Ketika sang Maharaja sedang bersenda gurau dengan sang Permaisuri di beranda Balairung istana Negeri Alengka, tiba-tiba masuklah sang Telik Sandi istana negeri Alengka.
"Daulat, tuanku. Mohon ampun seribu ampun. Hamba hendak mengabarkan kabar genting di kerajaan kecil di sebelah kiri arah matahari.
Para Pinisepuh, para punggawa, para patih telah mencuri kepingan emas dari brangkas istana", sembah sang telik istana sambil mengatupkan tangannya didada. Badannya merebah mengantar sembah. Menggiggil gemetar. Membayangkan murka sang Maharaja.
"Apa ?" teriak sang maharaja sembari berteriak murka. Wajahnya beringsut muram. Wajahnya memerah. Suaranya menggelegar memecah kesunyian istana.
"Mengapa sang Pinisepuh, para punggawa, para patih mau mengambil kepingan emas ?. Mengapa sehina itu perbuatan mereka ?. Apakah tidak cukup kekayaan mereka. Apakah mereka tidak malu kepada rakyat negeri Alengka. Dimana letak muka mereka ?". Apakah tidak malu keturunan mereka ?", Lanjut sang Maharaja Negeri Alengka.
"Hamba tidak mengerti, yang mulia Maharaja. Padi dilumbung masih tersedia. Negeri mereka direstui sang Dewata. Namun keinginan mencuri masih kuat menggenggam kepingan emas. Hamba tidak mengerti", ujar sang Telik sandi tidak mengerti. Wajahnya semakin tertekuk. Menatap ke lantai istana. Tidak berani mengadahkan wajah. Berhadapan tatapan muka dengan sang Maharaja.
"Baiklah. Hukum harus ditegakkan. Siapkan tiang pancung dialun-alun istana. Biar rakyat mengetahui. Tidak ada perbedaan pencuri kepingan emas istana. Harus mendapatkan ganjaran setimpal". Titah sang Maharaja.
"Datangi rumah mereka semuanya. Ambil kepingan emas. Serahkan kembali ke istana disana. Gunakan untuk membeli padi. Agar lumbung tetap berisi", Lanjut titah Sang Maharaja.
"Daulat, tuanku", u