04 April 2021

opini musri nauli : Kewenangan dan Hak

 



Masih segar dalam ingatan kita mengikuti pertarungan antara KPK dan Kepolisian dalam kasus Korlantas dalam dugaan korupsi alat simulator. Pertarungan ini sempat memanas dan menjadi hiruk pikuk politik indonesia.


Dalam berbagai pernyataan yang sering kita dengar, kedua belah pihak baik KPK dan Kepolisian berpatokan kepada ketentuan yang mengaturnya. Kepolisian mendasarkan kepada KUHAP, sedangkan KPK mendasarkan kepada UU KPK.


Terlepas daripada siapa yang akan mengakhiri pertarungan ini, ada beberapa rumusan yang sering disuarakan kedua belah pihak yang mengganggu dan memberikan pendidikan hukum salah kaprah.


Berbagai pernyataan yang dimuat di berbagai media massa, kedua belah pihak sering menyamakan antara hak dan kewenangan. Padahal dalam lapangan ilmu hukum, kedua istilah mempunyai implikasi hukum yang berbeda.


Dalam teori ilmu hukum, antara kewenangna dan hak mempunyai konotasi yang berbeda. Menurut ilmu hukum, kewenangan bersumber kepada atribusi, delegasi dan mandat. Dalam praktek ketatanegaraan, atribusi lebih tepat didasarkan kepada amanat konstitusi yang kemudian dirumuskan didalam UU. Misalnya Kewenangan Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri. Dan seterusnya. Rumusan kewenangan berdasarkan kepada konstitusi dalam UUD 1945.


Sedangkan delegasi merupakan kewenangan Pemerintah yang kemudian diberikan kepada pemerintah daerah. Dalam praktek ketatanegaraan, istilah ini kemudia dikenal dengan otonomi. Kewenangan apa saja yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dapat kita lihat didalam rumusan UU Pemda. Namun yang pasti, hanya kewenangan terhadap Hubungan luar negeri, agama, hukum, moneter dan keamanan yang tidak diberikan kepada Pemerintahan daerah.


Sedangkan mandat, lebih tepat kita perumpaan dalam kepanitian suatu acara yang hanya melaksanakan tugas-tugas tertentu, temporer.


Dengan penjelasan sekilas yang telah disampaikan, maka kewenangna lebih tepat dirumuskan sebagai “kekuasaan yang diberikan oleh hukum”.


Bandingkan dengan istilah “hak” yang secara sederhana diartikan sebagai fasilitas yang diberikan oleh hukum. Misalnya, hak tersangka, hak mendapatkan remisi, hak abolisi. Dan seterusnya.


Dengan demikian, maka dalam persoalan antara KPK dan Kepolisian lebih tepat dirumuskan sebagai perebutan “kewenangan” untuk melakukan penyidikan korupsi. Bukan hak untuk melakukan penyidikan korupsi.


Pertanyaan, apakah Polri atau KPK yang “berwenang” untuk melakukan penyidikan, tentu saja kita serahkan kepada proses hukum. Namun yang pasti, alangkah baiknya kita serahkan kepada ketentuan yang berkaitan