Terlihat dikerumuman pasar, para pengelana duduk bersandar dikursi warung. Penjual kemudian menjajakan minuman dan menghidangkan minuman didepan para pengelana.
“Tuanku. Silahkan mengaso. Minuman telah hamba hidangkan”, kata sang penjual sembari meletakkan kopi. Sekalian panganan untuk melalap minuman.
“Terima kasih, nyai”, kata sang pengelana. Sembari meneguk minuman. Melepaskan letih setelah perjalanan jauh.
“Darimana, tuanku. Hamba lihat engkau sangat letih”, kata sang penjual sembari senyum.
“Hamba dari negeri seberang lautan. Hendak mengadu nasib dinegeri Astinapura.
Konon negeri kaya raya. Padi melimpah. Hijau rerumputan.
Hamba lihat. Hewan-hewan gemuk. Sembari makan rumput segar”, kata sang pengelana.
“Benar, tuanku. Negeri Astinapura negeri yang memang negeri yang indah. Direstui para dewata”, kata sang penjaga warung. Mukanya berseri-seri. Menyambut gembira.
“Tapi hamba lihat, mengapa istana Astinapura begitu sepi. Apakah Raja tidak membuka pintu untuk menyambut keluhan Rakyat negeri Astinapura ?’, katanya heran.
“Benar, tuanku. Dua purnama yang lalu. Raja yang bertahta kemudian menyepi. Kembali bertapa”, kata sang penjaga warung.
“Lalu apakah sang Raja baru belum bertahta ?”, kata sang pengelana heran.
“Belum, tuanku. Pertandingan di alun-alun Istana belum bisa dipastikan siapa para pemenangnya. Adyaksa Istana belum memastikan siapa pemenangnya”, kata sang penjaga warung.
“Lalu siapa yang menjaga Istana ?. Apakah para punggawa menjaga Istana dengan baik ?”, kembali sang pengelana menunjukkan keheranannya.
“Semoga Istana Astinapura dilindungi para dewata”, harap Sang pengelana.
“Semoga, tuanku”, kata sang penjual sembari mengemas peralatan minuman. Dan segera ke dapur warung.