Tuanku”, sembah sang Telik sandi sambil membungkukkan badannya.