04 April 2021

opini musri nauli : Kewenangan Mengadili


Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak menganut sistem hukum. Pengaruh Eropa Kontinental dalam berbagai peraturan kemudian diterapkan di Indonesia

Problematika sistem hukum nasional ditandai dengan diterapkan berbagai sistem hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. 


Menurut pengetahuan hukum, kita mengenal berbagai sistem hukum. Sebagai akibat dijajah Belanda, Belanda masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana (wetboek van strafrecht voor Indonesia), Hukum Perdata (burgelk wetboek), Hukum Dagang (wetboek van kophandel), Hukum Acara Perdata (reglement op de rechsvordering) maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. 


Belum lagi masih banyak peraturan peninggalan Belanda yang menurut para ahli masih berjumlah 400 lebih yang belum menjadi hukum nasional yang berwatak responsif terhadap tuntutan zaman 


Namun Indonesia juga mengadopsi pelaksanaan hukum Kasus (Common Law system) sebagaimana terjadi di Negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon. Ini dapat kita lihat di dalam Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Lingkungan Hidup, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.


System hukum Anglo Saxon menawarkan perwakilan kelompok (class action) dan hak gugat organisasi (legal standing). UU ini juga menawarkan proses penyelesaian mediasi dan arbitrasi. Juga mengatur ganti rugi.


Indonesia juga merumuskan sistem hukum juga terjadi pada pengakuan adanya hukum agama terutama Hukum Islam (Islam Law – Kompilasi Hukum Islam) yang termaktub dalam pelaksanaan Peradilan Agama sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Juga adanya pengakuan yang meletakkan hukum adat (Customary Law System) dalam merumuskan sistem hukum Nasional. Dari paparan singkat inilah, penulis hanyalah memaparkan bahwa walaupun Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, namun dalam dimensi yang lain juga mengadopsi sistem hukum yang dikenal dalam sistem hukum Anglo Saxon, pengakuan hukum
agama terutama Hukum Islam dan pengakuan untuk meletakkan hukum adat dalam merumuskan sistem hukum nasional.


Dengan mengadopsi berbagai sistem bukum, Indonesia mengalami keanekaragaman kebijakan dalam menyelesaikan persoalan hukum. 


Berdasar politik konstitusi, maka sistem dan lembaga peradilan yang merupakan bagian distribusi kekuasaan negara menjadikan keanekaragaman bidang yudikatif. Pasal 24 (2) UUD 1945 menentukan, Mahkamah Agung (MA) dan
MK pelaksana kekuasaan kehakiman dengan lima yurisdiksi. 


Empat yurisdiksi peradilan eks UU Kekuasaan Kehakiman 1970 ditransformasikan ke dalam konstitusi, yaitu peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara (TUN), dan tetap dilaksanakan MA. 


Wewenang dan kewajiban


MK (Pasal 24C (1) UUD 1945), yang dilembagakan di luar MA, menjadi yurisdiksi peradilan konstitusi. 


Selain itu juga, kita juga menganut sistem hukum Islam yang ditandai dengna UU No. 8 Tahun 1989. UU ini memberikan mandat untuk sengketa keperdataan yang beragama islam (baca Perceraian, waris dan sebagainya).


Berbagai peradilan khusus dibentuk dalam peradilan umum : Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia. 


Bahkan, pengadilan HAM terdiri atas peradilan HAM ad hoc untuk pelanggaran berat HAM sebelum UU No
26/2000, dan peradilan HAM bukan ad hoc untuk pelanggaran berat HAM yang terjadi sejak 2000.


Pada peradilan TUN ada Pengadilan Pajak, yang merupakan peradilan khusus perpajakan dengan yurisdiksi khusus TUN. Peradilan khusus militer memeriksa sengketa TUN militer.


Untuk otonomi daerah, di Aceh Mahkamah Syar’iyah menggabung kekhususan dua yurisdiksi khusus sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama” dan sebagai “pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum. 


Jadi, ada berbagai UU yang mengatur dan membentuk peradilan. Pengadilan Niaga dibentuk dengan UU Kepailitan 1998. Pengadilan Perburuhan dibentuk melalui UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 2004, dan diatur bersama dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi di bidang perburuhan. Pengadilan Perikanan diatur melalui UU Perikanan 2004.